sumber: lpmarena.com |
“Ini
Nak, mau ke tetangga sebelah. Katanya tadi kecelakaan. Mau ikut Nak?” Jawab
perempuan itu dengan ramah. “Saya tidak punya apa-apa yang mau dibawa ke sana,
Emak!”
“Usst…,
keluhuran dan keramahan sikap lebih baik dari sekadar pemberian materi,” tegas
Si Emak sambil menyeret tangan saya untuk berjalan mengikutinya.
*********
Cerita
ini menimbulkan sesuatu yang unik dalam pikiran saya. Ada makna yang
tersembunyi tentang sikap bijak yang keluar dengan nada keikhlasan. Secara
tidak langsung, sikap Si Emak dalam penggalan cerita di atas mengajak kita
untuk lebih mengenali diri sebagai makhluk spiritual; yang semata-mata tidak
sibuk dengan urusan duniawi.
Kita
menemukan nilai kesederhanaan yang diwujudkan dengan kepekaan dan kepeduliaan
terhadap sesama. Kepedulian ini munkin semacam gerak kukuh ‘sandal jepit’.
Sandal
jepit merupakan lambang kesederhanaan hidup seseorang, yang dewasa ini sudah
mulai menipis. Sederhana, sebuah kata yang mudah diucapkan tetapi sulit cara
penerapannya. Manusia makhluk yang jarang cepat puas. Selalu saja ujung dari
sebuah pencariannya bertemu pada titik kurang. Keadaan itu persis seperti orang
yang selalu mendongak ke atas dan lengah menatap ke bawah.
Kita
tahu, ‘sandal jepit’ yang dijual di pasar-pasar dengan harga sepuluh ribu atau
bahkan di bawah itu memiliki fungsi yang sama dengan sandal yang harganya di
atas seratus ribu. Ironisnya, kita lebih memilih sandal yang harganya mahal
dengan satu alasan: gengsi.
Di
zaman sekarang pergeseran nilai fungsi ke gengsi sudah marak. Pemenuhan
kebutuhan pokok tidak lagi menimbang sekadar fungsi, tetapi lebih pada gengsi.
Biasanya, citra gengsi jauh lebih mahal dari nilai fungsi. Bahkan, bisa
berkali-kali lipat. Itulah yang menyebabkan manusia ingin selalu tampil “Wah!”
Karena
itu, banyak orang tanpa sadar kehilangan daya pekanya. Kepekaan pada lingkungan
sekitarnya menjadi tumpul. Bahkan mungkin, di tengah hiruk pikuknya mengejar
yang atas, tanpa terasa kalau yang di bawah terinjak-injak.
Dalam
lingkup yang lebih luas, seperti pemerintah atau para elite kekuasaan dalam
kehidupan sosial senantiasa menipu dirinya dengan berbagai kemegahan hidup yang
bersifat sementara. Mereka menganggap suatu hal yang tidak pantas apabila
seorang pejabat tinggi memakai sandal jepit dengan harga yang murah ketika
pergi ke masjid.
Mereka
enggan mampir ke warung makan untuk sekedar menikmatinya bersama orang-orang
kecil. Mereka lebih memilih makanan di restorant. Mereka merasa malu apabila
membeli baju di pasar-pasar. Mereka tidak lagi peduli dengan “fungsi.”
Orang
menjadi tidak mampu menyelami apa yang harus diutamakan dalam kehidupan. Sulit
merasakan kalau di saat kita terlelap dalam keadaan kenyang, sejumlah tetangga
terus terjaga menahan rasa lapar. Sulit menangkap keinginan anak-anak tetangga
untuk tetap bersekolah, ketika sebagian dari mereka tengah sibuk mencari
sekolah top buat anak-anak mereka.
Ketidakpekaan
itu akhirnya menggiring diri untuk tampil tak peduli. Sehingga kesederhanaan
yang merupakan teladan para Nabi menjadi barang langka banyak manusia mulai
atau bahkan telah meninggalkannya.
Hidup
sederhana, yang saya simbolisasikan dengan sandal jepit tidak berarti hidup
dalam kesengsaraan, kemiskinan, kemelaratan dan serba kekurangan. Kesederhanaan
merupakan pola pikir dan pola hidup yang proporsional, tidak berlebihan dan
mampu memprioritaskan sesuatu yang lebih dibutuhkan.
Kesederhanaan
ialah kemampuan untuk ikhlas menerima yang ada dan berusaha untuk berlaku adil
dan bersyukur atas setiap rezeki yang diberikan dengan tetap menggunakannya
pada hal-hal yang bermanfaat dan berarti. Kemampuan itulah yang memberikan
manfaat dan menjadi energi dalam kehidupan kita. Lalu apa manfaat kesederhanaan
sebagai energi kehidupan?.
Setidaknya
dengan membiasakan diri hidup sederhana, akan tertanam dalam diri kita sifat
qona’ah; sifat menerima dan menikmati hidup apa adanya. Kita akan tampil
sebagai pribadi yang kuat dalam segala kondisi. Keindahan dari sebuah
kesederhanaan akan mencerminkan karakter seseorang.
tDan dengan sederhana, kita bisa melihat nikmat sekecil apapun yang
diberikan oleh Tuhan. Sehingga hati kita tertuntun untuk selalu bersyukur
pada-Nya. Jadi, Kesederhanaan itu penting. Setidaknya untuk mengajarkan kita
menjadi pribadi yang bijaksana dalam bertindak. (ed: met).
(Tulisan
ini dimuat di santrinews.com pada 15 september 2013)
0 Komentar