Pendidikan Dasar di Maktab dan Kuttab dalam Islam

sumber: khazanahfikiranku.blogspot.co.id
Pendahuluan
Masyarakat pra-Islam dianggap sebagai masyarakat Jahiliyah. Dalam satu sisi masyarakat Jahiliyah dikenal dengan  masyarakat yang tidak tahu baca-tulis (ummy). Sementara pada masa itu, terdapat dua imperium besar yaitu Persia (terletak di bagian timur) dan Romawi (terletak di bagian barat). Dua imperium tersebut memiliki kekuatan dan peradaban besar, yang dalam satu sisi lebih tinggi dari orang-orang Arab, termasuk dalam tradisi tulis-menulisnya.
Namun pada kenyataannya, sejak dulu bangsa Arab dikenal dengan bangsa yang suka berdagang (saudagar). Salah satu kafilah yang sering melakukan perjalanan ke daerah-daerah sekitar, misalnya ke Syam, ke Irak atau ke daerah-daerah Arab lainnya ialah Abu Sufyan bin Umayyah serta ia tercatat sebagai tokoh yang pertama belajar baca-tulis di Hirah.[1] Maka menurut interpretasi sejarah, tidak heran jika di samping ia berdagang, ia juga belajar kepada orang-orang Hirah tentang membaca dan menulis, yang pada akhirnya diajarkan pada kaumnya di Makkah.
Dari proses belajar membaca dan menulis inilah lahirlah sebuah istilah maktab dan kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar yang memberikan ruang untuk belajar baca-tulis. Pada awalnya, sebutan kuttab menunjukkan bahwa ia telah ada pada abad pertama dalam Islam.[2] Akan tetapi, menurut Asma Hasan Fahmi yang dikutip oleh Mira Astuti dalam Nizar mengatakan bahwa keberadaan maktab dan kuttab memiliki arti yang sesungguhnya sejak ada Islam, karena keberadaannya sebelum Islam masih kurang popular. [3] Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa maktab dan kuttab memiliki peran penting mulai pra-Islam sampai Islam datang dan berkembang dengan pencapaian ilmu pengetahuan yang gemilang.
Lembaga pendidikan maktab dan kuttab ini, senantiasa mengalami perkembangan mulai dari masa awal Islam sampai pada masa dinasti Umayyah, setidaknya sejak masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan putranya al-Walid bin Abdul Malik, dan mencapai puncaknya pada masa bani Abbasiyah. Di sinilah madrasah-madrasah sudah didirikan sebagai lembaga pendidikan menengah setelah kuttab dengan corak dan model pendidikan yang berbeda dari sebelumnya.[4]
Maka dari itu, keberadaan lembaga pendidikan maktab dan kuttab menjadi sangat penting untuk dikaji ulang, mengingat implikasi dari proses pendidikannya cukup untuk menjadi bekal pada proses pendidikan setelahnya.  Sehingga dalam hal ini, penulis berupaya mendeskripsikan tentang pelaksanaan pendidikan dasar di maktab dan kuttab dalam perspektif historis.

