MODEL KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENDIDIKAN ISLAM EFEKTIF (Studi Kasus di MA. Nasy’atul Muta’allimin Candi Dungkek Sumenep)

sumber: anakcerdas.info
Pendahuluan
Kepala sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam setiap lembaga pendidikan. Pada realitasnya, sekolah dalam jenjang apapun memiliki keinginan untuk mewujudkan sekolah efektif, agar output yang dihasilkan dapat menjawab kebutuhan masyarakat sekitar serta sesuai dengan tuntutan zaman.

Akan tetapi, karena beberapa hal yang melatarbelakanginya, tidak sedikit sekolah mengalami hambatan dalam merealisasikan keinginan tersebut menjadi sesuatu yang nyata.[1] Titik persoalan terpenting dalam hal ini ialah terletak pada ketidakmampuan kepala sekolah dalam memimpin lembaganya menuju visi yang telah ditetapkan, berdasarkan misi yang telah disepakati.

Pengelolaan sekolah dan peran penting kepala sekolah, pada dasarnya mencakup ruang lingkup yang luas, di antaranya kesiswaan, bangunan dan gedung sekolah, personil sekolah, keuangan sekolah, fasilitas sekolah, proses belajar mengajar, pelayanan kesiswaan serta hubungan sekolah dan masyarakat. Selain itu, pengelolaan juga meliputi masalah kepemimpinan, komunikasi serta hubungan internal dan eksternal.[2] Pengelolaan yang dimaksud ialah kegiatan kepala sekolah dalam menangani tugas dan kewajibannya di sekolah.

Berdasarkan hal tersebut, dalam suatu lembaga pendidikan Islam, penerapan model kepemimpinan kepala sekolah memiliki peran signifikan dalam mewujudkan keefektifan suatu lembaga, yang pada proses selanjutnya tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan baik. Akan tetapi, suatu kajian konseptual akan lebih bermakna jika dikorelasikan dengan kajian kontektual yang sesuai dengan topik yang dikaji.

Maka dari itu, untuk mencari titik relevansi antara konsep model kepemimpinan kepala sekolah dalam lembaga pendidikan Islam efektif dengan realita, penulis melakukan penjelajahan lapangan secara sederhana pada lembaga pendidikan Islam di MA. Nasy’atul Muta’allimin Candi Dungkek Sumenep.

Model Kepemimpinan dalam Perspekti Para Tokoh
Era desentralisasi adalah era perubahan yang memberikan peluang besar kepada para pemimpin untuk mengembangkan nilai-nilai kepemimpinan. Pada era ini, berbagai tantangan dan ancaman datang silih berganti, sehingga diperlukan adanya sosok pemimpin yang memiliki keteguhan sikap dan kecerdasan menangkap peluang dan merancang masa depan.[3]

Oleh karena itu, kehadiran figur pemimpin dengan komitmen kualitas dan selalu memperbaruinya sesuai tuntutan stakeholders, adalah pemimpin yang diharapkan oleh setiap lembaga pendidikan dalam setiap jenjangnya. Sejatinya, kepemimpinan dalam suatu lembaga merupakan suatu aspek penting bagi efektifitas lembaga itu sendiri.[4]

Secara garis besar, Komariah dan Triatna mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis atau model kepemimpinan yang dipandang representatif dengan tuntutan era desentralisasi, yaitu sebagai berikut:

1. Model Transaksional
Model kepemimpinan traksaksional adalah model kepemimpinan yang menekankan pada tugas yang diemban bawahan. Pemimpin adalah seseorang yang men-design pekerjaan beserta mekanismenya, dan staf adalah seseorang yang melaksanakan tugas sesuai dengan kemampuan dan keahlian.[5]

Kepemimpinan transaksional lebih difokuskan pada peranannya sebagai manajer, karena ia memiliki ruang keterlibatan yang cukup besar dalam aspek-aspek prosedural manajerial. Dalam hal ini, sistem kerja yang jelas merujuk pada tugas yang diemban dan imbalan yang diterima sesuai dengan derajat pengorbanan dalam pekerjaan.

Pola hubungan yang dikembangkan model kepemimpinan ini ialah berdasarkan suatu sistem timbal balik (traksaksi) yang sangat menguntungkan, yaitu pemimpin memahami kebutuhan dasar para anggotanya dan pemimpin menemukan solusi atas cara kerja dari para anggotanya tersebut. Sehingga, keberadaan pemimpin dan anggota dalam model kepemimpinan ini ialah saling mengisi dan saling melengkapi.

