Maya Untari dan Cinta yang Tak Pernah Pergi


 

Bukankah perempuan adalah pancaran keindahanNya yang paling sempurna? Itulah yang aku lihat padamu, May. Aku menikmati segala keindahan yang memancar dari tubuhmu sebagai keindahanNya. Aku mencintamu dengan segala ruang di hatiku sebagai bagian dari perjalanan cintaku padaNya. Aku tak bisa mencintaimu tanpa cintaNya. Karena aku tahu bahwa cintaku padamu lebih dulu cintaNya padaku.

Ada dua hal yang selalu aku ingat darimu. Pertama, saat engkau ulurkan tangan dengan bibir yang sedikit ditarik mempertontonkan sesungging senyuman, usai aku mengambilkan bukumu yang jatuh tanpa engkau sadari. Aku menyambut tanganmu dengan sedikit gugup. “Aku Maya Untari. Panggil saja, May!” Aku beruhasa bersikap biasa dengan menyebut namaku meskipun aku tahu, aku tak bisa menyembunyikan kegugupanku dari sepasang mata cantikmu.

Di antara orang-orang yang berlalu lalang di depan toko buku “Mutiara Ilmu” di kompleks Ruko Sumekar Indah, Tuhan menghadiahiku sebuah pertemuan singkat dengan seorang perempuan yang memiliki sesuatu yang selalu kuminta dalam doaku. Perempuan yang pada perjalanan berikutnya telah membuatku jatuh cinta. Maya Untari, sebuah nama yang sangat menawan.

Kedua, saat rambutmu yang tergerai basah oleh gerimis pada suatu sore, saat engkau duduk seorang diri di bangku taman kota yang sepi di bawah pohon palem yang menjulang tinggi. Meski gerimis sudah selesai, tapi bintik-bintik air masih jatuh dari matamu. Wajahmu seperti menyimpan sisa mendung di angkasa, terlihat sedikit muram tapi belum menutupi aura kecantikan yang memancar dari parasmu.

Aku duduk di bangku yang sama tanpa menyapamu. Aku hanya ingin menemanimu tanpa kata-kata. Setumpuk serah bergelayutan di rambutmu yang sedikit basah. Mungkin karena gerimis sore ini, meskipun di akhir minggu, tak banyak orang yang datang. Taman yang cukup luas dengan aneka bunga yang apik tertata sangat eksotik, tampak begitu lengang. Tentu saja, situasi ini seperti ingin memberikan ruang yang sedikit bebas untukmu untuk bersedu sedan meratapi sebuah kesedihan.

“Katamu cinta tak pernah membuat luka. Harus dengan airmata apalagi aku buktikan padamu bahwa cinta telah melukaiku?” ucapmu tanpa sedikit pun menoleh ke arahku.

Aku tahu kamu tidak sedang bertanya, tapi kamu ingin menunjukkan padaku bahwa apa yang kini menimpamu adalah bukti atas kesalahanku tempo hari. Engkau telah dikhianati oleh seseorang yang engkau cintai, seseorang yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Kabar tentangmu dan Reno sudah menyebar dan tertangkap telinga banyak orang. Menjelang hari pernikahan kalian, Reno justru memilih pergi dan menikah dengan perempuan lain atas pilihannya sendiri. Tentu saja kamu sangat terluka. Kamu seperti dipermainkan oleh cinta.

“Bukan cinta yang membuat luka, tapi keinginan untuk memiliki. Orang yang tidak pernah merasa memiliki pasti tidak akan pernah merasa kehilangan,” jawabku seadanya.

Engkau yang sejak tadi menunduk, seketika menoleh menatapku dengan rona wajah yang tak kupahami. Kedua matamu menghujam ke relung hatiku. Bibirmu tampak sedikit bergetar, entah karena menahan marah atau engkau memang sedang menahan gigil karena dingin. Aku tidak berani menduga-duga. Sebisa mungkin aku hanya ingin menemanimu meski keberadaanku bukan sebagai obat untuk luka di hatimu.

“Apa kau sama sekali tidak merasa berperan menyumbang luka di hatiku?”