Pengertian Maktab dan Kuttab
Pada dasarnya, maktab dan kuttab merupakan dua kata yang berbeda dari segi bahasa, tetapi secara istilah keduanya memiliki arti yang sama. Maka, dalam pengertian etimologi kata maktab merupakan bentuk isim makān dari wazan kataba-yaktubu, yang berarti tempat menulis. Sedangkan mengenai kuttab Ahmad Syalabi memberikan pengertian bahwa asal mula kata kuttab ialah taktībun yakni al-kuttābu min al-taktībi wa ta’līmi al-kitābati. Maksudnya kuttab berasal dari kata at-taktīb yang artinya pengajaran menulis. Dalam lisān al-‘arabiyah yang dikutip oleh Ahmad Syalabi dikatakan bahwa: al-kuttābu maudhi’u ta’līmi al-kitābi, artinya kuttab adalah tempat pengajaran menulis.[5]  
Akan tetapi, secara istilah maktab dan kuttab diartikan sama yaitu sebagai tempat pembelajaran menulis.[6] Dalam aktivitas menulis, sudah tentu dilakukan pula aktivitas membaca. Karena, membaca dan menulis merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, dengan kata lain menulis tidak bisa dilakukan tanpa aktivitas membaca terlebih dahulu. Sehingga pada proses selanjutnya maktab dan kuttab lebih dikenal sebagai tempat pembelajaran baca-tulis. Maktab atau kuttab biasanya hanya digambarkan sebagai sekolah pada pendidikan dasar. Itu merupakan kebenaran bahwa pendidikan sekolah dimulai di maktab, yang mana di dalamnya di ajari seni sastra seperti proaedeutic untuk dua bagian pengetahuan: ilmu pengetahuan Islam dan ilmu pengetahuan asing.[7]
Maktab atau kuttab (tulis sekolah. Maktab, sebagai tempat pengajaran menulis, telah ada dalam dunia Arab sebelum Islam. Itu sebenarnya sebuah tempat untuk belajar membaca maupun menulis, lokasinya di rumah guru yang mana murid  dikumpulkan untuk kegiatan pembelajaran. Ada juga jenis-jenis lain  dari maktab, setelah  kedatangan Islam, pembelajarannya tidak hanya al-Qur’an dan agama. Seperti kuttab dari Abu al-Qasimal-Balkhi  (w. 723; 105 A.H.) terdapat sekita 3000 murid. Pengajar pada maktab tersebut di sebut  mu’allim atau guru.[8]
Pada awalnya, pembelajaran di maktab dan kuttab hanya berkisar tentang bahasa-bahasa yang digunakan berupa syair-syair atau pepatah-pepatah khususnya bagi yang pengajarnya nonmuslim.[9] Sehingga Menurut al-Baladziri dalam Syalabi mengungkapkan bahwa ketika pertama kali Islam datang, hanya ada 17 orang Quraisy di Makkah yang tahu baca-tulis. [10] Hasan Asari dalam Baharuddin, et.al. menambahkan bahwa di Madinah orang yang tahu baca-tulis hanya berjumlah 11 orang. [11] Padahal pada saat itu, Islam sangat membutuhkan orang-orang yang pandai membaca dan menulis sebagai tuntutan situasi yaitu untuk menulis wahyu.
Secara substantif, istilah maktab dan kuttab sesuai dengan pengertiannya yaitu sama-sama merujuk pada lembaga pendidikan dasar sebagai aktivitas belajar membaca dan menulis. Berkenaan dengan itu, ada tokoh yang membedakan dua istilah tersebut yaitu adalah Abdullah Fajar dalam Engku dan Zubaidah mengatakan bahwa maktab adalah istilah pada zaman klasik, sedangkan kuttab adalah istilah untuk zaman modern.[12]
Dalam pandangan penulis, argumentasi Abdullah Fajar mengenai perbedaan maktab dan kuttab kurang memberikan batasan-batasan yang jelas, sejak dan sampai kapan dikatakan sebagai periode zaman klasik yang menggunakan istilah maktab sebagai tempat belajar membaca dan menulis, serta sejak kapan pula beralih pada istilah kuttab yang dikatakan sebagai istilah untuk zaman modern. Seperti halnya saat ini, yang dikenal sebagai zaman modern, akan tetapi persoalannya tidak ada sebutan kuttab pada lembaga pendidikan dasar. Maka, penulis lebih cenderung mengatakan sama, yakni maktab dan kuttab tetap dialamatkan pada tradisi awal tulis menulis yang terjadi di masa pra-Islam sampai Islam datang dan berkembang. Jadi, pada abad kedua dan seterusnya maktab dan kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar mengalami banyak perkembangan hingga mencapai puncaknya pada masa bani Abbasiyah.
Sebenarnya, pada masa bani Umayyah lokasi maktab dan kuttab tidak hanya di samping-samping masjid, tetapi dilaksanakan di istana-istana raja, untuk mengajari baca-tulis putra-putri raja. Perkembangan ini terjadi mulai dari pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan putranya al-Walid bin Abdul Malik.[13] Model pembelajaran di maktab dan kuttab sudah lebih kompleks dari pada sebelumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada saat itu.