2. Model Transformasional
Model kepemimpinan transformasional merupakan tanggapan terhadap tantangan zaman yang penuh dinamika. Model kepemimpinan ini tidak saja didasarkan pada kebutuhan akan penghargaan diri, tetapi menumbuhkan kesadaran pada pemimpin untuk berbuat yang terbaik sesuai dengan kajian perkembangan manajemen dan kepemimpinan yang memandang manusia, kinerja dan pertumbuhan organisasi adalah sisi yang saling berpengaruh.[6]

Dengan demikian, maka dapat dipahami pemimpin transformasional ialah pemimpin yang memiliki wawasan jauh ke depan serta berupaya memperbaiki dan mengembangkan organisasi bukan untuk saat ini, tetapi untuk masa yang akan datang.[7] Menurut Covey dan Peters dalam Komariah dan Triatna, pemimipin transformasional adalah pemimpin yang memiliki visi yang jelas, memiliki gambaran holistik tentang bagaimana organisasi di masa depan ketika semua tujuan dan sarannya telah tercapai.[8] Inilah yang menegaskan bahwa pemimipin transformasional merupakan pemimpin yang mendasarkan dirinya pada cita-cita di masa depan, terlepas apakah visi itu visioner dalam arti diakui oleh semua orang sebagai visi yang hebat dan mendasar.

3. Model Visioner (Visinary Leadership)
Pada dasarnya, orang yang merumuskan visi adalah pemimpin melalui kinerja kepemimpinannya. Visi diciptakan bukan semata-mata untuk menciptakan sistem pendidikan yang berkualitas yang mampu bertahan dan berkembang memenuhi tuntutan dan idealisme, tetapi dapat mengakomodasi kepentingan hubungan baik di antara personel dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta dalam meniti karirnya.

Kepemimpinan yang relavan dengan tuntutan school based management dan didambakan bagi peningkatan kualitas pendidikan ialah kepemimpinan yang memiliki visi (vinionary leadership), yaitu kepemimpinan yang kerja pokoknya difokuskan pada rekayasa masa depan yang penuh tantangan serta menjadi agen perubahan yang unggul dan menjadi penentu arah organisasi yang memahami prioritas, menjadi pelatih yang profesional serta dapat membimbing personel lainnya ke arah profesionalisme kerja yang diharapkan.[9] John Adair dalam Komariah dan Triatna, mengemukakan ciri-ciri visionary leadership ialah sebagai berikut:

a.  Memiliki integritas pribadi;
b.  Memiliki antusiasme terhadap perkembangan lembaga yang dipimpinnya;
c.  Mengembangkan kehangatan, budaya dan iklim organisasi;
d.  Memiliki ketenangan dalam manajemen organisasi;
e.  Tegas dan adil dalam mengambil tindakan / kebijakan kelembagaan.[10]

Kepemimpinan visioner salah satunya ditandai oleh kemampuan dalam membuat perencanaan yang jelas sehingga dari rumusan visinya tersebut akan tergambar sasaran apa yang hendak dicapai dari pengembangan lembaga yang dipimpinnya.

Dengan demikian, dapat penulis simpulkan bahwa model kepemimpinan visioner merupakan suatu model kepemimpinan yang mana pemimipin adalah sosok yang memiliki kemampuan dalam mencipta, merumuskan, mengomunikasikan / mensosialisasikan / mentransformasikan dan mengimplementasikan pemikiran-pemikiran ideal yang berasal dari dirinya atau sebagai hasil interaksi sosial di antara anggota organisasi dan stakeholders yang diyakini sebagai cita-cita organisasi di masa depan yang harus diraih atau diwujudkan melalui komitmen semua personel.