Entah, pertanyaanmu yang tajam ataukah tatapanmu yang membuatku tiba-tiba merasa rapuh. Aku merasa tersudut, kemudian terseret ribuan langkah pada sebuah masa yang di sana terdapat sebuah kisah yang menjadikanmu harus mengeluarkan pertanyaan ini padaku.

“Reno masih menunggu jawabanku. Tapi aku masih ragu, aku belum memiliki jawaban,” katamu usai kita makan siang itu. Kita duduk di warung makan “Bu Sri” yang menyediakan ikan kakap bakar kesukaanku. Angin timur bergerak halus menyisir setiap ruang di warung kayu yang terasa begitu sejuk.

“Dia orang yang baik. Kamu akan bahagia bersamanya. Terus apa yang membuatmu ragu?”

“Ada cinta yang lebih aku harapkan. Sayangnya, cinta itu bukan hanya buta, barangkali juga tuli. Ia seperti hanya memiliki dirinya sendiri.”

Kata-katamu seperti menyinggungku, bahkan dalam frekuensi tertentu, terdengar menggodaku. Aku sadar kalau aku menaruh sekuntum cinta di hatimu. Aku telah meletakkan cinta itu jauh di kedalaman batinmu sampai aku yakin kamu tidak bisa menemukan dan merasakanya. Aku hanya ingin cinta yang murni tanpa keterikatan tertentu yang rawan membuatnya terluka dan kecewa.

“Bukankah setiap perempuan membutuhkan kepastian? Reno telah memastikan cintanya padamu. Mengapa harus peduli dengan cinta yang masih tersembunyi?” Aku mencoba memastikan diriku baik-baik saja. Tidak kaku dan gugup seperti awal berjumpa. Tapi tetap saja matamu begitu jeli untuk menemukannya.

“Tidak ada kepastian di dalam cinta. Semua masih perlu dibuktikan dalam perjalanan panjang kebersamaan. Kadang sesuatu yang tersembunyi lebih menjanjikan dari sesuatu yang sengaja dipamerkan,” ujarmu membuatku semakin tertunduk.

Mencintamu bagiku adalah memberikan ruang yang bebas bagimu untuk menemukan kebahagianmu tanpa keterikatan apapun denganku. Aku hanya ingin melihatmu bahagia dengan caramu sendiri. Cintaku bukan alasan untuk memilikimu, bukan pula sebuah persembahan yang menuntut balasan. Bagaimana aku bisa menuntut balasan darimu yang telah menjadi bagian dari tubuhku sendiri?

“InsyaAllah, setiap awal yang baik akan berakhir baik pula. Reno sudah serius ingin meminangmu. Itu sudah cukup kalau dia tidak main-main dengan cintanya padamu.”

“Ya, perempuan memang hanya ditakdirkan untuk menerima dan menolak cinta yang datang. Bukan untuk memilih cintanya sendiri.”

“Mencintai yang bukan pilihan memang sulit, tapi menarik. Percayalah, Reno lebih pantas untukmu.” Aku berusaha meyakinkanmu.

“Bagaimana kalau suatu hari nanti aku terluka?” Engkau bertanya sambil memegang tanganku.

“Aku ada di setiap suka dukamu. Jangan biarkan ada sesuatu yang menggores agar hatimu tak terluka.”

Engkau tersenyum persis dengan senyum di perjumpaan kita yang pertama. Aku dan Reno sama-sama mencitaimu dengan cara kami yang berbeda. Reno lebih percaya diri dan punya kesempatan untuk memilikimu. Sementara aku sudah merasa bahagia dengan mencintaimu saja tanpa harus engkau tahu soal cinta yang bersemayam di hatiku. Semakin aku rahasiakan cinta ini akan semakin abadi dan utuh. Cukup aku dan Allah saja yang tahu.

