sumber: http://www.tongkronganislami.net/ |
Pendahuluan
Al-Qur’an memiliki kedudukan yang sangat
penting dalam kehidupan seluruh umat manusia sepanjang masa. Karena selain
al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk jalan yang baik dan benar, juga merupakan
sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Secara umum, al-Qur’an memuat dua
makna yaitu makna tersurat dan tersirat. Makna tersurat dalam al-Qur’an tidak
perlu dijelaskan lebih luas, karena hal itu bisa dipahami oleh siapa saja yang
berkeinginan membacanya.
Sedangkan Penggalian
makna yang tersimpan di dalam setiap ayat al-Qur’an harus dilakukan dengan
usaha penafsiran yang mendalam dengan tetap mengacu pada syarat-syarat yang
harus dipenuhi seorang mufassir dan tidak mengabaikan ajaran Islam yang
sebenarnya. Secara teks al-Qur’an memang tidak berubah, tetapi penanfsiran atas
teks tersebut, selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu.
Karenanya, al-Qur’an selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan
diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai metode dan pendekatan untuk
menguak isi sejatinya.
Ayat-ayat al-Qur’an
mengandung banyak redaksi yang maknanya tidak dapat dijangkau secara pasti. Hal
itu, yang kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Suatu hal yang tidak
dapat dipungkiri ialah kemampuan setiap orang
dalam memahami al-Qur’an dan ungkapan al-Qur’an tidaklah sama. Sehingga
terjadinya perbedaan
daya nalar di antara mereka ini adalah suatu hal yang sangat mungkin terjadi.
Itulah sebabnya, dalam meraih kebenaran teks dan konteks sebuah ayat
membutuhkan ilmu-ilmu pendukung lainnya. Apalagi mengenai ayat-ayat al-Qur’an
yang berkategori mutasyabīh yang
tentu rumit dan pelik.
Kenyataan
tersebut melahirkan berbagai metode yang digunakan dalam menjelaskan suatu
redaksi. Untuk menafsirinya tergantung kepada kecenderungan para mufassir,
serta latar belakang keilmuan dan sudut pandang yang digunakan. Para ulama
telah sepakat berkaitan dengan pengklasifikasian tafsir al-Qur’an dilihat dari
sumber penafsirannya, mereka membagi dalam tiga kategori; yaitu, tafsir bi al-ma’tsūr
(tafsir bi al-riwāyah), tafsir bi al- ra’yi (tafsir bi
al-dirāyah), dan tafsir bi al-iqtirāni (campuran antara nas dan akal
pikiran manusia).
Dari
ketiga macam tafsir di atas yang menjadi bahan perdebatan antar para ulama
tafsir adalah tafsir bi al-ra’yi. Banyak terdapat perbedaan pendapat
diantara mereka dalam pembolehan menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan akal
pikiran karena dikhawatirkan, menurut mereka yang anti tafsir bi al-ra’yi,
hanya ditafsirkan secara subjektif untuk mendukung kepentingan pribadi
atau kelompok mereka. Maka dari itu, artikel ini bermaksud menjelaskan secara
detail mengenai at-tafsir bi al-ra`yi.
Pengertian
al-Tafsir bi al-Ra`yi
Tafsir bi
al-ra’yi merupakan perpaduan dua kata, yaitu tafsir, dan al-ra’yi.
Tafsir secara bahasa berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau
menerangkan makna yang abstrak atau penjelasan. [1]Tafsir
menurut istilah ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz
Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri
sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika
tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.[2]
Kata al-ra’yi
secara etimologis berarti pemikiran, qiyas dan ijtihad. Menurut
Muhammad Husain Adz-Dzahibi yang dikutip oleh Samsurrohman mengatakan bahwa
tafsir bi al-ra’yi merupakan tafsir yang didasari oleh ijtihad.[3]
Dengan demikian tafsir bi al-ra’yi disebut juga tafsir bi al dirayah.