Sementara pada masa bani Abbasiyah, maktab dan kuttab sudah tertata dengan baik dalam bentuk madrasah. Maka dalam hal ini dapat dipahami bahwa madrasah merupakan lembaga pendidikan kedua setelah maktab dan kuttab. Sehingga, jika maktab dan kuttab menjadi lembaga pendidikan dasar, madrasah merupakan lembaga pendidikan menengah.[14] Dengan demikian pada masa ini, sudah didirikan madrasah-madrasah sebagai lembaga pendidikan menengah atau lanjutan setelah mendapat predikat “lulus” dari maktab dan kuttab. Karena baca-tulis merupakan dasar untuk belajar ilmu-ilmu yang lain. Berdirinya madrasah pada masa ini disebabkan oleh terjadinya persentuhan dengan budaya-budaya Yunani, yang mana di Yunani telah dikenal istilah-istilah sekolah dengan sebutan “scole” yang berarti “waktu senggang”.[15]
Sedangkan Menurut Mira Astuti dalam Nizar keberadaan maktab dan kuttab mengalami perubahan yaitu perubahan bentuk dan fungsi mulai dari masa awal Islam sampai pada masa al-khulafau ar-rasyidun. Perubahan tersebut secara umum ialah para guru mengajar tanpa ada bayaran (sukarela), karena kondisi pada masa itu masih belum stabil. Akan tetapi, pada masa bani Umayyah ada di antara para penguasa yang sengaja menggaji guru untuk mengajar putra-putranya dan menyediakan tempat di istananya.[16]
Di samping itu, ada sebagian kecil yang masih mempertahankan bentuk lama yaitu pelaksanaan pendidikannya berlangsung di sekitar masjid untuk murid yang kurang memiliki kemampuan di bidang ekonomi. Karena pelaksanaan pendidikan semacam itu, mengikuti masa awal Islam sampai pada masa al-khulafau ar-rasyidun yakni guru hanya mendapat penghargaan dari masyarakat tanpa dibayar. Sementara perubahan dari segi fungsi dapat dilihat dari fokus pendidikannya yang hanya mengarah pada pembelajaran baca-tulis sampai pada mengajarkan al-Qur’an dan dasar-daar keagamaan.[17]

Sistem Pendidikan Dasar di Maktab dan Kuttab
Sebagaimana dimaklumi bahwa di dunia Islam sebelum muncul lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan universitas, sebenarnya telah berkembang lembaga pendidikan Islam yang dikategorikan sebagai lembaga pendidikan nonformal. Lembaga pendidikan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa unsur yang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan beberapa unsur tersebut bersifat inhern demi tercapainya suatu tujuan pembelajaran yang dikehendaki.
Menurut Phill K. Hitti yang dikutip oleh Mira Astuti dalam Nizar mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di maktab dan kuttab ini berorientasi pada al-Qur’an sebagai text book. Hal ini mencakup pengajaran membaca dan menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa Arab, sejarah Nabi dan hadits Nabi saw.[18] Jadi, sesuai dengan orientasi kurikulum tersebut tujuan umum yang ingin dicapai dalam proses pendidikan di maktab dan kuttab ialah murid dapat membaca dan menulis yang penekanannya pada al-Qur’an, dapat memahami dasar-dasar ilmu agama serta mampu mengamalkannya.
Aktivitas pembelajaran juga diselenggarakan di istana raja dan selain  kurikulum pada maktab, pembelajaran yang telah diberikan ialah ilmu sosial dan budaya kebutuhan mempersiakan pendidikan tinggi, untuk kalangan yang halus budi pekertinya, dan seringkali sebagai jasa pada pemerintah dan khalifah.  Pada kenyatannya, para guru di sekolah istana, dipanggil mu’addib dari kata  adab, atau tatakrama yang baik. Muaddib berarti orang yang memiliki tatakrama baik. Seni pidato dan percakapan yang baik, etika formal dan  beberapa sejarah dan  tradisi yang juga termuat dalam kurikulum.[19]
Pada dasarnya, setiap anak dengan tabiatnya cenderung untuk meniru segala sesuatu (baik dari cara guru berpikir dan bertindak). Sedang guru adalah orang yang paling dekat dengan murid sesudah orang tua. Begitupun anak-anak yang menghabiskan waktunya di kuttab menyerap sebagian besar kebiasaan dari tingkah laku guru-gurunya. Dari sinilah, para pendidik (guru) harus mulai mengarahkan usahanya untuk membina hubungan yang harmonis antara guru dan murid serta guru harus menunjukkan perilaku yang baik kepada mereka. Karena, guru yang membimbing kemampuan akal dan keagamaannya, sehingga terbentuk perubahan anak berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan di dalam jiwanya tertanam tata nilai yang mendasari perjalanan hidupnya.[20]
Menurut Hasan Abd al-‘Ali dalam Baharuddin menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan yang dipakai dalam maktab dan kuttab hingga abad ke-4 H. masih sangat sederhana dan menunjukkan penekanannya pada pelajaran baca-tulis al-Qur’an bagi anak-anak kaum muslim.[21] Akan tetapi, sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya bahwa dari masa ke masa maktab dan kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar senantiasa mengalami perkembangan. Hal itu juga berpengaruh pada tujuan yang ingin dicapai. Perkembangan pembelajaran di maktab dan kuttab diwujudkan dengan memperluas materi yang diajarkan, seperti halnya pembelajaran memanah, menunggangi kuda serta berenang. Oleh karenanya, tujuan yang ingin dicapai juga bertambah luas, yaitu selain pandai baca-tulis al-Qur’an, dasar-dasar keagamaan, juga memiliki kemampuan dalam bidang psikomotorik.
