Haji
Saleh terpaku menatap buku catatan hutang di tangannya. Baris demi baris ia
baca, lembar demi lembar ia buka pelan-pelan. Melihat susunan angka dengan nol
berlipat-lipat adalah hal musykil baginya. Di situ juga tertera tanggal awal
pinjam dan jatuh tempo dilengkapi dengan besar bunga perbulannya. Angka-angka
itu tidak saja berupa tulisan bagi Haji Saleh, tetapi juga menjelma suara
semacam tuntutan agar pelunasan segera dilakukan.
Setahun belakangan ini, ia membayar
hutang dengan cara gali lobang tutup lobang, meminjam pada pihak lain
untuk melunasi hutang lama. Begitu seterusnya. Di tahun ini, nominal hutang di
buku catatannya semakin menumpuk. Bukan
berkurang, tetapi terus bertambah. Kepala Haji Saleh nyaris terbakar. Beban
hidup yang menindihnya terasa berat, bahkan sangat kuat dan ia tak kuasa melawan.
“Susahnya mencari pinjaman yang tak
bersyarat, jika tidak dengan bunga yang berlipat, maka pinjaman yang kuinginkan
tidak akan segera kudapat.” Gumamnya penuh sesak. Ia tenggelam dalam penyesalan
menatap masa lalunya yang suram.
***
Berawal dari kopiah putih dan label
haji di depan namanya, ia dililit hutang sampai sekarang. Biaya ongkos naik
haji didapat dengan menjual tanah serta beberapa ekor sapi yang dimiliki.
Sementara biaya selamatan mulai dari berangkat sampai pulang dari tanah suci, istrinya
rela menggadaikan cincin dan gelang yang ia beli di awal mereka menikah. Belum lagi
biaya untuk tamu yang datang berkunjung, dengan menyediakan suguhan yang
sepantasnya.
Karena ambisi yang tinggi, Haji Saleh
tergerak melaksanakan ibadah haji. Sebagai upaya menyempurnakan rukun Islam, ia
tak perlu tahu, kepada siapa sebenarnya haji itu diwajibkan. Akhirnya, gelar haji
ia peroleh di atas tunas-tunas hutang yang tumbuh subur dan terus berkembang.
Kini Haji Saleh hanya memiliki sepetak
tanah luas yang biasa ditanami jagung atau biji-bijian sejenis saat musim hujan
turun. Ketika gadai perhiasan sang istri sudah jatuh tempo, satu-satunya yang
terlintas di pikirannya adalah menjual sisa kekayaan yang dimiliki, sekalian
juga bisa melunasi hutang-hutangnya yang lain. Tak butuh waktu lama, kabar ini
tersebar di desanya. Lalu. salah seorang tetangga datang menemuinya.
“Dengar-dengar tanah tegal milik sampean
mau dijual? Boleh saya ikut menawarnya jika masih belum resmi terjual,” ucap
Mastuki setengah basa-basi. Usianya sedikit lebih mudah dari Haji Saleh.
“Iya betul,” jawabnya singkat.
“Begini, Pak Haji. Kami punya toko
kelontong di Jakarta. Jika sampean dan keluarga berminat, boleh sampean
ganti toko kelontong kami. Pengalaman kami selama dua tahun merantau, kami
dapat melunasi semua hutang, bahkan di tahun ini kami sudah daftar haji lho,
Pak.” Dengan jurus penawaran yang jitu, Mastuki bisa membuat hati Haji Saleh
luluh.
“Lalu, bagaimana dengan biayanya?”
tanya Haji Saleh kemudian.
“Pak Haji tak perlu khawatir. Toko
kelontong kami bisa menjadi miliki sampean sepenuhnya, asal tegal yang
hendak sampean jual itu secara resmi menjadi milik kami. Tenang saja,
soal ongkos berangkat Pak Haji dan keluarga, biar kami yang tanggung.” Jawabnya.
Haji Saleh tampak diam seperti sedang mempertimbangkan segala sesuatunya.