Husain Adz-Dzahibi dalam Rosihon Anwar memberikan definisi lebih lengkap
lagi, yaitu tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan rasio yang dijadikan
titik tolak penafsiran setelah mufasir terlebih dahulu memahami bahasa arab dan
aspek-aspek dilalah (pembuktian) dan memperhatikan asbab al-nuzul,
nasikh dan mansukh, qira’at dan lain-lain.[4]
Menurut
Kadar M. Yusuf, tafsir bi al-ra’yi ialah tafsir berdasarkan
ijtihad mufassir; pendapat atau ijtihadnya yang didasarkan atas sarana ijtihad.[5]
Sedangkan Muhammad Ali Ash Shaabuniy, mendefinisikan bahwa tafsir bi
al-ra’yi ialah ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah
yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang yang
hendak mendalami tafsir al-Qur’an atau
mendalami pengertiannya.[6]
Dari
beberapa pengertian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa tafsir bi
al-ra’yi ialah penafsiran yang dilakukan dengan
menempatkan rasio atau akal sebagai titik tolak penafsirannya disertai dengan
kaidah- kaidah tertentu yang harus dikuasai oleh mufassir. Intinya, penafsiran
di luar tafsir bi-al ma’tsur disebut tafsir bi al-ra’yi. Karena,
penafsiran ini didasari pada pemikiran mufassir, maka inilah yang alasan terjadinya
perbedaan antar para mufassir. Karena alasan itu, sebagian ulama` menolak
penafsiran corak ini, dan menyebutnya sebagai penafsiran dengan hawa nafsu (at-tafsīr
bi al-hawa). Namun, tidak sedikit pula yang dapat menerima tafsir corak ini
dengan syarat-syarat tertentu.[7]
Esensialnya, tafsir bi al-ra’yi ini
merupakan suatu analisis teks yang mempertimbangkan konteks sosio-historis dan
antropologi dimana teks itu muncul menjadi suatu keharusan.[8] Sebab
sumber tafsir pemikiran ini, dalam studi al-Qur’an kontemporer merupakan suatu
usaha penafsiran yang membuka ranah-ranah baru yang lebih komprehensif dan
produktif dalam memahami al-Qur’an. Sebab, teks al-Qur’an sebagai bagian dari
fenomena budaya, tidak bisa lepas dari audiens dan ruang-ruang sosial dimana
teks itu muncul dan diarahkan.
Sumber-sumber al-Tafsir bi al-Ra`yi
1. Kaidah-kaidah Bahasa
Kaidah-kaidah bahasa merupakan hal yang sangat
penting dalam memahami ayat-ayat Tuhan yang tersirat dalam al-Qur’an. Adanya
kaidah-kaidah bahasa akan memudahkan mufasir untuk menemukan bermacam
pengetahuan dan kebaikan. Sebaliknya jika diabaikan, akan kehilangan banyak
pengetahuan dan terpelosok ke dalam kesalahan dan kekacauan dalam menafsirkan
al-Qur’an.[9]
Apabila ada sebuah redaksi dari ayat al-Qur’an
yang bersifat umum, maka ayat tersebut dipahami dengan pengertian yang umum
juga. Makna yang bersifat umum dalam al-Qur’an, karena makna-makna tersebut
termasuk dalam pengertiannya yang sebanding dengan sebagian makna yang telah
biasa dipergunakan mufasir lain untuk redaksi ayat tersebut. Dalam konteks
inilah Ibnu Mas’ud ra. berkata:[10]
“Jika anda mendengar firman Allah yang
berbunyi, wahai orang-orang yang beriman…, maka ingatlah dan perhatikanlah baik-baik,
karena kemungkinan besar ayat itu berkaitan dengan suatu kebaikan yang kita
diperintahkan untuk mengerjakan, atau suatu kejahatan yang kita dilarang untuk
mendekatinya; jangan sampai kita mengabaikannya”.