Pada abad ke 8 M. maktab dan kuttab mulai mengajarkan pengetahuan umum di samping ilmu agama. Hal ini terjadi akibat adanya persentuhan antara Islam dengan warisan budaya helenisme sehingga banyak membawa perubahan dalam bidang pendidikan agama Islam. Bahkan dalam perkembangan berikutnya, maktab dan kuttab dibedakan menjadi dua: maktab dan kuttab yang mengajarakan pengetahuan nonagama (secular learning) dan pengetahuan agama (religious learning). Dengan adanya perubahan kurikulum tersebut dapat dikatakan bahwa maktab dan kuttab pada awal perkembangan merupakan lembaga pendidikan yang tertutup dan pasca terjadinya persentuhan dengan peradaban helenisme menjadi lembaga pendidikan yang terbuka terhadap berbagai rumpun pengetahuan umum, termasuk filsafat. [22]
Urgensi pendidikan baca-tulis sebagaimana yang dilaksanakan di maktab dan kuttab memberikan kontribusi tersendiri yang mendasari perkembangan ilmu pengetahuan. Sejarah Islam mencatat, bahwa di zaman klasik, pertengahan dan di masa sekarang terdapat sejumlah institusi pendidikan Islam yang memiliki kekuatan serta telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi perkembangan intelektual, kebudayaan dan peradaban Islam.[23] Selain itu, kepandaian membaca dan menulis dalam kehidupan sosial dan politik umat Islam memiliki peranan penting sebagai media komunikasi dakwah kepada bangsa-bangsa di luar bangsa Arab dan dalam menuliskan berbagai macam perjanjian. Sedangkan pada masa al-khulafau ar-rasyidun dan masa-masa selanjutnya, baca-tulis digunakan dalam komunikasi ilmiah dan berbagai buku ilmu pengetahuan.[24]
Lembaga ini (maktab dan kuttab) dipandang sebagai media utama untuk mengajarkan membaca dan menulis al-Qur’an dan dasar-dasar keagamaan. Sedangkan materi-materi yang diajarkan diserahkan sepenuhnya kepada para guru. Dalam rangka mencapai suatu tujuan, maka penyajian materi hendaknya disampaikan serta diarahkan pada pencapaian tujuan dengan menggunakan teknik pembelajaran yang sesuai.
Untuk itu, diperlukan metode atau teknik yang digunakan dalam menyampaikan materi agar tujuan mudah tercapai. Maka, menurut Rahmawati Rahim yang dikutip oleh Mira Astuti dalam Samsul Nizar menyimpulkan bahwa metode atau tehnik pembelajaran yang digunakan pada lembaga pendidikan maktab dan kuttab ialah sebagai berikut:
1.    Metode lisan. Metode ini berupa dikte (imla’), ceramah, qira’at dan diskusi.
2.    Metode menghafal. Metode ini merupakan ciri umum pendidikan masa ini. Murid-murid harus membaca secara berulang-ulang pelajarannya sampai melekat pada benak murid-muridnya.
