Sandal Jepit: Simbol Hidup Sederhana

sumber: lpmarena.com
Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan seorang perempuan setengah baya. Pakaiannya terlihat begitu sederhana: memakai sarung sembarang dan baju kebaya klasik. Sambil tergesa-gesa dengan sandal jepit yang masih kukuh di kakinya. Iseng-iseng saya bertanya, “Emak ini mau ke mana?”

“Ini Nak, mau ke tetangga sebelah. Katanya tadi kecelakaan. Mau ikut Nak?” Jawab perempuan itu dengan ramah. “Saya tidak punya apa-apa yang mau dibawa ke sana, Emak!”

“Usst…, keluhuran dan keramahan sikap lebih baik dari sekadar pemberian materi,” tegas Si Emak sambil menyeret tangan saya untuk berjalan mengikutinya.

*********

Cerita ini menimbulkan sesuatu yang unik dalam pikiran saya. Ada makna yang tersembunyi tentang sikap bijak yang keluar dengan nada keikhlasan. Secara tidak langsung, sikap Si Emak dalam penggalan cerita di atas mengajak kita untuk lebih mengenali diri sebagai makhluk spiritual; yang semata-mata tidak sibuk dengan urusan duniawi.

Kita menemukan nilai kesederhanaan yang diwujudkan dengan kepekaan dan kepeduliaan terhadap sesama. Kepedulian ini munkin semacam gerak kukuh ‘sandal jepit’.

Sandal jepit merupakan lambang kesederhanaan hidup seseorang, yang dewasa ini sudah mulai menipis. Sederhana, sebuah kata yang mudah diucapkan tetapi sulit cara penerapannya. Manusia makhluk yang jarang cepat puas. Selalu saja ujung dari sebuah pencariannya bertemu pada titik kurang. Keadaan itu persis seperti orang yang selalu mendongak ke atas dan lengah menatap ke bawah.

Kita tahu, ‘sandal jepit’ yang dijual di pasar-pasar dengan harga sepuluh ribu atau bahkan di bawah itu memiliki fungsi yang sama dengan sandal yang harganya di atas seratus ribu. Ironisnya, kita lebih memilih sandal yang harganya mahal dengan satu alasan: gengsi.

Di zaman sekarang pergeseran nilai fungsi ke gengsi sudah marak. Pemenuhan kebutuhan pokok tidak lagi menimbang sekadar fungsi, tetapi lebih pada gengsi. Biasanya, citra gengsi jauh lebih mahal dari nilai fungsi. Bahkan, bisa berkali-kali lipat. Itulah yang menyebabkan manusia ingin selalu tampil “Wah!”

Karena itu, banyak orang tanpa sadar kehilangan daya pekanya. Kepekaan pada lingkungan sekitarnya menjadi tumpul. Bahkan mungkin, di tengah hiruk pikuknya mengejar yang atas, tanpa terasa kalau yang di bawah terinjak-injak.

Dalam lingkup yang lebih luas, seperti pemerintah atau para elite kekuasaan dalam kehidupan sosial senantiasa menipu dirinya dengan berbagai kemegahan hidup yang bersifat sementara. Mereka menganggap suatu hal yang tidak pantas apabila seorang pejabat tinggi memakai sandal jepit dengan harga yang murah ketika pergi ke masjid.

Mereka enggan mampir ke warung makan untuk sekedar menikmatinya bersama orang-orang kecil. Mereka lebih memilih makanan di restorant. Mereka merasa malu apabila membeli baju di pasar-pasar. Mereka tidak lagi peduli dengan “fungsi.”

Orang menjadi tidak mampu menyelami apa yang harus diutamakan dalam kehidupan. Sulit merasakan kalau di saat kita terlelap dalam keadaan kenyang, sejumlah tetangga terus terjaga menahan rasa lapar. Sulit menangkap keinginan anak-anak tetangga untuk tetap bersekolah, ketika sebagian dari mereka tengah sibuk mencari sekolah top buat anak-anak mereka.

Ketidakpekaan itu akhirnya menggiring diri untuk tampil tak peduli. Sehingga kesederhanaan yang merupakan teladan para Nabi menjadi barang langka banyak manusia mulai atau bahkan telah meninggalkannya.

Hidup sederhana, yang saya simbolisasikan dengan sandal jepit tidak berarti hidup dalam kesengsaraan, kemiskinan, kemelaratan dan serba kekurangan. Kesederhanaan merupakan pola pikir dan pola hidup yang proporsional, tidak berlebihan dan mampu memprioritaskan sesuatu yang lebih dibutuhkan.

Kesederhanaan ialah kemampuan untuk ikhlas menerima yang ada dan berusaha untuk berlaku adil dan bersyukur atas setiap rezeki yang diberikan dengan tetap menggunakannya pada hal-hal yang bermanfaat dan berarti. Kemampuan itulah yang memberikan manfaat dan menjadi energi dalam kehidupan kita. Lalu apa manfaat kesederhanaan sebagai energi kehidupan?.

Setidaknya dengan membiasakan diri hidup sederhana, akan tertanam dalam diri kita sifat qona’ah; sifat menerima dan menikmati hidup apa adanya. Kita akan tampil sebagai pribadi yang kuat dalam segala kondisi. Keindahan dari sebuah kesederhanaan akan mencerminkan karakter seseorang.

tDan dengan sederhana, kita bisa melihat nikmat sekecil apapun yang diberikan oleh Tuhan. Sehingga hati kita tertuntun untuk selalu bersyukur pada-Nya. Jadi, Kesederhanaan itu penting. Setidaknya untuk mengajarkan kita menjadi pribadi yang bijaksana dalam bertindak. (ed: met).

(Tulisan ini dimuat di santrinews.com pada 15 september 2013)

Posting Komentar

0 Komentar