Kaidah-kaidah bahasa sebagai salah satu sumber tafsir
bi al-ra’yi meliputi ilmu balagha, nahwu-sharraf serta ilmu-ilmu
yang ada kaitannya dengan al-Qur’an seperti asbabun nuzul, nasikh mansukh,
qashashil Qur’an dan seterusnya. Sebagaimana kata khalaqa dan
ja’ala dalam al-Qur’an memiliki maksud yang berbeda. Selain itu, kata al-ma’ruf,
al-khair, ash-shalih dan al-hasan juga memiliki arti yang sama namun
konteks pengucapannya berbeda. Begitu pula dengan lafad iyyāka na’budu wa
iyyāka nasta’īn, yang maf’ul-nya ada kalimat awal. Untuk memahami
hal seperti itu perlu pemahaman yang tepat mengenai ilmu bahasa arab, di
samping bahasa al-Qur’an sendiri yang menggunakan bahasa arab.
2. Penalaran Logis/Rasional
Logika/rasional
sering disebut dengan ilmu mantiq (ilmu logika). Karena ini merupakan
tafsir bi al-ra’yi yang pada dasarnya menggunakan daya nalar, maka
memahami ilmu logika menjadi hal yang tak kalah pentingnya untuk dimiliki oleh
para mufassir. Karena, setiap teks memuat sistematika pemikiran yang tidak
semua orang bisa memahami makna yang tersirat di dalamnya. Untuk
mengaktualisasikan makna itulah dibutuhkan kaidah-kaidah berpikir yang benar.
Apalagi jika yang kita tafsirkan adalah al-Qur’an, yaitu kalamullah yang
mulia.
Batasan
atau kriteria penalaran logis sejalan dengan batasan ijtihad dalam islam. Penalaran
logis atau dan rasional lebih kepada bagaimana memahami konteks kata dan
konteks ayat dalam al-Qur’an. Jalāl
al-Dīn al-Mahalliy dan Jalāl al-Dīn al-Suyūti dalam tafsir Al-Tafsīr al
Jalālayn, menjelaskan ayat dzālikal kitābu (QS. al-Baqarah: 2),
bahwasanya kata dzālika ditafsirkana dengan kata ĥadzā, karena
pendekatan dalam hal ini ialah pendekatan bahasa (balaghah). Sedangkan
kalimat selanjutnya kitābu ditafsirkan dengan kalimat alladzī
yaqraahul kitābu yaitu melalui pendekatan logis meskipun dalam cakupan yang
sederhana.[11]
Pada
dasarnya, yang paling tahu maksud yang sesungguhnya dari ayat-ayat al-Qur’an
ialah Allah swt. sebagai sumbernya. Pemahaman para penafsir terhadap al-Qur’an
bukanlah kebenaran muthlak. Akan tetapi, menafsirkan al-Qur’an dengan mematuhi
syarat-syarat sebagai mufassir merupakan perintah Tuhan untuk senantiasa
berijtihad.
3. Hasil Temuan Ilmu Pengetahuan dan Contohnya
Sumber-sumber
tafsir bi al-ra’yi yang ketiga ialah hasil temuan ilmu pengetahuan dan
contohnya. Dalam hal ini, keberadaan al-Qur’an senantiasa sejalan dengan sains.
Sedangkan sains belum tentu sesuai dengan al-Qur’an. Karena, kitab al-Qur’an
tidak pernah lekang pada ruang dan waktu. Al-Qur’an telah ada jauh sebelum
dunia ini mengenal alat-alat teknologi sampai pada lahirnya alat-alat canggih
sebagai akibat dari perkembangan waktu dan ilmu pengetahuan. Meskipunpun
demikian, al-Qur’an tetap eksis dalam dinamika kehidupan yang terus berjalan.