Sedangkan Wirawan mengemukakan ada empat pola perilaku pemimpin atau model kepemimpinan dalam memimpin para pengikutnya (baca: guru), yaitu otokratik, paternalistik, partisipatif dan demokratik, dengan pembahasan sebagai berikut:

1. Model Otokratik
Model kepemimpinan otokratik adalah suatu model kepemimpinan yang menempatkan sosok pemimpin pada kekuasaan mutlak, sementara para anggota tidak mempunyai kebebasan untuk menggunakan kebebasan untuk menggunakan kekuasaannya. Di antara indikator dari gaya kepemimpinan ini ialah:

a.    Visi dan misi organisasi ditentukan oleh pemimpin;
b.    Para pengikut hanya pelaksana keputusan;
c. Pemimpin mempunyai wewenang untuk menghukum bawahan yang tidak mematuhi perintah;
d.    Komunikasi dilakukan secara formal melalui jalur birokrasi dan hirarki dari atas ke bawah;
e. Komunikasi dari bawah ke atas hanya dalam bentuk laporan pertanggung jawaban pelaksanaan aktivitas;
f.      Kreativitas dan inovasi para pengikut rendah;
g.    Pemimpin can do no wrong atau selalu benar.[11]

2. Model Paternalistik
Model kepemimpinan paternalistik adalah model kepemimpinan yang menganggap pemimpin sebagai orangtua dan anggotanya sebagai anak yang perludibimbing ke arah kedewasaan. Di antara indikator dari model kepemimpinan ini ialah:

a.    Visi, misi dan tujuan organisasi ditentukan sepenuhnya oleh pemimpin;
b.    Kebebasan pemimpin untuk menggunakan kekuasaannya tinggi, sedangkan anggota rendah;
c.     Anggota melaksanakan keputusan berdasarkan petunjuk atasan;
d.  Pemimpin melaksanakan prinsip-prinsip ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso dan tut wuri handayani;
e.    Komunikasi dua arah, dari atas memberikan petunjuk dan dari bawah menanyakan: apa yang harus dilakukan, bagaimana cara melakukannya dan kapan akan dilakukan;
f.      Kreativitas dan inovasi rendah
g.    Pemimpin can do no wrong (selalu benar).[12]

3. Model Partisipatif
Model kepemimpinan partisipatif adalah model kepemimpinan yang terletak di tengah-tengah, yaitu jumlah kekuasaan dan kebebasan antara pemimipin dan anggota sama besar. Pada prosesnya, pemimpin dan anggota harus berpartisipasi aktif dalam menyusun perencanaan, melaksanakan dan mengevaluasi hasilnya.

Model kepemimpinan ini disebut juga model kepemimpinan gotong royong, yakni pemimpin dan anggota sama-sama menggotong dan sama-sama meroyong kegiatan dan hasilnya. Di antara indikatornya ialah:

a. Visi, misi, tujuan dan strategi organisasi ditentukan oleh pemimpin atas bantuan para pengikutnya;
b.    Jumlah kekuasaan dan kebebasan pemimpin dan anggota sama besar;
c.   Pembuatan keputusan mengenai kebijakan dan aktivitas pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh pemimpin bersama-sama dengan anggotanya;
d.    Pemimpin mendelegasi sebagian tugasnya kepada para anggota;
e.    Kreativitas dan inovasi anggota sedang.[13]

4. Model Demokratik
Model kepemimpinan demokratik adalah model kepemimpinan yang menempatkan jumlah kekuasaan dan kebebasan para anggota lebih besar dari pada pemimpin. Secara definitif, demokrasi artinya dari, oleh dan untuk rakyat. Maka, di antara indikator model kepemimpinan ini ialah:

a.    Visi, misi, tujuan dan strategi dibuat oleh para anggota dibantu oleh para pemimpin;
b.    Anggota memiliki kekuasaan dan kebebasan lebih besar dari pada pemimpin;
c.     Proses pembuatan keputusan dilakukan melalui musyawarah dan voting;
d. Rencana kegiatan disusun dan dilaksanakan oleh para anggota di bawah koordinasi pemimpin;
e.    Komunikasi berlangsung secara formal dan informal baik secara vertikal maupun horizontal;
f.      Pemberdayaan para anggota tinggi.[14]

Kajian Teoritik: Lembaga Pendidikan Islam Efektif
Lembaga pendidikan Islam efektif merupakan bahasa lain dari sekolah efektif (school effectiveness). Dalam memahami konsep dasar sekolah efektif  ialah dapat dipahami dari pengertian per-kata yaitu sekolah dan efektif. Dari dua istilah tersebut dapat diambil kesimpulan, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenati definisi yang sesungguhnya dari sekolah efektif.

