Mimpi yang Sempurna

sumber: harian.analisadaily.com
Sepanjang hidup ini, aku adalah air mata bagi hidupku sendiri. Aku belum bisa memoles hidup dengan warna pelangi yang indah. Mimpi-mimpi itu telah kesekian kalinya menemui tidurku, memanjat anganku, dan sesekali merebahkan imajinasiku pada kenistaan yang terus mengalir. Aku kembali mengandai-andai, ketika kulihat keindahan di puncak gunung itu. Aku ingin sampai dan menikmati keindahannya bersama anganku yang tulus.

“Seandainya. Ah, terlalu tinggi harapanku!” Percakapan batin yang memilukan. Tapi aku tak ingin putus asa. Karena keputusasaan adalah biang dari kegagalan yang nyata. Aku hanya optimis, Tuhan telah mempunyai rencana yang indah di balik kehinaanku saat ini. Tugasku hanya berjalan, menghiasi langkah ini dengan kesempurnaan jiwa hingga aku bisa kembali menemui diriku di beranda keabadian. Aku ingin melukiskan hidup ini dengan anugerah yang Tuhan selipkan di cela-cela jemariku.

Inilah senjataku. Setidaknya dengan aliran pena serta aliran imajinasi yang khas, aku bisa menggapai mimpiku yang indah. Anganku melambung tinggi, melebihi dinding langit, yang kutatap saat ini sangat cerah dengan bintang gemintang yang bertaburan dan membentuk keindahan yang sempurna.

Kali ini aku ingin mengabadikan malam dengan sejuta keindahannya. Sebuah bintang dengan satu bunga akan aku lukis untuk mengatakan yang sejujurnya; bahwa jarak antara bintang dan bunga yang ada di bumi amatlah jauh. Ada secuil pesan yang aku tulis untuk diriku sendiri. Setidaknya aku tahu, kalau aku bukan siapa-siapa.

“Lukisanmu bagus. Tapi, aku rasa ada sesuatu yang hambar dari cahaya bintang itu!”. Mbak Yu menyapaku dengan gaya bahasanya yang cantik, sindirannya yang jeli dan keberadaanya menyadarkanku bahwa aku baru saja bermimpi.

“Kau boleh mengharapkan sesuatu, tapi kau tak boleh memimpikannya terlalu lama karena itu berpengaruh pada estetika lukisanmu!” Mbak Yu mengelus-elus rambutku yang sempat terurai angin malam yang dingin. Lalu dia pergi begitu saja.

Aku diam. Percakapan batin yang memilukan itu kembali bertandang. Apa tidak boleh aku memimpikan sesuatu yang jauh dari kesanggupan akalku untuk menjangkaunya?

Ah, andai saja tangan ini utuh. Mungkin mimpi itu tak perlu dirisaukan. Aku pasti bisa menikmati keindahan yang selama ini hanya bermain dalam ruang khayalku. Tapi, di balik semua ini, aku dapat menghidupkan benda-benda mati dan memberikannya ruh keindahan. Aku hanya ingin mengajak orang-orang tersenyum ketika menatap lukisanku. Dengan itu mereka bisa menemui mimpi-mimpinya.

Jam sebelas tiga puluh menit, pikiranku belum juga lelah dan mataku belum mengantuk. Aku mesti menyempurnakan lukisan ini. Apapun komentar dari teman-teman, terutama dari Mbak Yu, akan ku nikmati. Karena, lukisan ini mengalir dari hatiku. Hati ini polos, tidak mungkin berkata sesuatu yang nihil.

Lukisan ini tak ubahnya sebuah mimpi yang tak kunjung usai. Lelaki itu terlalu misterius untuk aku pikirkan, tapi cukup mengena saat aku rasakan. Aku tak punya banyak keindahan seperti bunga-bunga cantik yang pernah menemani perjalanan hidupnya. Aku tak dapat memberikan keindahan-keindahan itu. Aku hanya ingin dia bisa menikmati lukisan-lukisanku dengan  jiwa yang penuh cinta.

Mimpi ini membuatku selalu ingin bergerak menemui hidupku yang sebenarnya. Aku tak terlalu banyak berharap dari lelaki mesterius itu. Aku hanya ingin dia menikmati lukisanku dan mencintainya. Itu sudah cukup untuk menjawab mimpi-mimpiku selama ini.