Contoh
temuan-temuan sain yang sesuai dengan al-Qur’an ialah penelitian yang dilakukan
oleh Maurice Bucaille[12]
dan Mr. Jacques Yves Costeau.[13]
Riset ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan dapat dijadikan rujukan
memperkokoh mufassir dalam melakukan penafsiran secara aqly terhadap
ayat-ayat al-Qur’an. Karean tafsir bi al-ra’yi bukan merupakan
keyakinan-keyakinan tetapi pembuktian-pembuktian.
Pandangan
Ulama` terhadap Kehujjahan al-Tafsir bi al-Ra`yi
Semenjak
awal pertumbuhannya, corak tafsir bi al-ra’yi ini telah banyak
mengundang perdebatan dikalangan ulama menganai kedudukannya, Para ulama
berbeda pendapat tentang hukum tafsir bi al-ra’yi, sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir bi al-ra’yi diperbolehkan, sementara
sebagian yang lain menegaskan bahwa tafsir bi al-ra’yi tidak dibolehkan dan haram hukumnya,
masing-masing pendapat memperkuat argumennya dengan mengemukakan dalil-dalil.
1. Ulama`
yang membolehkan tafsir bi
al-ra’yi
Ulama yang menerima yang menerima tafsir bi al-ra’yi memiliki
sejumlah alasan tersendiri. Berikut ini adalah alasan-alasan tersebut:[14]
a.
Banyak ayat al-Qur’an yang mendorong manusia agar mau mempelajari
al-Qur’an kemudian meng-istimbāth-kan makna-maknanya. Mislanya, surah
an-Nisa` (4) ayat 82:
xsùr& tbrã/ytFt tb#uäöà)ø9$# 4 öqs9ur tb%x. ô`ÏB ÏZÏã Îöxî «!$# (#rßy`uqs9 ÏmÏù $Zÿ»n=ÏF÷z$# #ZÏW2 ÇÑËÈ
“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran?
kalau kiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya”
Selain itu, dalam surah Shād (38) ayat 29:
ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr& y7øs9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿrã/£uÏj9 ¾ÏmÏG»t#uä t©.xtFuÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÒÈ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami
turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya
dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”.
b.
Apabila tafsir bi al-ra`yi terlarang, berarti ijtihad dalam
hal apapun juga terlarang. Jika demikian, hukum mengalami kejumudan. Akan
tetapi, kenyataannya ijtihad itu diperintahkan, termasuk ijtihad tentang
makna-makna al-Qur’an.
c.
Di kalangan sahabat sering terjadi perbedaan penafsiran, meskipun
al-Qur’an yang mereka baca sama. Sehubungan dengan itu, perlu diketahui bahwa
tidak seluruh tafsir Nabi saw. mengenai al-Qur’an sampai ke semua sahabat. Oleh
sebab itu, selebihnya mereka berijtihad. Dengan banyaknya perbedaan di antara
sahabat, menunjukkan diperkenankannya menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad.
d.
Doa Nabi Muhammad saw. kepada
Ibnu Abbas
اللهم
فقهه فى الدين وعلمه التأويل
Wahai Allah, berilah ia pemahaman (agama) dan
ajarilah ia takwil al-Qur’an. (HR. Ahmad).
2. Ulama`
yang melarang tafsir bi
al-ra’yi
Sementara ulama` yang tidak menerima terhadap
penggunaan tafsir bi al-ra`yi (ulama salaf) juga memiliki beberapa
alasan yang dapat diuraikan sebagai berikut:[15]
a. Tafsir bi
al-ra`yi merupakan interpretasi kalam Allah tanpa dilandasi dalil naqli.