Hari-harimu berjalan penuh keceriaan setelah kalian resmi bertunangan. Hampir tiada bunga yang engkau sentuh tak menyatakan cemburu akan kemesraanmu. Dan yang paling bahagia dari semua itu adalah aku. Semakin hari, cintaku semakin tersembunyi dari napasmu. Dan aku merasa semakin bebas mencintaimu dengan cinta yang semakin mendekatkanku padaNya. Kurapalkan hari-hari ceriamu dalam setiap doaku agar ia terus abadi bersamamu.

“Aku pamit pergi. Suatu hari nanti, Maya akan berterima kasih dengan luka yang aku tinggalkan,” ucapan Reno benar-benar di luar dugaan.

“Bukannya kalian sudah hampir menikah? Kegilaan apa yang sedang kau perbuat, Ren?”

“Terkadang kita memang harus berburu, tapi tidak perlu memakan hewan buruan. Sudahlah, aku harus pindah ke kota lain mengikuti orang tuaku. Di sana aku akan memulai kehidupan baru.”

Seperti tidak ada beban, Reno tersenyum meninggalkanku malam itu, di sebuah kafe kecil di sudut kota. Bukan hanya aku, engkau pasti akan lebih terluka. Seperti daun kering yang gugur, engkau akan dihempaskan angin sebelum akhirnya terjatuh di bumi. Aku tak menyangka Reno akan berbuat sekejam itu, lebih tepatnya aku tidak mengerti. Di saat engkau mulai belajar mencintainya, dia telah membuatmu belajar juga untuk membencinya.

“Aku mau pulang, matahari sudah tenggelam. Semoga aku bisa mengejarnya hingga aku bisa terbit bersamanya besok pagi,” katamu menarik lamunanku. Kamu berdiri sejenak tanpa menatapku lalu berjalan meninggalkan taman kota ke arah senja yang masih tersisa.

*****

“Aku menikahimu bukan karena ingin memilikimu.” Aku diam sejenak. Mengatur napas dan tatap dalam enam puluh centimeter di depanmu. “Kau bukan milikku sebagaimana aku bukan milikmu. Kita sama-sama milik Allah dan akan kembali kepadaNya.”

“Aku tidak menuntut cintamu untuk memilikiku. Aku hanya ingin cintamu bersatu dengan cintaku dalam cintaNya.”

Duh, betapa manis senyummu. Senyum yang mengantarku membuka malam pertama di bawah langit yang kelabu. Beruntung, aku masih bisa mengejarmu sebelum engkau tenggelam bersama matahari. Tuhan, terima kasih atas cintamu yang telah mengikat cinta kami dalam perjalanan panjang menuju rumahMu.

Pada suatu siang, sebuah surat elektonik masuk ke alamat emailku. Aku membuka dan menemukan sebuah alamat yang belum kukenal. Aku membacanya dengan seksama dan hati-hati.

Kepada sahabatku, Muhammad Irfan.

Kuucapkan selamat atas pernikahan kalian. Aku telah berhasil membuat luka terdalam di hati Maya, sampai luka itu mampu menembus kedalaman cintamu yang kamu sembunyikan di relung hatinya. Maya menjadi semakin sadar bahwa ada cinta yang lebih pantas untuknya, yaitu cintamu.

Dan kamu pun sadar, bahwa menikah tidak selalu bersumber dari hasrat ingin memiliki. Kalian bisa tetap saling mencintai dengan kesadaran bersama bahwa tujuan tertinggi dari cinta kalian adalah cintaNya. Cinta kalian hanyalah alat untuk mendapatkan cintaNya.

Kamu tidak perlu terkejut. Bukankah seorang pecinta sejati hanya menghendaki yang terbaik untuk kekasihnya? Dan aku sangat yakin bahwa cintamu yang terbaik untuk Maya, bukan cintaku.

Selamat dan mohon maaf atas sikapku yang menyakiti kalian.

Dari sahabtamu: Reno Adriano.   

          Hatiku terenyuh membaca surat itu, May. Mungkin kau juga merasakan hal yang sama jika kau membacanya. 

 

Pamekasan, 06 November 2022

 

(Cerpen ini dibukukan dalam antologi bersama pada event Tribute to Umie dengan judul "Rasa yang Belum Sempat Diungkapkan") 

Posting Komentar

0 Komentar