3.    Menulis. Metode ini  dianggap sebagai metode yang paling penting, karena merupakan pengkopian karya-karya ulam, sehingga terjadi proses intektualisasi hingga tingkat penguasaan ilmu murid semakin meningkat. Di samping itu juga sebagai alat penggandaan buku-buku teks, karena masa ini belum ada mesin cetak. Sehingga dengan pengkopian buku-buku, kebutuhan terhadap teks buku sedikit teratasi.[25]
Dalam operasionalnya, pelaksanaan pembelajaran di maktab dan kuttab dilakukan dengan sistem halaqah, namun ada juga guru yang menggunakan metode yakni membacakan sebuah kitab dengan suara keras, kemudian diikuti oleh seluruh muridnya. Proses ini dilakukan berulang-ulang sampai murid benar-benar menguasai materi yang diajarkannya. Sedangkan lama belajar di maktab dan kuttab tersebut tidak dibatasi oleh waktu, akan tetapi ditentukan oleh kemampuan siswa dalam menyelesaikan pelajaran. Mata pelajaran pada tingkat ini adalah membaca, menulis, menghafal al-Qur’an serta pengetahuan akhlak. Sehingga, yang menjadi garis penentu seorang murid dikatakan selesai (lulus) belajar di maktab dan kuttab ialah guru itu sendiri. Maka, lama belajar setiap murid tidak sama satu sama lain, karena setiap individu memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda.[26] Dan yang paling tahu tingkat kecerdasan dari masing-masing murid adalah guru.
Menurut analisis penulis, pelaksanaan pendidikan di maktab dan kuttab pada pra-Islam dan pada masa awal Islam, tidak jauh berbeda karena penekanannya tetap pada belajar membaca dan menulis. Hanya saja, hal itu tidak dapat disamakan begitu saja, terkait dengan kehidupan pra-Islam yang dikenal dengan masa Jahiliyah sangat berlawanan dengan kehidupan saat Islam datang dan berkembang. Sehingga, perbedaan yang cukup mendasar terletak pada substansi yang terkadung dalam pembelajaran yang dilaksanakan. Substansi tersebut meliputi tujuan yang ingin dicapai serta penekanan materi yang diajarkan.

Karakteristik Kuttab Diberbagai Daerah
Rencana pelajaran yang diberikan di maktab dan kuttab terdiri dari membaca al-Qur’an serta menghafalnya, pokok-pokok agama, menulis, kisah (riwayat) orang-orang besar Islam, membaca dan menghafal syair-syair, berhitung, pokok-pokok nahwu dan sharraf. Menurut Yunus dalam Daulay dan Pasa, terdapat perbedaan rencana pengajaran di maktab dan kuttab pada seluruh Negara Islam, bahkan berlainan pula di beberapa wilayah. Seperti, di Maghrib (Maroko) hanya memfokuskan pada pembelajaran al-Qur’an serta dipentingkan pada kepandaian menulisnya, tanpa diselingi materi-materi yang lain, misalnya hadits, fiqih, syair dan lain-lain.[27]
Sedangkan di Andalusia diajarkan al-Qur’an dan menulis serta diajari pula materi-materi lain yaitu syair, pokok-pokok nahwu, sharaf, dan tulisan indah. Di Afriqiah (Tunisia), pembelajarannya mengarah pada pelajaran al-Qur’an dengan Hadits dan pokok-pokok ilmu agama, tetapi menghafal al-Qur’an pada wilayah ini amat dipentingkan. Di Timur (Irak dan sekelilingnya) sangat mementingkan pelajaran al-Qur’an dan beragam ilmu lainnya serta kaidah-kaidahnya, tetapi tulisan indah tidak begitu dipentingkan.[28]
Sebagaimana dikatakan oleh Mehdi Nakosteen bahwa maktab memiliki arti menjadi lembaga pendidikan dasar pada awal Islam hampir pada setiap kota dan desa. Selain al-Qur’an dan agama, puisi, kepandaian menunggangi kuda, berenang, peribahasa terpopular, ilmu hitung dasar, tatabahasa dasar, tatakrama (adab), dan keahlian menulis indah semuai itu diajari. Maktab-maktab semacam itu telah diberlakukan di Spanyol, Sisilia, Afrika, dan Timur Tengah, meskipun isi dari kurikulumnya berubah disesuaikan dengan sosio-kultural, kepentingan  serta latarbelakang lokasi tersebut.[29]
Perbedaan penekanan pembelajaran pada maktab dan kuttab, pada dasarnya disesuaikan dengan daerah tertentu dan pertimbangan para ulama’nya. Kondisi yang demikian terjadi, khususnya penggunaan al-Qur’an sebagai teks dalam kuttab, baru terjadi kemudian, pasca ketika jumlah kaum muslimin telah banyak yang mengusai al-Qur’an, terutama setelah kegiatan kodifikasi hadits pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Kebanyakan guru maktab dan kuttab pada masa awal Islam adalah nonmuslim, sebab muslim yang dapat baca-tulis jumlahnya masih sangat sedikit dan sibuk dengan pencatatan wahyu.[30] Bisa juga keadaan yang demikian al-Qur’an belum bisa dijadikan buku teks karena masih belum terkodifikasi dengan baik menjadi suatu mushaf yang utuh.