Hal itu dilarang[16]
karena mufasir memberikan penjelasan tanpa adanya keyakinan. Dengan kata lain,
mufasir memberikan penjelasan dengan keraguan, padahal keraguan tidak dapat
dijadikan argumen.[17]
b. Berpendapat
harus dilandasi pengetahuan naqliyah. Hal ini disebutkan dalam ayat berikut:
wur ß#ø)s? $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# u|Çt7ø9$#ur y#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (Qs. Al-Isrāā`:
36)
Dikuatkan pula dengan hadits Nabi saw:
و من قال فى القرأن برأيه فليتبوأ
مقعده من النا ر
Barang siapa yang mengatakan sesuatu tentang
al-Qur`an tanpa didasari pengetahuan, hendaknya ia menempati tempatnya di
neraka. (HR. at-Tirmidzi).
ومن قال فى القران برأ يه فاصا ب
فقد أخطأ
Barang siapa mengatakan sesuatu tentang Kitab
Allah swt. berdasarkan pendapatnya sendiri dan sesuai dengan yang benar,
sungguh ia telah melakukan kesalahan. (HR. Abu Dawud).
c. Berdasarkan
surah an-Nahl (16) ayat 44, Allah menyandarkan penjelasan al-Qur’an hanya
kepada Nabi saw.
Mufassir yang menggunakan tafsir bi al-ra’yi
ini harus berupaya agar pendapatnya sesuai dengan al-Qur’an. Dengan demikian hasil
penafsirannya lebih dapat dipertanggungjawabkan. Musa`id Sulaiman Ath-Thayyar
dalam Samsurrohman mengatakan bahwa ulama` salaf sangat berhati-hati dalam
menafsirkan sesuatu, mereka khawatir akan terjerumus ke dalam ijtihad yang mazmum
(tercela).[18]
Berdasarkan
deskripsi mengenai ulama` yang menerima atau menolak digunakannya tafsir bi
al-ra`yi, dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang terjadi diantara para
ulama` hanya bersifat lafdzī, bukan bersifat haqīqī. Tafsir bi
al-ra`yi diperbolehkan apabila sesuai kaidah. Sebaliknya, tafsir bi al-ra`yi
tidak diperbolehkan apabila tidak sesuai kaidah yang sudah ditetapkan.
Beberapa
Kitab Tafsir yang Dominan Menggunakan al-Tafsir bi al-Ra`yi
Pada umumnya, kitab-kitab tafsir yang dominan
menggunakan al-Tafsir bi al-Ra`yi ialah sebagai berikut:[19]
1. Mafātih al-Ghayb, oleh: Fakhr al-Dīn al-Rāziy
2. Anwār al-Tanzīl wa Asrār
al-Ta’wīl, oleh Al-Baidawi
3. Madārik al-Tanzīl wa aqā’iq
al-Ta’wīl, oleh: Al-Nasāfi
4. Lubāb al-Ta’wīl fi Ma’ān
al-Tanzīl, oleh: Al-Khāzin
5. Al-Bahr al-Mu’ī, oleh: Abū Hayyān
6. Al-Tafsīr al Jalālayn, oleh: Jalāl al-Dīn al-Mahalliy dan Jalāl
al-Dīn al-Suyūti
7. Gharā’ib al-Qur’ān wa
Raghā’ib al-Furqān, oleh:
Al-Naisabūriy
8. Al-Sirāj al-Munīr, oleh: Al Khātib al-Sharbiniy
9. Irsyâd al-‘Aql as-Salîm, oleh: Abū al-Sa’ūd
10. Rūh al-Ma’āniy, oleh Al-Alūsiy
Keunggulan
dan Kelemahan al-Tafsir bi al-Ra`yi
Tujuan tafsir adalah memenuhi kebutuhan umat
terhadap pemahaman kitab Allah dan menjelaskan hal-hal yang belum dapat
dipahami. Apabila tidak ditemukan riwayat, mufasir dituntut untuk berijtihad.