Menurut Hoy dan Miskel dalam Supardi mengatakan bahwa sekolah merupakan sebuah organisasi. Secara sederhana, organisasi merupakan sistem sosial. Sebagai sebuah sistem, organisasi terdiri dari beberapa komponen, yaitu struktur, individu, budaya dan politik.[15] Sedangkan efektif adalah tepat guna, berhasil.[16] Sehingga, efektivitas suatu sekolah menunjukkan adanya proses perekayasaan berbagai sumber dan metode yang diarahkan pada terjadinya pembelajaran secara optimal.

Maka, Supardi mengatakan sekolah efektif merupakan sekolah yang memiliki kesesuaian antara hasil yang dicapai dengan hasil yang diharapkan. Lebih lanjut Abin dalam Supardi mendefinisikan sekolah efektif menunjukkan tingkat kesesuaian antara hasil yang dicapai berupa achievements atau observed aoutputs dengan hasil yang diharapkan berupa objectives, targets, intended outputs sebagaimana telah ditetapkan.[17]

Berdasaikan uraian definisi tentang sekolah efektif tersebut, dapat dipahami bahwa sekolah efektif merupakan sekolah yang memiliki kemampuan memberdayakan setiap komponen penting sekolah baik secara internal maupun eksternal serta memiliki sistem pengelolaan yang baik, transparan dan akuntabel dalam rangka pencapaian visi-misi-tujuan secara efektif dan efisien.

Burstein, Linn dan Capeel dalam Supardi menegaskan sekolah efektif mengandung dua dimensi, yaitu kualitas dan ekuitas. Dalam pandangan mereka (Burstein, Linn dan Capeel), sekolah efektif adalah sekolah yang dapat meningkatkan pencapaian akademik peserta didik yang tinggi dan bertanding dengan sekolah-sekolah yang lain. Karena apabila pencapaian akademik sekolah di bawah rata-rata pencapaian kebanyakan sekolah, maka sekolah tersebut tidak termasuk sekolah efektif. [18]

Maka dari itu, dapat penulis simpulkan bahwa sekolah efektif adalah sekolah yang dapat menghasilkan prestasi akademik peserta didik yang tinggi, menggun akan sumber daya secara cermat, adanya iklim sekolah yang mendukung kegiatan pembelajaran, proses pembelajaran yang berkualitas, adanya kepuasan setiap unsur yang ada di sekolah serta output sekolah bermanfaat bagi lingkungannya.

Berdasarkan meta analisis yang dilakukan oleh MacBeath dan Mortimer yang dikutip oleh Supardi, dapat disimpulkan bahwa sekolah efektif memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1.    Visi dan misi yang jelas
2.    Kepala sekolah yang profesional
3.    Guru yang profesional
4.    Lingkungan belajar yang kondusif
5.    Manajemen yang kuat
6.    Kurikulum yang luas dan berimbang
7.    Penilaian dan pelaporan prestasi siswa yang bermakna
8.    Pelibatan masyarakat yang tinggi.[19]

Pada dasarnya, banyak argumentasi yang berbeda mengenai ciri-ciri dari sekolah efektif. Akan tetapi, dari beberapa argumentasi tokoh, penulis simpukan secara sederhana bahwa inti dari sekolah efektif ialah suatu lembaga yang menunjukkan ketercapaian setiap kegiatan yang dilaksanakan mencapai atau melebihi dari pada tujuan yang telah ditetapkan. Karena, untuk mencapai suatu tujuan diperlukan perangkat atau pefungsian komponen-komponen sekolah secara efektif, agar proses pendidikan yang dijalankan dapat dengan mudah mencapai satu titik yang dituju.

Analisis Konteks: MA. Nasy’atul Muta’allimin sebagai Lembaga Pendidikan Islam Efektif
Berdasarkan beberapa kriteria mengenai lembaga pendidikan Islam efektif atau sekolah efektif dalam perspektif MacBeath dan Mortimer sebagaimana disebutkan di atas, maka pada bagian ini penulis ingin menganalisis sebuah lembaga sebagai lembaga pendidikan Islam efektif yaitu MA. Nasy’atul Muta’allimin yang terletak di Desa Candi Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep, melalui beberapa kriteria tersebut.

