sumber: http://www.mutiarapublic.com/ |
Aku
datang – entah dari mana?
Aku
ini – entah siapa?
Aku
pergi – entah kemana?
Aku
akan mati - entah kapan?
Aku
heran bahwa aku gembira?
(Martinus dari
Biberach, tokoh abad pertengahan)
Siapa aku? Sebuah pertanyaan
sederhana yang membutuhkan kejernihan akal dan hati untuk menjawabnya. Dulu,
waktu masih di SMA, salah satu guru masuk ke kelas saya mengisi waktu kosong. Setelah
basa-basi guru itu menyuruh saya dan teman-teman yang lain untuk mengangkat
tangan lalu menggerakkannya. Belum
sampai satu menit, guru itu meminta kami untuk menghentikan gerakan tangan yang kami lakukan dari tadi. Kamipun mematuhinya.
Kemudian sang guru bertanya: “Apa
yang kalian tangkap dari gerakan itu?”
Kami bingung, dan
kebingunngan itu membuat kami diam tak menjawab sepatah katapun. Sang guru yang
aneh itu, berkata: “Masak
kalian tidak bisa menangkap sesuatu dari
gerakan itu? Padahal tanganmu itu tidak jauh dari dirimu!”. Dhaar,
pintu hati saya mulai terketuk dengan perkataan sang guru yang diam-diam saya kagumi itu.
Ada sesuatu yang belum saya pahami. Sesuatu itu adalah: Aku. Siapakah aku? Jika saya berkata: ini tanganku,
itu guruku dan Allah adalah Tuhanku. Lalu ‘ku’ itu siapa? Di sinilah saya mulai
merenungi diri untuk mencari jawabannya.
Aku
Tak mudah untuk
menemukan hakikat diri yang sejati. Ini merupakan perjalanan batin yang
melelahkan namun memberikan kepuasan tersendiri yang tak ternilai harganya.
Saya mencarinya dalam kesunyian, lepas tengah malam saya membiasakan diri
bangun untuk bermunajat pada Tuhan yang
memiliki
segalanya. Saya yakin, Tuhan akan menyampaikan jawaban itu dalam waktu yang
tidak saya ketahui.
Hampir sebulan saya
masih berada dalam kebingungan. Baru pada malam ke-29, saya mendapatkan
jawabannya. Terlepas jawaban yang
saya temuakan salah atau benar. Namun, saya cukup
senang
karena jawaban itu merupakan hasil dari perjuangan batin melawan segala nafsu
duniawi. Lalu siapakah aku? Aku adalah amanah. Karena sejatinya ‘aku’ berasal
dari Tuhan dan kelak akan kembali padaNya. Tuhan menciptakan manusia dengan bentuk
yang sempurna dibandingkan dengan
makhlukNya yang lain. Kesempurnaan
itulah yang menjadikan ia memiliki tanggung jawab baik secara vertikal maupun
horizontal.
Amanah adalah titipan
yang harus dijaga dengan baik sesuai aturan Tuhan yang sudah digariskan. Cara
menjaga amanah tersebut ialah dengan mematuhi aturanNya dan menjauhi segala
yang dilarangNya. Ada dua posisi bagi manusia yaitu posisi sebagai `abdun
dan posisi sebagai khalifah. Bergerak dalam dua posisi tersebut, adalah
wujud dari kesadaran akan hakikat diri sebagai `abdun yang senantiasa
mengabdi pada Tuhan dan sebagai khalifah yang selalu menciptakan
keharmonisan di tengah kehidupan sosial.
Sejauh ini,
sudahkah kita menjaga amanah itu? Atau kita sengaja mengabaikannya? Karena
amanah itulah, kelak kita akan dimintai pertanggung jawaban. Pada hakikatnya,
kita tidak punya apa-apa dan kitapun bukan siapa-siapa. Segalanya berawal dari Allah swt, Tuhan yang tak
terbatas ruang dan waktu.
Tuhan
Man
‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu (barang siapa yang kenal
dirinya sendiri, maka ia akan kenal Tuhannya). Sederhananya, alam semesta adalah bayangan akan adanya Tuhan. Sehingga
memahami alam dengan segala
isinya,
termasuk diri sendiri menjadi jalan utama untuk mengenal Tuhan sebagai Sang
Pencipta. Tuhan memiliki 99 Nama yang disebut dengan asmaul husna
(nama-nama yang baik). Kita bisa menyapaNya kapanpun dan dimanapun melalui 99 Nama
tersebut. Tuhan Maha Segalanya, segala hal yang terjangkau dan tak terjangkau oleh akal dan hati manusia.
Sementara kita hidup dalam ruang dan waktu.
Ada waktunya kita hidup di dunia, namun pada waktu yang tidak kita ketahui,
kita akan berpindah pada alam lain dengan kehidupan yang tentu berbeda. Di sinilah kita akan mempertanggung jawabkan segala amal
perbuatan selama hidup di dunia. Di sini pula kita akan mengetahui tempat kita
yang sebenarnya: surga atau neraka.
Tuhan adalah Dzat
yang paling tepat untuk kita bergantung, mencurahkan segala keresahan hidup serta tempat berlabuh baik dalam
keadaan suka maupun duka. Selama ini, Tuhan selalu dihadirkan saat kita dilanda
musibah, sementara ketika dikarunuai kebahagiaan, kitapu melupakanNya.
Padahal sumber dari keduanya (sedih dan bahagia) adalah satu: Tuhan. Lalu,
kenapa sikap yang kita tampakkan justru berbeda? kita tidak bisa berbuat
apa-apa selain mencintai takdirNya.
Tuhan memang tidak
bisa didefinisikan dengan pasti. Karena Dia melampaui segala yang ada. Tapi,
setiap orang pasti memiliki pemahaman tersendiri tentangNya. Pemahaman ini yang
kemudian teraktualisasi melalui sikap kita sehari-hari. Jika kita memahami
Tuhan sebagai Dzat yang Maha Pengasih, Penyayang, Penyantun, Bijaksana, Pemberi
Rezeki dan lain sebagainya, maka kita akan menyikapinya dengan senantiasa
berperilaku terpuji sebagaimana sifat-sifat mulia yang melekat pada Tuhan.
Meskipun sifat mulia manusia dan Tuhan jauh berbeda.
Begitupun
sebaliknya, jika yang kita pahami Tuhan adalah Dzat yang mendatangkan musibat,
memberikan kesedihan, mematikan segala yang hidup, maka sikap yang akan kita tampakkan
ialah keangkuhan dan kemarahan. Namun jika kita mampu merenunginya, semua itu
adalah wujud dari belas kasih Tuhan. Bukankah kasih sayang itu tidak selamanya
diwujudkan dengan sesuatu yang menyenangkan?
Mencintai takdir
adalah sikap yang paling tepat dalam mengarungi samudera kehidupan ini. Karena pada
hakikatnya, kita tidak bisa menentukan hidup kita sendiri, semuanya berada di
tanganNya. Maka, berdo’a, berusaha lalu tawakal adalah rumus kehidupan yang mesti
ditempuh oleh setiap hamba yang sejati.
0 Komentar