Resensi Buku Rahasia Perempuan Madura


 

Memahami fenomena sosial-budaya Madura tidak bisa hanya dari yang tampak di permukaannya saja, karena hal itu bukan bukan hanya tidak memadai, melainkan bisa menyesatkan. Begitulah Jamal D. Rahman menulis di pengantar buku ini. Menurut saya, ini penting untuk dijadikan pegangan oleh siapa saja yang memiliki keinginan mengaji/mengkaji tentang Madura. Karena sejatinya, Madura dengan aneka warna yang ditampakkannya tidak sedangkal yang terlihat secara kasat mata, tetapi mengandung sisi lain yang subtil, dan itu hanya bisa dijangkau dengan menyelam ke dalamnya.    

Buku ini adalah pintu untuk mengenal Madura dengan kacamata keadilan. Esai-esai Kiai A. Dardiri Zubairi selain mengungkap tentang makna dari beberapa budaya dan kearifan lokal Madura, juga sebagai respon atas stereotip “keras” yang sampai saat ini masih melekat kuat bagi orang Madura. Bahkan ada beberapa kejadian, orang luar mencari perlindungan di balik nama Madura agar bisa selamat dari gangguan yang menyerangnya. Bagi masyarakat luar, suku Madura dengan lambang celuritnya identik dengan carok yang semakin menguatkan stereotip itu sehingga terus beranak-pinak dari generasi ke generasi.

Pada dasarnya, lembaga pendidikan juga memiliki tanggung jawab untuk mewarisi kearifan lokal masyarakat setempat agar tetap lestari. Kiai A. Dardiri dalam buku ini menyebutkan pesantren sebagai penenun keislaman yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan masyarakat Madura. Maka sangat disayangkan jika peneliti asing, salah satunya Huub de Jonge tidak melibatkan pesantren dalam memahami Madura dengan sekelumit persoalannya. Karena kata penulis, memisahkan pesantren dengan Madura ibarat memisahkan ikan dan air. Madura akan pucat, dan pelan-pelan kehilangan nyawa.

Agama dan kebudayaan adalah dua hal yang saling melengkapi. Hal itu dapat dipahami dari pakaian lokal masyarakat Madura, yaitu sarung dan songkok. Dua pakaian ini memiliki nilai kearifan yang tidak bisa dilihat secara literal, tetapi perlu ada upaya menyelam secara mendalam agar dapat memahami nilai-nilai yang dikandungnya. Bagi orang Madura, songkok bukan sekadar penutup kepala, lebih dari itu songkok dianggap sebagai simbol tatakrama. Ketika menyambut tamu, yang diambil pertama kali adalah songkok. Bahkan kakek saya sendiri, saat mau makan pasti memakai songkok meski tidak sedang mengenakan baju, hanya celana pendek/sarung.

Awalnya, songkok putih hanya dikenakan oleh orang yang datang haji. Itu merupakan lambang kesucian karena baru saja menyempurnakan rukun Islam yang terakhir. Status haji adalah tangga spiritual yang seharusnya ditempuh dengan sepenuh hati. Maka, masyarakat Madura mempunyai plesetan unik terhadap orang yang sudah naik haji tetapi tetap berkutat dengan perilaku-perilaku yang kurang baik. Orang Madura menyebutnya “Ji tasbani”, itu merupakan singkatan dari “attassa ajji, baba banne” (atasnya haji, bawahnya bukan). Jadi, naik haji adalah proses penyucian diri agar semakin dekat dengan Sang Ilahi.

Begitu pula sarung. Kiai A. Dardiri mengungkapkan, songkok sebagai sahabat karib sarung. Sejak anak belajar mengaji ke surau/langgar, ia sudah dibiasakan mengenakan sarung oleh orang tua mereka masing-masing. Bahkan sarung yang biasa dikenakan masyarakat Madura, laki-laki maupun perempuan, bukan sekadar pakaian khas, tetapi juga menjadi ekspesi keagamaan yang ramah budaya. Sekali lagi, agama dan budaya memang seharusnya berjalan beriringan, saling mengisi bukan sebaliknya malah diseret pada ruang kompetisi.

Terlepas dari itu, ada kebiasaan mulia orang Madura, yaitu ser maleng, sebuah kebiasaan memberi secara sembunyi, tanpa menampakkan identitas agar tidak diketahui orang, baik yang menerima pemberian maupun orang lain. Senada dengan ungkapan “lempar batu sembunyi tangan”. Untuk menjaga keikhlasan, ser maleng menjadi suatu tradisi masyarakat Madura, yang sepertinya saat ini sudah mulai berkurang, atau bahkan hilang. Di zaman yang sudah serba pragmatis dengan dunia elektronik yang tinggi, manusia cenderung ingin diakui dan diketahui, baik dalam dunia nyata maupun dunia maya. Selain itu, masih banyak tradisi-tradisi di Madura yang sarat dengan nilai kearifan.

Perempuan Madura sebagaimana perempuan pada umumnya, memiliki karakteristik cantik sesuai selesra kulturalnya. Penulis menegaskan bahwa Madura dengan segenap cita rasa kulturalnya, punya referensi tersendiri tentang perempuan cantik, yaitu: “potre koneng potre Madura, pajalannan neter kolenang, palembayya meltas manjalin, matana morka’, alessa daun membha, bibirra jerruk salone”. Terjemahan bebasnya: potre koneng (nama istri raja) putri Madura, cara berjalan sungguh gemulai, selentur kayu rotan, matanya lentik, alisnya seperti daun mimbha, bibirnya bak seiris jeruk. Ungkapan tersebut tidak sebatas menyinggung perempuan secara fisik, tetapi memiliki makna substantif yang menarik untuk dikaji. Cantik versi orang Madura lebih menekankan pada isi, yang dikenal dengan ungkapannya, “raddin atena, bagus tengka gulina” (cantik hatinya, indah perilakunya). 

Kumpulan esai dalam buku ini, ditulis berdasar pada pemahaman dan pengalaman penulis sendiri, sehingga menjadikan tulisan ini kaya dengan informasi kemaduraan yang tidak banyak diketahui masyarakat luar. Atau jangan-jangan, kemajuan zaman telah berhasil mengelabuhi masyarakat Madura dan membuat mereka justru merasa asing dengan nilai-nilai kearifan yang semula dijaga dan dilestarikan. Jika itu yang terjadi, sungguh naif sekali.

Posting Komentar

0 Komentar