Dari berbagai deskriptif-argumentatif tersebut, baik dari sisi institusi maupun sistem pengajaran yang diterapkan memberikan implikasi tersendiri sesuai penekanan dari tiap-tiap wilayah. Maka dapat dikatakan bahwa maktab dan kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar ini masih berkutat di sekitar mengenalkan anak dengan ilmu membaca dan menulis al-Qur’an serta prinsip-prinsip ajaran Islam.[31] Dan fakta ini juga menjadi bagian dari fakta historis sejarah pendidikan Islam di masa awal Islam.

Penutup
Berdasarkan deskripsi di atas tentang pelaksanaan pendidikan dasar di maktab dan kuttab dapat penulis simpulkan bahwa maktab dan kuttab merupakan lembaga pendidikan rendah yang sudah ada sebelum Islam datang. Definisi dari maktab dan kuttab ialah tempat belajar membaca dan menulis. Akan tetap, sesuai dengan perkembangan zaman, maktab dan kuttab sebagai lembaga pendidikan juga mengalami perkembangan baik dilihat dari materi yang diajarkan serta lokasi atau tempat pelaksanaan pendidikan itu sendiri.
Sebagai lembaga pendidikan maktab dan kuttab terdiri dari unsur-unsur yang bersifat integral dalam rangka mencapai suatu tujuan yang dimaksud. Unsur-unsur tersebut meliputi kurikulum, tujuan, materi serta tehnik pembelajaran yang digunakan. Keterpaduan beberapa unsur tersebut memiliki potensi dalam mewujudkan cita-cita murid sebagai individu yang berkeinginan untuk tahu dan paham. Dengan demikian, keberadaan maktab dan kuttab memiliki sisi perbedaan di berbagai wilayah karena, setiap wilayah memiliki kebutuhan yang berbeda. perbedaan tersebut hanya berkisar pada penekanan pada setiap materi yang diajarkan.






Daftar Pustaka

Al-Jumbulati, Ali dan Abdul Futu at-Tuwānisi. 1994. Perbandingan Pendidikan Islam, terj. Arifin. Jakarta: Rineka Cipta.
Baharuddin, et.al. 2011. Dikotomi Pendidikan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Daulay, Haidar Putra dan Nurgaya Pasa. 2013. Pendidikan Islam dalam Lintasan Sejarah: Kajian dari Zaman Pertumbuhan sampai Kebangkitan. Jakarta: Kencana.
Engku, Iskandar dan Siti Zubaidah. 2014. Sejarah Pendidikan Islami. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Khaldun, Ibnu. 2009. Muqaddimah. Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah.
Khoiriyah. 2014. Reorientasi Wawasan Sejarah Islam dari Arab sebelum Islam hingga Dinasti-dinasti Islam. Yogyakarta: Teras.
Makdisi, George. 1990. Typology of Abad Institutions. London: The Alden Press Limited.
Nasr, Sayyed Hossein. 1968. Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.
Nata, Abuddin. 2004. Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
                         . 2012. Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya. Jakarta: Rajawali Press.
Nizar, Samsul. 2011. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. Jakarta: Kencana.
Siswanto. 2013. Dinamika Pendidikan Islam: Perspektif Historis. Surabaya: CV. Salsabila Putra Pratama.
Syalabi, Ahmad. 1987. At-Tarbiyatu wa at-Ta’lim fi fikri al-Islam. Kairo: Maktabah al-Mishriyah.
Zuhairini. 2013. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Nakosteen, Mehdi. Tt. History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350. Colorado: Colorado Press.