Kemudian, Mastuki menjelaskan lebih
detail tentang isi toko kelontongnya di Jakarta. Akhirnya keyakinan Haji Saleh
pun bulat. Ia menyepakati dan tukar menukar itu dianggap balance. Tak
peduli lagi dengan gadai perhiasan milik istrinya, yang penting ia bisa
merantau, mencari kehidupan yang lebih menggiurkan dan menjanjikan.
Tiga hari setelah kesepakatan itu
terjadi, Haji Saleh siap berangkat merantau bersama istri dan buah hatinya yang
masih kecil. Sebenarnya ibunya keberatan dengan keputusan yang diambil karena
terkesan terlalu cepat. Namun, Haji Saleh berusaha meyakinkan ibunya bahwa ini
jalan terbaik yang harus dipilih. Kondisi sang ibu yang sudah tua dan sering
sakit-sakitan, dengan berat hati melepas kepergian anak semata wayangnya ke
tanah rantau yang jauh, Jakarta.
***
Hampir setiap hari, Kalsum selalu
pergi ke rumah Suno, adik sepupu Haji Saleh untuk menanyakan kabar anaknya, menantu
dan cucunya. Sesekali ia menelpon sendiri menggunakan handphone milik
keponakannya itu. Tak lupa ia menanyakan kabar, perkembangan toko kelontongnya,
dan kalimat yang selalu diucapkan sebelum teleponnya ditutup, “Jangan lupa
pulang, Nak...” Tampak sekali aura rindu di wajah teduhnya, namun ia pendam
dalam-dalam. Karena anaknya selalu bilang, apa yang ia pilih adalah ikhtiar
untuk kebaikan masa depannya.
Bulan demi bulan dilalui tanpa kabar
kemajuan ekonomi anaknya di tanah rantau. Bahkan saat sakit Kalsum kambuh, Suno
mengabari Haji Saleh bahwa ibunya butuh perawatan intensif agar kodisinya
segera pulih. Beberapa hari sebelum jatuh sakit, ia pernah menyuruhnya pulang,
tapi Haji Saleh menjawab masih mengumpulkan uang. Tidak mudah pulang-pergi
dengan jarak tempuh belasan jam.
Dua hari yang lalu, Kalsum didatangi
orang tak dikenal dengan maksud menagih hutang Haji Saleh. Hatinya getir, ia
tidak tahu kapan anaknya berhutang pada mereka. Bahkan yang paling mengejutkan,
saat nominal hutang yang harus dibayar cukup besar jumlahnya. Seumur-umur Kalsum
belum pernah pegang uang sebesar angka yang disebutkan itu. Ia kaget lalu
pingsan dan sejak itu tubuhnya lemah dan kondisi kesehatannya menurun.
“Aku minta tolong, rawat ibuku dulu, soal
biaya nanti aku ganti. Uangku masih digunakan buat belanja kebutuhan toko.
Karena, persaingan di sini cukup ketat.” Ucapnya pada Suno via telepon saat
Suno mengabari keadaan ibunya.
“Baik, Kak. Tapi, usahakan secepatnya
Kakak pulang. Ibu Sum butuh keberadaan Kakak di saat seperti ini,” Suno
berusaha menyampaikan suara hati Kalsum meski tak pernah diucapkan padanya.
“Bulan depan aku usahakan pulang.”
Tukasnya. Teleponpun berakhir, harapan ibunya menggantung pada janji yang belum
pasti.
Kondisi kesehatan Kalsum semakin tak
menentu. Sama seperti anaknya yang tak kunjung pulang meski keberadaannya
begitu diharapkan. Biaya yang dikeluarkan Suno untuk merawat Kalsum sudah
hampir dua juta. Ditambah lagi hutang-hutangnya yang belum dilunasi lalu
ditinggal merantau begitu saja. Sebagian tetangga menilai Haji Saleh sebagai
sosok yang lebih mementingkan ambisinya sendiri.