Pertama, visi dan misi yang jelas. Visi sekolah di MA. Nasy’atul Muta’allimin ini ialah: “Mencetak generasi berkualitas yang beriman, berilmu dan berbudi luhur”. Dalam merumuskan visi dan misi sekolah ini, hal pertama yang dilakukan ialah mengadakan komunikasi bersama stakehorders, dengan masyarakat, pengurus yayasan, orang tua siswa, guru dan bahkan juga dengan siswa. Sehingga, dengan demikian dapat dirumuskan misi yang mengarah pada terealisasinya visi yang telah ditetapkan.

Kedua, kepala sekolah yang profesional. Kepala sekolah di lembaga ini sudah cukup profesional. Hal itu ditunjukkan dengan adanya sikap tanggung jawab kepala sekolah yang begitu besar dalam menggerakkan seluruh elemen sekolah. Sehingga, para guru di bawah pimpinan kepala sekolah mendapatkan ruang yang begitu besar dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pengajar sekaligus pendidik.

Ketiga, guru yang profesional. Secara umum, para guru di sekolah ini dapat dikatakan profesional, meski masih perlu dilakukan pembinaan secara intensif agar kualitas guru semakin meningkat. Profesionalisme guru dapat dilihat dari kedisiplinan dalam menjalankan tanggung jawabnya, kesiapan dalam melaksanakan tugas serta kemahiran dalam menciptakan kegiatan pembelajaran inovatif, kreatif dan menyenangkan.

Keempat, lingkungan belajar yang kondusif. Lingkungan belajar yang kondusif sudah mulai tampak dengan menerapkan metode pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Karena, setiap guru sudah dibekali pengetahuan yang mumpuni dalam melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dari peran kepala sekolah yang memberikan ruang cukup luas bagi setiap guru untuk mengikuti pelatihan guna menambah dan meningkatkan pengetahuan agar proses pembelajaran berlangsung lebih bermakna.  

Kelima, manajemen yang kuat. Secara garis besar, manajemen di lembaga dapat dikategorikan sebagai manajemen yang sudah mulai tetrtata dengan baik. Dalam hal ini, kepala sekolah melakukan pembinaan secara intensif berupa pelatihan, lalu dilakukan pendampingan dengan mengadakan cross check terhadap hasil pelatihan. Kemudian, jika ditemukan guru yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugasnya, maka kepala sekolah memainkan perannya yaitu membimbing para guru agar memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya.

Keenam, kurikulum yang luas dan berimbang. Kurikulum yang digunakan di lembaga pendidikan ini ialah KTSP dan K-13 (masih separuh-separuh). Khusus yang agama, menggunakan kurikulum K-13 sesuai dengan petunjuk dari Depag. Sedangkan untuk mata pelajaran lain masih menggunakan KTSP. Akan tetapi, dalam penggunaannya, lembaga pendidikan ini melakukan pengembangan-pengembangan disesuaikan dengan sosio-kultural sekolah itu berada. Karena, secara konseptual K-13 memang memberikan peluang bagi setiap lembaga untuk menciptakan kreativitas sesuai dengan letak dimana sekolah itu berada.

Ketujuh, penilaian dan pelaporan prestasi siswa yang bermakna. Ada beberapa prestasi yang dicapai, salah satunya ialah siswa MA. Nasy’atul Muta’allimin masuk 10 besar pada lomba matematika tingkat kabupaten. Prestasi tersebut merupakan hasil dari sebuah sistem pendidikan yang dijalankan. Maka dari itu, prestasi siswa yang dicapai dapat dijadikan barometer keberhasilan suatu lembaga pendidikan, sehingga hal itu memberikan dorongan tersendiri untuk mempertahankan dan lebih mengembangkan potensi siswa yang beragam.

Kedelapan, pelibatan masyarakat yang tinggi. Di MA. Nasy’atul Muta’allimin termasuk lembaga pendidikan yang melibatkan masyarakat sekitar dalam proses pendidikan. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kegiatan berikut: 1) Setiap kali triwulan diadakan pertemuan dengan wali. Kegiatan itu dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada orangtua tentang perkembangan sekolah secara umum serta tentang perkembangan siswa secara khusus;  2) Meminta wali siswa untuk senantiasa memperhatikan perkembangan anaknya, terutama dalam masalah ubudiyah.

