Memilah, Memilih, Akhirnya Memilukan

sumber: pemilu.tempo.co
Hiruk pikuk pemilu mulai terasa. Setiap parpol, dengan agendanya masing-masing berusaha sekuat tenaga meraih simpati masyarakat. Ironisnya, tidak semua cara yang ditempuh parpol mencerminkan sikap elegan serta cenderung menodai makna demokrasi yang justru sering dijadikan jargon oleh mereka. Contohnya adalah adanya pembelian suara dari para calon pemimpin dengan memberikan uang atau barang-barang lainnya terhadap rakyat serta sikap rakyat yang apatis terhadap prinsip pemilu itu sendiri.

Menjelang dilaksanakannya pemilu, sudah dapat dirasakan kerusuhan di setiap jenjang kehidupan sosial. Keberadaan pemilu mulai dari sektor tertinggi sampai yang terendah sering menawarkan kekacauan spiritual masyarakat hingga berakibat pada disintegrasi sosial yang sangat memilukan. Percekcokan politik berawal dari sebuah hasrat yang tinggi dan tak terkendali untuk menjadi seorang pemimpin yang terkesan dermawan di mata kaum proletar dalam bahasa Marxis yang berarti kaum lemah. Baik lemah secara materi dan ditambah lagi dengan kondisi spiritual masyarakat yang hampa.

Kira-kira sebulan sebelum pemilu dilaksanakan, banyak kita jumpai wajah para calon dengan gaya yang berbeda-beda: ada yang memakai jas lengkap dengan dasinya, ada juga yang memakai baju muslim ala Alm. Ustadz Jefri al-Buchori dengan sorban yang dikalungkan dilehernya dan banyak lagi yang lainnya. Namun, siapakah diantara mereka yang benar-benar bisa mencerminkan nilai esensial dari seorang pemimpin? Bisakah dia berkiprah dalam dunia politik dengan jiwa profesional? Dan benarkah dia adalah seorang figur yang memiliki kekuatan mental serta tingkat spiritual yang tinggi? Mungkin pertanyaan sederhana itu timbul di benak sebagian masyarakat khususnya kelompok elit (masyarakat yang peduli terhadap kehidupan pribadi dan sosialnya). Tidak dapat dipungkiri setiap individu mendambakan hadirnya seorang pemimpin yang adil, jujur, bertanggung jawab dan yang jelas tidak terjerat dalam kasus KKN. Akan tetapi, benarkah cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam merealisasikan apa yang menjadi impiannya?.

Moeslim Abdurrahman mengemukakan bahwa kebingungan politik Islam itu tercermin terutama ketika para ulama tidak lagi mampu membaca dan mendengarkan hati nurani dan penderitaan umat. Mereka lebih peka terhadap penderitaan para umara yang sedang menghadapi krisis kepercayaan pasar dunia dan krisis politik dalam negeri, tatkala kebijaksanaan pemerintah dalam hal-hal yang sangat prinsipil mengalami inkonsistensi di depan publik. Sehingga disadari atau tidak mayoritas masyarakat cenderung bersikap apatis khususnya terhadap kehidupan masa depannya sendiri*. Mereka memilah-milah para calon dengan kacamata materi yang tak jelas arah bagaimana nasibnya di masa mendatang seusai pemilu tersebut.

‘Memilah’ pada awalnya merupakan hal yang sangat penting untuk dibiasakan sebelum kita maju pada langkah selanjutnya yaitu ‘memilih’. Dengan kata lain, agar tidak menyesal di kemudian hari. Akan tetapi, dalam konteks sekarang ini hal tersebut telah keluar dari nilai esensialnya sebagai penyelamat (dari penyesalan), menjadi jalan rusaknya kemurnian nurani yang senantiasa dibodohi hanya dengan selembar uang dan sebungkus nasi yang bersifat sementara. Bahkan di tengah problematika sosial yang semacam itu, sering terjadi konflik demi merebut kekuasaan hingga berkompetisi dalam menyalami tangan-tangan dari golongan masyarakat kecil. Dan bagi masyarakat yang tidak mampu berpikir jauh ke depan akan tersenyum manis dalam menyikapi semua itu karena dianggap sebagai bentuk kasih sayang seorang calon pemimpin yang peduli terhadap sesama. Jelasnya, siapa yang paling besar pemberiannya dialah yang dipilih. Sungguh naif.

Memilah, sebuah aktivitas positif yang kini telah berubah menjadi negatif. Karena tolok ukur yang digunakan dalam menentukan pilihannya bukan akal dan hati yang sehat, tetapi emosional yang berupa kerakusan. Seperti yang diungkap diatas, memilah menjadi awal bagi kita untuk menentukan pilihan. Sebuah pilihan yang menyangkut makmur tidaknya hidup kita ke depan. Perlu ditekankan, kerakusan yang menjadi embel-embel dalam memilah suatu persoalan dan dalam mencalonkan diri menjadi sosok yang ingin dipilih, semua itu tidak menjamin tegaknya kesejahteraan hidup sosial serta kualitas kepemimpinan yang ideal.

Problematika politik dalam hal memilah sebagaimana yang dilakukan masyarakat sekarang ini sebagian besar berawal dari hipokrisasi pemimpin yang kontradiktif antara pernyataan dan kenyataan yang sebenarnya. Sehingga jalan keluar yang dipilih oleh masyarakat pada umumnya ialah mengadaikan hati nuraninya untuk menikmati belas kasih dari seorang calon pemimpin meski tidak permanen.

Pada saat memilih, di sinilah penentuannya. Banyak diantara mereka yang tidak peduli dengan benar tidaknya pemimpin yang kita pilih dan cara yang kita gunakan dalam memilih baik dalam perspektif agama maupun Negara. Sehingga masyarakat memahami, seseorang yang ingin jadi pemimpin harus dari kalangan borjois (kaya secara materi), meski mental dan spiritualnya sangat rendah. Secara tidak langsung masyarakat yang mengesampingkan peran akal dan hati sama halnya dengan menyita hidupnya sendiri dalam waktu yang sangat panjang. Sangat memilukan, bukan?

Oleh karena itu, hal yang harus dibenahi dalam masalah ini, setidaknya adanya keikhlasan dalam mengemban amanah di tengah kehidupan sosial yang semakin larut dalam kekacauan. Di samping itu, mentalitas yang kuat dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa dan Negara yang sampai saat ini sangat memprihatinkan. Karena pada hakiakatnya seorang pemimpin harus siap melayani segala kebutuhan rakyat baik yang bersifat materi (sandang, pangan dan papan) ataupun yang bersifat immateri seperti kesejahteraan, kedamaian, ketentraman dan lain sebagainya. Selaras dengan ini Edi Susanto dalam sebuah artikelnya “Islam dan Politik” menekankan siapapun boleh menjadi pemimpin karena yang diperlukan untuk saat ini ialah bukan siapa yang memimpin tetapi bagaimana ia memimpin.

Itulah tugas seorang pemimpin sebagaimana yang dicontohkan oleh sang Nabi. Sehingga memilah sebagai awal dalam memilih, menjadi hal yang sangat penting untuk kita renungi lebih dalam agar bisa melahirkan pola hidup yang harmonis dan sejahtera. Bukan sebaliknya, memilah dan memilih menjadi ruang gelap menuju hidup yang memilukan.

Ket:

*Moeslim Abdurrahman, 2005. Islam yang Memihak, Yogyakarta: LkiS

Posting Komentar

0 Komentar