“Kasihan sekali Bu Kalsum, sudah lama
sakit belum juga sembuh. Punya anak dan menantu, tapi hidup sebatangkara,” ucap
Sumarni sambil memilih sayur segar di keranjang motor penjual sayur keliling.
“Iya betul. Mana hutangnya sama Haji
Hasan belum lunas. Padahal merantau sudah hampir genap setahun,” Sela Sarniti
agak ketus.
“Sama suamiku juga, dia punya hutang
saat hendak menggelar acara selamatan hajinya di hari yang ke empat puluh satu.
Bu Kalsum sudah bilang untuk dilaksanakan sederhana saja, tetapi Haji Saleh
ngotot acaranya harus mewah. Berkali-kali ditagih selalu ingkar janji.” Sarima
kesal pada Haji Saleh karena merasa ditipu.
“Huh, haji kok kayak gitu.” Sungut yang
lain ikut kesal.
Perbincangan yang berbau gosip terus
berlanjut dan semakin hangat di kalangan ibu-ibu. Hutang Haji Saleh menjadi trending
topic yang selalu asik diperbincangkan di saat berkumpul. Tentu dengan
respon yang berbeda, ada satu dua yang merasa iba, namun banyak dari mereka
yang menunjukkan rasa tidak suka.
Seusai adzan maghrib, berita duka disiarkan
dari masjid. “Innalillahi wa innailaihi roji’un, telah mendahului kita
Ibu Kalsum binti Sapi’i tadi pukul lima lewat sepuluh menit. InsyaAllah akan
dikebumikan besok sore...” Kabar kematian ibunya segera sampai ke telinga Haji
Saleh. Ia memutuskan pulang saat itu juga, ikut travel dengan menempuh perjalanan
kurang lebih delapan belas jam.
Keesokan harinya, sekitar pukul satu
siang, Haji Saleh beserta istri dan anaknya datang. Mereka segera menemui
ibunya yang baru saja selesai dimandikan. Air matanya tumpah ruah, warga yang
berada di ruang jenazah Kalsum menyaksikan penyesalan yang mendalam dari sosok
Haji Saleh. Lama terdiam di samping jasad sang ibu, ia bergegas ke kamar mandi,
ambil wudhu’ lalu mengaji. Air matanya
masih terus mengalir.
Sore hari, Kalsum selesai dikebumikan
di pemakaman umum di desa itu. Haji Saleh tak jua beranjak dari kuburan ibunya.
Entah apa dibaca, ia terlihat diam tanpa kata.
Di rumahnya, sebagian warga membantu
persiapan pengajian untuk almarhumah. Ada yang memotong bawang dan aneka
rempah-rempah, memasak nasi, daging ayam dan menyiapkan peralatan yang
dibutuhkan dalam acara ritual pengajian nanti malam hingga malam ketujuh
kematiannya.
***
Selepas selamatan kematian Kalsum dari hari pertama, ketiga sampai hari ketujuh, rumah Haji Saleh tampak sepi. Kini tersisa tiga orang, ia sendiri, anak dan sang istri. Toko kelontong yang dibeli dari Mastuki tahun lalu, sementara ditutup karena tidak ada yang menjaga. Ternyata, lokasi toko itu kurang strategis, jelas penghasilan yang diperoleh tiap harinya sedikit. Wajar saja jika sampai hari ini, ia belum mampu melunasi hutang-hutangnya yang lama, bahkan untuk acara selamatan kematian ibunya, ia menambah list hutang baru di buku catatannya.
Hutang-hutang itu setiap hari menghantui pikiran Haji Saleh. Ketenangan hidupnya terusik, pengeluaran terus berjalan, sementara pemasukan tak ada sama sekali. Kini Haji Saleh terlihat beda dari biasanya, tubuhnya semakin kurus, penampilannya tak karuan, dan tak jarang orang-orang mendapatinya bicara sendirian.
Pamekasan, 05 November 2021
0 Komentar