Salah satu contoh, di MA. Nasy’atul Muta’allimin Candi Dungkek Sumenep, pada tahun ajaran baru kemarin, ada dua siswa baru yang tidak hafal bacaan shalat. Itu masalah yang harus segera ditangani. Sehingga, pihak sekolah mendatangkan wali siswa baru tersebut untuk menanyakan beberapa hal tentang anak mereka. Selain itu, sekolah juga membangun kerjasama dengan wali dalam rangka menangani perkembangan anaknya. Kemudian membuat suatu target, misalnya dalam jangka waktu 15 atau 20 hari anak harus sudah hafal bacaan shalat.

Di MA. Nasy’atul Muta’allimin ada guru dampingan dalam setiap mata pelajaran. Terkait dengan problematika di atas, maka guru yang memiliki tanggung jawab terhadap hal tersebut ialah guru pendamping dalam bidang keagamaan. Setiap hari, guru tersebut bertanya kepada dua siswa yang bermasalah: bagaimana hafalan bacaan shalatnya? Sudah sampai dimana? Kira-kira butuh berapa hari lagi untuk hafal secara keseluruhan? Dan seterusnya.

Begitu pula dalam masalah mengaji. Setiap awal masuk, siswa biasa ditanya: guru nyajinya siapa?  Hal itu dilakukan sebagai bentuk preventif akan terjadi kasus siswa baru yang tidak tahu membaca al-Qur’an. Sehingga, pihak sekolah mudah untuk melacak dan mengetahui lebih awal tempat siswanya mengaji.  

Jadi, keterlibatan masyarakat sekitar di sekolah ini sangat besar terutama mengenai perilaku siswa. Sehingga, apabila ada siswa yang berperilaku kurang baik, maka pasti ada masyarakat yang mendatangi sekolah ini.

Berdasarkan deskripsi di atas, melihat relevansi antara teori dengan kenyataan yang terdapat di MA. Nasy’atul Muta’allimin Candi Dungkek Sumenep, dapat dikakategorikan sebagai lembaga pendidikan efektif. Karena, mencocokkan teori yang dikemukakan oleh MacBeath dan Mortimer mengenai sekolah efektif sesuai dengan kondisi lembaga pendidikan tersebut.

Model Kepemimpinan Kepala Sekolah di MA. Nasy’atul Muta’allimin
Berangkat dari pemahaman tentang beberapa model kepemimpinan di atas, kepala sekolah di lembaga pendidikan MA. Nasy’atul Muta’allimin Candi Dungkek Sumenep, menerapkan model kepemimpinan yang bersifat kekeluargaan.

Model ini, jika disesuaikan dengan model kepemimpinan secara teoritik lebih dekat dengan model kepemimpinan transformasional dengan jiwa pemimpin yang visioner untuk mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik. Karena pada prakteknya, kepala sekolah di lembaga tersebut memiliki visi yang jauh ke depan dalam rangka memajukan lembaga yang dipimpin agar output yang dihasilkan sesuai dengan tuntutan zaman yang semakin kompleks.

Dalam melaksanakan tugasnya, kepala sekolah memiliki kepedulian yang tinggi terhadap peningkatan kualitas guru. Hal tersebut disampaikan sendiri oleh Bapak H. Sapik, S.Pd. selaku kepala sekolah, berikut petikan wawancaranya:
“Dalam kepemimpinan saya menggunakan sistem kekeluargaan. Karena, bagaimanapun juga, kita itu susah untuk mencapai visi dan misi, kalau dalam suatu lembaga sistem kepemimpinan yang digunakan adalah sistem kepemimpinan otoriter.

Melalui sistem kekeluargaan, langkah yang saya lalukan: Pertama, membangun hubungan dengan atasan yaitu yayasan sebagai orang yang menugaskan kita untuk melakukan kegiatan kepemimpinan atau kegiatan pendidikan ini. Jadi, apapun yang kami lakukan pasti berdasarkan konsultasi dengan yayasan, apapun yang kami ambil sebagai sebuah kebijakan pasti melibatkan yayasan untuk konsultasi yang dilakukan secara kekeluargaan.

Kedua, melakukan komunikasi secara kekeluargaan dengan para guru dan karyawan. Suatu tugas dikerjakan bersama, apabila ada kendala, kita coba bicarakan, bagaimana kendala itu bisa kita selesaikan bersama.