Sehubungan dengan itu, kelompok yang mula-mulamenafsirkan al-Qur’an dengan
ijtihad adalah madrasah kufah yang dipelopori oleh Abdullah bin Mas`ud.[20]
Tidak semua ayat al-Qur’an ditafsirkan oleh
ulama` generasi awal. Oleh sebab itu, tafsir bi al-ra’yi memiliki peran yang sangat penting untuk
menjelaskan ayat-ayat yang belum ditafsirkan. Tidak hanya itu, tafsir bi al-ra’yi mampu menyuguhkan pemahaman
baru sehingga al-Quran dapat tetap berlaku sepanjang masa. Di antara keunggulan
tafsir bi al-ra’yi ialah
sebagai berikut:[21]
1. Melakukan
tafsir bi al-ra’yi sama
saja melakukan perintah Allah, yaitu berijtihad.
2. Tafsir bi al-ra’yi merupakan upaya untuk
mengetahui makna-makna kitab Allah swt.
3. Tafsir bi al-ra’yi menjadikan disiplin ilmu
al-Qur’an terus berkembang
4. Tafsir bi al-ra’yi dapat
mengadaptasikan al-Qur’an sesuai dengan kehidupan masa kini.
Di samping memiliki keunggulan, tafsir bi al-ra’yi juga
memiliki beberapa kelemahan, di antaranya:
1. Produk
nilai kebenaran yang dihasilkan oleh para mufassir bersifat relatif. Sebab,
yang paling tahu tentang maksud dari ayat-ayat al-Qur’an ialah Allah swt.
sebagai firman-Nya kemudian Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu (al-Qur’an)
setelah itu para Sahabat Nabi yang mendengar langsung wahyu tersebut dari Nabi
saw.
2. Mufassir
dipengaruhi oleh sosio kulturalnya, sehingga terjadinya fanatisme kelompok. Hal
ini sering terjadi, karena setiap aliran pasti memberikan pengaruh terhadap
cara berpikir seseorang termasuk juga paradigma berpikir yang digunakan dalam
menafsirkan al-Qur’an. Sehingga, penafsiran semacam itu di satu disisi dinilai
bersifat subjektif.
3. Tidak
semua temuan sains selalu sejalan dengan al-Qur’an. Karena, al-Qur’an
mengatakan manusia pertama adalah Adam as, sedangkan sains berargumentasi bahwa
manusia pertama adalah kera sebagaimana penelitian yang dihasilkan oleh Charles
Darwin dalam teori evolusinya yaitu “Evolusi Kera”.
Penutup
Tafsir bi
al-ra’yi ialah penafsiran yang dilakukan dengan
menempatkan rasio atau akal sebagai titik tolak. Karena, penafsiran ini
didasari pada pemikiran mufasir, maka sering terjadi perbedaan antar para
mufasir. Perlu diperjelas bahwasanya, kualifikasi mufassir sangat penting untuk
diperhatikan agar tidak terjebak pada tafsir mazmumah. Hal lain yang
mesti ada pada diri mufassir ialah tidak terpengaruh pada sekte-sekte golongan
(bersifat demokrasi).
Sedangkan
mengenai syarat-syarat yang harus dimiliki oleh setiap mufassir ialah: memahami
kaidah bahasa (khususnya bahasa arab) yang baik dan benar, memahami ilmu logika
serta hasil temuan ilmu pengetahuan dan contohnya. Seiring dengan itu, hadirnya
tafsir bi al-ra’yi para ulama terpecah menjadi dua golongan yaitu
golongan yang setuju dan golongan yang tidak setuju. Akan tetapi, idealnya
penolakan ulama yang tidak setuju terhadap tafsir bi al-ra’yi hanya
sebatas lafdzi saja. Karena mereka sangat berhati-hati dalam menafsirkan
al-Qur’an.
Selain
itu, tafsir bi al-ra’yi memiliki dua sisi yaitu sisi kelebihan dan
kelemahan. Salah satu kelebihannya ialah: melakukan perintah Allah, yaitu berijtihad.