[1] Nama asli Abu Sufyan bin Umayyah ialah Harb bin Umayyah. Ia adalah tokoh Quraisy yang sangat terpandang. Pada masanya ia dikenal sebagai saudagar yang unggul yaitu memiliki jaringan-jaringan perdagangan yang luas ke berbagai daerah, salah satunya adalah ke Hirah yakni pusat imperium Romawi, Persia dan Irak. Lihat Ibnu Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 2009), 329. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Rahmawati Rahim yang dikutip oleh Mira Astuti dalam Samsul Nizar. Lihat Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Serah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2011), 113.
[2] George Makdisi, Typology of Abad Institutions (London: The Alden Press Limited, 1990), 48.
[3] Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, 113.
[4] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam dari Arab sebelum Islam hingga Dinasti-dinasti Islam (Yogyakarta: Teras, 2014), 88.
[5] Ibid., 51.
[6] Sedangkan mengenai spesifikasi nama tempat sebagai pelaksanaan belajar baca-tulis, Ahmad Syalabi mengatakan bahwa tempat pertama pelaksanaan pendidikan dasar di maktab dan kuttab ialah di rumah-rumah orang yang mengajar, ada yang memang mengkhususkan satu kamar sebagai tempat pelaksanaan pendidikannya. Namun pada perkembangan selanjutnya, ketika pembangunan masjid sudah mulai banyak, maka pembelajaran membaca dan menulis diletakkan di samping-samping masjid, bahkan ada juga yang diletakkan di sungai, lalu kemudian anak-anak yang belajar diajari cara berenang, dalam rangka membentuk keterampilan kinestetik, dan seterusnya. Lihat Ahmad Syalabi, at-Tarbiyatu wa at-Ta’lim fi fikri al-Islam (Kairo: Maktabah al-Mishriyah, 1987), 48-49. Begitu pula Siswanto mengungkapkan bahwa pada awal perkembangan Islam, kuttab tersebut dilaksanakan di rumah-rumah dan pada akhir abad pertama Hijriyah, mulai muncul jenis kuttab  yang tidak hanya mengajarkan materi baca-tulis, tetapi menluas pada pembelajaran al-Qur’an dan pokok-pokok agama. Lihat Siswanto, Dinamika Pendidikan Islam: Perspektif Historis (Surabaya: CV. Salsabila Putra Pratama, 2013), 140.
[7] Makdisi, Typology of Abad Institutions, 48.
[8] Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350 (Colorado: Colorado Press, tt),
[9]Sejarah mencatat sebagaimana yang dikatakan oleh al-Kamil dalam Ahmad Syalabi mengungkapkan bahwa dalam perang Badar, banyak tentara Makkah yang menjadi tawanan perang, dan Nabi saw. menjadikan para tawanan khususnya yang bisa baca-tulis untuk mengajari baca-tulis sekelompok orang Islam sebagai tebusannya. Syalabi, at-Tarbiyatu wa at-Ta’lim, 48.
[10] Ibid., 47.
[11] Baharuddin, et.al. Dikotomi Pendidikan Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), 212.
[12]Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islami (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), 41.
[13] Syalabi, at-Tarbiyatu wa at-Ta’lim, 48.
[14] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam, 87.
[15] Ibid., 94.
[16] Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, 113.
[17] Ibid.
[18] Ibid., 114.
[19] Nakosteen,  History of Islamic Origin,
[20] Ali al-Jumbulati dan Abdul Futu at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam, terj. Arifin (Jakarta: Rineka Cipta, 1994),, 103.
[21] Baharuddin, et.al. Dikotomi Pendidikan Islam, 212.
[22] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004), 34.
[23] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya (Jakarta: Rajawali Press, 2012), 193.
[24] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2013), 90.
[25] Ibid.
[26] Al -Jumbulati dan At-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam, terj. Arifin, 101.
[27] Haidar Putra Daulay dan Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam dalam Lintasan Sejarah: Kajian dari Zaman Pertumbuhan sampai Kebangkitan (Jakarta: Kencana, 2013), 86.
[28] Ibid.
[29] Nakonteen,  History of Islamic Origin,
[30] Baharuddin, et.al. Dikotomi Pendidikan Islam, 212.
[31] Sayyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 66.

Posting Komentar

0 Komentar