Ketiga, melakukan komunikasi secara kekeluargaan bersama wali siswa khususnya berkaitan dengan masalah-masalah siswa.

Keempat, malakukan komunikasi secara kekeluargaan dengan siswa baik melalui wakil kepala kesiswaan atau BP. Masalah-masalah siswa dikomunikasikan apa masalah yang dihadapi siswa, apa sumbernya dan bagaimana cara menyelesaikannya. Karena, kenakalan siswa itu sebenarnya bukan semata-mata karena siswanya, tetapi banyak faktor yang mempengaruhinya. Intinya, kepemimpinan di sekolah ini, lebih menekankan pada kebersamaan yakni melakukan rapat bersama, memutuskan bersama dan kita kerjakan bersama”.[20]

Dari ungkapan kepala sekolah tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa model kepemimpinan yang diterapkan di MA. Nasy’atul Muta’allimin Candi Dungkek Sumenep ialah model kepemimpinan yang bersifat kekeluargaan, dalam arti tidak hanya berorientasi pada tugas (hasil), tetapi proses untuk mencapai hasil itulah yang lebih diperhatikan. Bapak Ibdiyanto, S.Pd.I. (Guru Aqidah Akhlak) mengungkapkan hal senada bahwa:

“Model kepemimpinan yang diterapkan ialah lebih bersifat kekeluargaan, yaitu kepemimpinan kepala sekolah tidak hanya berorientasi pada tugas, tetapi berbagai kesulitan yang dihadapi oleh guru dalam melaksanakan tugasnya menjadi point penting yang harus ditangani dan diperbaiki bersama-sama”.[21]

Profesionalisme kepala sekolah memiliki peran yang cukup besar dalam memajukan lembaga pendidikan yang dipimpin agar output yang dihasilkan benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat sebagai agent of change dalam menyikapi dinamika kehidupan tak dapat dielakkan.

Tanggung jawab kepala sekolah sebagai visionary leadership diwujudkan dengan memberikan concern terhadap perkembangan kinerja guru dari waktu ke waktu. Perhatian yang serius terhadap hal tersebut akan memberikan ilmplikasi yang cukup berarti dalam meningkatkan kualitas guru sebagaimana yang diharapkan.

Selain itu, sosok kepala sekolah MA. Nasy’atul Muta’allimin Candi Dungkek Sumenep, sebagai pemimpin yang profesional juga diakui oleh siswa. Sehingga setiap siswa memiliki gambaran tersendiri tentang kepala sekolah. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara penulis dengan dua orang siswi sebagaimana kutipan wawancara berikut ini:

“Menurut saya, kepala sekolah di lembaga ini adalah sosok yang netral, yaitu bisa menyesuaikan dimana ia berada, misalnya beliau sedang mengajar, maka ia tampak layaknya seorang guru pada muridnya, begitu pula ketika beliau sedang berkumpul bersama masyarakat, beliaupun dapat menyesuaikan dengan komunitas tersebut”.[22]

“Menurut saya, sosok kepala sekolah di lembaga ini adalah sosok yang tegas kepada para guru dan siswa. Jadi setiap perkataan beliau selalu mampu membuat kami bergerak untuk mengikuti mulai dari murid terbaik sampai pada murid yang nakal sekalipun di sekolah ini. Inilah yang membedakan bapak Sapik dengan guru-guru yang lain”.[23]

Dari beberapa pengakuan dari informan sebagaimana dipaparkan di atas, menunjukkan bahwa kepala sekolah di MA. Nasy’atul Muta’allimin Candi Dungkek Sumenep, memiliki kualitas yang unggul sebagai visionary leadership. Inilah yang menjadi kunci utama keefektifan proses pendidikan di lembaga tersebut. Karena, peran kepala sekolah memiliki potensi yang besar dalam menggerakkan komponen-komponen penting dalam lembaga pendidikan yang dipimpin.

Penutup
Penerapan model kepemimpinan dalam suatu lembaga pendidikan menjadi barometer suatu lembaga mencapai keberhasilan atau tidak, karena setiap model kepemimpinan yang diterapkan memiliki implikasi tersendiri terhadap proses pendidikan yang dijalankan serta output yang dihasilkan. Secara konseptual, ada tiga model kepemimpinan, yaitu model kepemimpinan transaksional, transformasional dan visioner (visionary leadership). Pendapat lain menyebutkan ada empat model kepemimpinan yaitu, otokratik, paternalistik, partisipatif dan demokratik.