Sementara salah satu kelemahannya ialah: Mufassir menjustifikasikan pendapatnya
dengan al-Qur’an, padahal al-Qur’an tidak sebagaimana yang mereka kemukakan.
Daftar
Pustaka
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Mabahits fi ulum
al-Qur’an.
Al-Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-ilmu
Al-Quran, Jakarta: Litera Antar Nusa, 1994.
Al-Suyūti,
Jalāl al-Dīn al-Mahalliy dan Jalāl al-Dīn. Tafsir Jalalaīn. Surabaya:
Nurul Hudā, Tth.
Anwar, Rosihon. Ulum al_Qura`an, Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2008.
Ash Shaabuniy, Muhammad Ali. Study Ilmu
Al-Qur’an, Alih Bahasa Aminuddin, Bandung, Pustaka Setia, 1998.
Chotib, Moh. Buku Ajar Ulumul Qur’an, Pamekasan:
STAIN Pamekasan, 2006.
Dahlan, Abd. Rahman. Kaidah-kaidah Tafsir, Jakarta:
Amzah, 2014.
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia:
dari Hermeneutika hingga Ideologi, Yogyakarta: LKiS, 2013.
Masduki, Mahfudz. Tafsīr al-Mishbāh
M.Quraish Shihab: Kajian atas Ămtsāl al-Quran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012.
Munawwir, Ahmad Wasron. Kamus al-Munawwir, Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997.
Samsurrohman. Pengantar Ilmu Tafsir,
Jakarta: Amzah, 2014.
Yusuf, Kadar M. Study Al-Qur’an, Jakarta:
Amzah, 2009.
[1] Ahmad Wasron
Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 1055.
[2] Manna Khalil
al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Quran (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1994),
456.
[3] Samsurrohman, Pengantar
Ilmu Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), 159.
[4] Rosihon Anwar,
Ulum al_Qura`an (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), 220.
[5] Kadar M.
Yusuf, Study Al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2009), 140
[6] Muhammad Ali
Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an, Alih Bahasa Aminuddin (Bandung,
Pustaka Setia, 1998), 258.
[7]Mahfudz
Masduki, Tafsīr al-Mishbāh M.Quraish Shihab: Kajian atas Ămtsāl al-Quran (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), 28.
[8] Islah Gusmian,
Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi (Yogyakarta:
LKiS, 2013), 296.
[9] Abd. Rahman
Dahlan, Kaidah-kaidah Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), 47.
[10] Ibid.
[11] Jalāl al-Dīn al-Mahalliy dan Jalāl al-Dīn
Al-Suyūti, Tafsir Jalalaīn (Surabaya: Nurul Hudā, Tth), 2.
[12]Seorang ahli
bedah dari Universitas Perancis yang melakukan penelitian pada tahun 1975 M.
tentang mumi Fir’aun yang mati tenggelam dengan unsur-unsur garam dalam
tubuhnya. Sehingga, hal itu sangat membantu keawetan tubuhnya. Hal tersebut
sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Baqarah: 50.
[13]Seorang
penyelam di laut yang berhasil menemukan sekelompok air tawar yang segar yang
tak tercampur air asin. Seolah ada dinding-dinding ghaib yang membatasi antara
air asin dan air tawar tersebut. Hal itu sesuai dengan firman Allah surah
al-Furqan: 53 dan ar-Rahman: 19-20.
[14] Samsurrohman, Pengantar
Ilmu Tafsir, 162.
[15] Ibid, 160.
[16] Lihat Surat
al-A`raf (7) ayat 33.
[17] Lihat surat
an_Najm (53) ayat 28.
[18] Samsurrohman, Pengantar
Ilmu Tafsir, 159.
[19] Moh. Chotib, Buku
Ajar Ulumul Qur’an (Pamekasan: STAIN Pamekasan, 2006), 94.
[20] Samsurrohman, Pengantar
Ilmu Tafsir, 169.
[21] Ibid, 170.
0 Komentar