Dengan cinta, kita bisa mengubah segalanya menjadi indah. Keindahan yang tak mungkin bisa ditemui pada diriku. Namun, aku bangga menjadi seorang pelukis. Walau kisah cinta seorang pelukis tidak selalu berakhir bahagia. Karena pelukis sudah merasa damai menikmati lukisannya sendiri. Kesunyian ini, membuatku terlelap. Dan akhirnya...

“Lif, Nizar mau menikah!” Arin, sahabatku, tiba-tiba menemuiku ketika aku baru saja menyelesaikan satu lukisan dan sempat terlelap di pelataran rumah yang semu. Nizar? Lelaki itu? Ternyata sampai saat ini, air mata masih menjadi sahabat karibku. Lelaki itu misterius. Menyulam hidup dengan teka-teki penuh misteri. Dan pada saat yang tiada disangka-sangka dia hendak menyempurnakan hidupnya sebagai manusia yang wajar.

Tapi, dengan begini aku bisa memberi sesuatu yang paling berharga untuknya. Lukisan ini. Ya, lukisan ini. Aku ingin memberikannya sebagai hadiah di pesta pernikahannya.

###

Ternyata, mimpi itu belum juga berakhir. Terkadang aku mengelukan satu malam ajaib yang bisa kunikmati bersamanya. Lelaki itu terlalu istimewa untuk aku impikan dan terlalu misterius untuk aku lupakan bahkan terlalu misterius pula untuk aku miliki. Entah! Seuasai pesta itu, do’a suciku masih mengalun mesra menyanjungnya. Menitikkan harapan: Semoga lukisan itu engkau semaikan dalam rinai keikhlasan. Dan sadar bahwa hidup perlu dirajut dengan cinta dan ketulusan.
Untuk yang kesekian kalinya, aku raih kembali sebatang pencil dan selembar kertas oret-oretan untuk sekedar melupakan harapanku yang hampa. Sebenarnya aku tak ingin terlihat lemah menghadapi hal wajar yang tengah menyalami hidupku. Aku tak ingin hasrat ini menjelma menjadi air mata. Walau ku tak bisa memungkiri bahwa alamiah air mata memiliki kenikmatan tersendiri.

Di sinilah hidupku. Hidup sebagai seorang pelukis. Meratapi kesendirian. Membuka mata hati untuk melihat kagunganMu yang Luas.

“Mbak Yu, ajari aku  menjadi pelangi!” Kata yang begitu dalam akhirnya bisa aku keluarkan. Mbak Yu menatapku aneh, sepertinya dia melihat ada yang berubah dari sikapku kali ini, dengan tersenyum dia berkata:

“Kau sudah putus asa menjalani hidup ini? Mbak melihat kau sudah tampak seperti pelangi dengan ketegaran hidup dan keindahan lukisanmu! Baiknya, kau belajar menerima!” Jawaban yang menakjubkan. Mbak Yu memang tidak suka basa-basi dalam memberikan jawaban  tapi cukup mengena dan menyentuh hati.

Aku menjadi orang yang paling istimewa di hadapan Mbak Yu. Mbak Yu lebih memandang seseorang dari dalam. Karena menurutnya bentuk fisik dari seseorang adalah kebohongan yang terlalu diagung-agungkan.

Namun, aku merasa berbeda saat aku sadar kalau tangan kananku disembunyikan oleh Tuhan sejak hari penentuan itu. Aku dilahirkan dengan satu tangan kiri yang lihai sebagai bentuk keadilanMu yang suci. Aku juga bisa memberikan sesuatu yang berharga untuk diriku sendiri dan orang lain. Meski sampai saat ini, aku belum bisa memenuhi mimpiku sepenuhnya. Mimpi yang kadang membuatku kurang mengenali arti kesejatian. Benarkah nasib hidupku senaif ini?

Daun itu mulai gugur menemui masanya. Namun, semua itu bukan berarti akhir dari  kehidupan yang lain. Semuanya silih berganti. Saat ini aku telah menemui tempat teduhku yang sebenarnya. Aku tak ingin menjadi benalu bagi kehidupan orang lain. Aku akan rebahkan segala keletihan jiwa ini pada kesunyian. Di sinilah aku menemukan ketenangan. Di gunung pasir pada musim yang sama, pertama kalinya Nizar, lelaki misterius itu menghampiriku.

“Kok sendiri? Apa yang kau lakukan di sini?” Dia menyapaku kemudia berdiri sejajar denganku.