Lembaga pendidikan Islam efektif merupakan lembaga pendidikan yang memiliki kesesuaian antara hasil yang ditetapkan dengan hasil yang didapatkan. Secara konseptual, mengacu pada ciri-ciri sekolah efektif sebagaimana yang dikemukakan oleh MacBeath dan Mortimer, MA. Nasy’atul Muta’allimin Candi Dungkek Sumenep termasuk sekolah efektif dengan segala perangkat yang melingkupinya. Dalam menyimpulak hal itu, penulis telah melakukan interview kepada kepala sekolah, guru dan beberapa siswa, serta melakukan observasi terhadap lembaga tersebut untuk menyesuaikan hasil wawancara dengan realita yang sebenarnya.

Dilihat secara teori, model kepemimpinan kepala sekolah di MA. Nasy’atul Muta’allimin ialah menerapkan model kepemimpinan visioner. Dalam prakteknya, kepala sekolah memiliki visi yang jauh ke depan untuk mengembangkan lembaga yang dipimpin dengan menggerakkan seluruh elemen guna membentuk satu kesatuan yang saling melengkapi.


Daftar Pustaka
Mulyasa. 2014. Manajemen Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Rohiat. 2008. Kecerdasan Emosional Kepemimpinan Kepala Sekolah. Bandung PT. Refika Aditama.
Komariah, Aan & Cepi Triatna. 2010. Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Syafaruddin. 2008. Efektivitas Kebijakan Pendidikan: Konsep, Strategi dan Aplikasi Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Wirawan. 2013. Kepemimpinan: Teori, Psikologi, Perilaku Organisasi, Aplikasi dan Penelitian. Jakarta: Rajawali Pres.
Supardi. 2013. Sekolah Efektif: Konsep Dasar dan Praktiknya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Partanto, Pius & M. Dahlan Barry. 2001. Kamus Ilmiah Popular. Surabaya: Arkola.




[1] Mulyasa, Manajemen Kepemimpinan Kepala Sekolah (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2014), 61.
[2] Rohiat, Kecerdasan Emosional Kepemimpinan Kepala Sekolah (Bandung PT. Refika Aditama, 2008), 2.
[3] Aan Komariah & Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), 75.
[4] Syafaruddin, Efektivitas Kebijakan Pendidikan: Konsep, Strategi dan Aplikasi Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008), 180.
[5] Komariah & Triatna, Visionary Leadership, 75.
[6] Ibid.
[7] Ibid., 78.
[8] Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), 115.
[9] Ibid., 82.
[10] Ibid.
[11] Wirawan, Kepemimpinan: Teori, Psikologi, Perilaku Organisasi, Aplikasi dan Penelitian (Jakarta: Rajawali Pres, 2013), 381.
[12] Ibid., 182.
[13] Ibid., 382-383.
[14] Ibid.
[15] Supardi, Sekolah Efektif: Konsep Dasar dan Praktiknya (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), 1.
[16] Pius Partanto & M. Dahlan Barry, Kamus Ilmiah Popular (Surabaya: Arkola, 2001), 135.
[17] Supardi, Sekolah Efektif, 2.
[18] Ibid., 3.
[19] Ibid., 13.
[20] Wawancara bersama Kepala Sekolah dilakukan pada hari senin tanggal 31 Oktober 2016 di kantor MA. Nasy’atul Muta’allimin Candi Dungkek Sumenep.
[21] Wawancara bersama guru pengajar mata pelajaran Aqidah Akhlak (Bapak Ibdiyanto, S.Pd.I.) pada hari senin tanggal 31 Oktober 2016, bertempat di kantor MA. Nasy’atul Muta’allimin Candi Dungkek Sumenep.
[22] Hasil wawancara dengan Qudwatul Fikriyah (siswi kelas XII) pada hari senin tanggal 31 Oktober 2016, bertempat di kantor MA. Nasy’atul Muta’allimin Candi Dungkek Sumenep.
[23] Hasil wawancara dengan Marlina (siswi kelas XI) pada hari senin tanggal 31 Oktober 2016, bertempat di kantor MA. Nasy’atul Muta’allimin Candi Dungkek Sumenep.

Posting Komentar

0 Komentar