“Sekedar menghibur diri, bosan di rumah terus. Kau juga sendiri, istrimu mana?” Aku berusaha menutupi semua yang aku miliki, karena rasa itu masih menyisakan bekas. Entah kenapa cukup sulit untuk aku berpaling sepenuhnya. Tapi aku percaya cinta itu indah, ia akan selalu mengajari arti kesabaran pada setiap kenyataan hidup walaupun sangat memilukan.

“Dia di rumah. Dia selalu memandangi sebuah lukisan yang diberikan seseorang pada pesta pernikahaku bulan lalu. Dia selalu bilang ingin kenal sama pelukisnya, minimal sama yang ngasih hadiah istimewa itu!”. Kini dia menatapku dalam-dalam dan yakin kalau akulah orangnya: pelukis dan pemberi.

Kaylif, bolehkah aku bertanya?

Aku tetap saja diam sambil menganggukkan kepala. Aku tahu, kalau Nizar paham apa maksud dari lukisanku itu apalagi tentang mimpi gilaku selama ini.

“Aku seperti melihat cahaya di kedua matamu. Apa kau pernah menghidupkanku dalam hatimu?” Dia menatapku tajam.

Pertanyaan yang membuat mulutku sedikit sulit untuk menjelaskan. Namun, diam bukan pilihan terbaik dalam menyikapi hal ini. Aku ingin berkata jujur walaupun itu membuat semuanya terhempas. Aku hanya ingin berdamai dengan segala situasi yang tercipta di luar kuasaku.

“Kau lelaki misterius, Zar! Itu yang membuat hatiku bergerak untuk selalu memahamimu!” Jawabku sambil melihat serpihan pasir yang hampir memenuhi daun-daun kering yang berserakan di pasir itu.

“Maukah kau menikmati hidup bersamaku?” Dia kembali menatapku tajam. Namun tak setajam kalimat yang baru saja dia ucapkan. Aku hampir tak percaya, kata-kata itu menikam hati membuat jantungku berdegup dan memaksaku untuk kembali berkata yang semestinya.

“Aku telah menemukan hidupku sendiri, Zar! Menjadi seorang pelukis dan pecinta segala ciptaan Tuhan, itu sudah cukup!” Jawabku sambil tersenyum. Diapun melemparkan pandangannya ke laut lepas.

Percakapan itu telah membuka tabir hidupku yang menyesakkan. Aku tak mengharapkan apa-apa, selain aku bisa berkata yang sebenarnya. Kata itu telah mewakili segalanya. Meski mimpi itu tak sepenuhnya sirna. Dengan cinta aku bisa melukiskan segalanya menjadi berarti. Maka, aku tak ingin menodainya dengan keserakahan yang tentu amat menyakitkan.

Akhirnya, kami pulang dengan arah yang berbeda. Sampai di rumah, aku disambut ramah sama Mbak Yu. Rupanya dari tadi ia sedang menungguku. Ketika aku berada di depannya, ia langsung memberikan selembar kertas semacam brosur dan aku lansung membacanya. Di brosur itu tertera tulisan besar “Festival Lomba Lukis”.

“Kamu ikut festival lomba itu ya, jadikan itu sebagai motivasi hidupmu. Mbak yakin kau bisa!” Antusis Mbk Yu menyemangatiku.

“Aku ikuti kata mbak Yu saja!”

“Lief, Hidup itu pilihan yang keluar dari hatimu. Bukan karena orang lain lalu kamu memilih hidup seperti yang MbakYu maksud. Mbak Yu hanya ingin kau tidak memahami hidup sesempit ini. Hidup ini luas dengan segala keindahan dan kecurangannya!” Kata Mbk Yu dengan suara yang tinggi. Baru kali ini aku benar-benar diceramahin dengan bahasanya yang selalu mengandung nasehat bagi hidupku. Sungguh aku tak kuasa menatapnya, aku hanya menunduk sambil merenungi kata-kata Mbk Yu: hidup ini luas dengan segala keindahan dan kecurangannya.


Keindahan bisa saja menjadi kecurangan, jika kita terlalu larut di dalamnya hingga melupakan susatu yang lain. Kini, aku benar-benar sadar, banyak hal yang harus aku perbuat untuk hidup ini biar menjadi indah. Aku memutuskan dengan hati yang mantap: aku akan memulai hidup baru dengan melukis ya menjadi seorang pelukis, dan ikut festival lukis itu sebagai ajang mengenali diri. Aku hanya ingin menyempurnakan hidupku dengan sebuah pilihan yang bersumber dari kalbu. Menjadi pelukis adalah mimpi yang sempurna.

Posting Komentar

0 Komentar