sumber: http://www.dwiadi.com/ |
Pendahuluan
Milenium ketiga membawa banyak harapan
perubahan bagi bangunan peradaban dunia ketika pada tiga dasawarsa pertama
terakhir abad ke-20 dan dasawarsa pertama abad ke-21 terjadi krisis global
mulai dari lingkungan hidup, sosial, politik, ekonomi dan budaya yang melanda
hampir semua segi kehidupan manusia, yang kesemuanya terbingkai dalam wadah
krisis intelektual, moral dan spiritual.[1]
Kemunduran besar yang dihadapi umat
manusia ialah keterbelakangan dalam segala aspek kehidupan mulai dari ilmu
pengetahuan, teknologi, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Wujud dari
keterbelakangan tersebut ialah meniru kebudayaan-kebudayaan asing dengan maksud
untuk mencapai tujuan yakni kemajuan. Akan tetapi, sikap yang semacam itu
justru menimbulkan de-islamisasi terhadap lapisan masyarakat dan de-moralisasi
terhadap lapisan lainnya.
Dikotomi ilmu pengetahuan adalah masalah
yang selalu diperdebatkan dalam dunia Islam, mulai sejak zaman kemunduran Islam
sampai saat ini. Akibatnya ialah terjadi pengelompokan ilmu yang terpisah-pisah
dan menjalar ke berbagai aspek kehidupan.[2] Islam menganggap ilmu
pengetahuan sebagai sebuah konsep yang holistik (menyeluruh). Hal itu dapat
dipahami bahwa tidak ada pemisahan antar ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai (Islam).
Para pemikir muslim meyakini ilmu pengetahuan dan agama adalah satu totalitas
dan integritas Islam yang tidak dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Dalam rangka pembaruan Islam, ada dua
pola berbeda yang diambil oleh para pemikir dalam peta pemikiran Islam. Pertama,
untuk mengejar ketertinggalan umat Islam dalam peradaban yang kini sedang
dipegang Barat. Pola transmisi ilmu pengetahuan dalam pendidikan Islam harus
mengikuti pola yang dikembangkan Barat, karena Barat dianggap berhasil dalam
mengembangkan pendidikan. Kedua, beranggapan bahwa sah-sah saja
mengambil sesuatu yang datang dari Barat untuk mengejar ketertinggalan
transmisi ilmu dan pendidikan, namun harus dilandasi oleh nilai dan
epistemologi Islam.[3]
Problematika inilah yang kemudian
menyadarkan al-Faruqi akan perlunya usaha-usaha filosofis yang intensif kearah
islamisasi ilmu pengetahuan. Terjadinya pro-kontra di kalangan Islam dan Barat
membuatnya larut dalam kritikan. Dalam beberapat tulisannya ia menekankan
adanya nilai tauhid sebagai ruh segala aspek keilmuan yang berkembang pada saat
itu. Hal demikian memberikan potensi tersendiri serta menjadi stimulus pengembangan
pemikirannya tersebut.
Sejalan dengan permasalahan di atas,
tulisan ini akan mencoba memperkenalkan kembali solusi untuk mengatasi tragedi
masyarakat modern yang dimaksud dengan memfokuskan kajian pada upaya
mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan Islam melalui konsep yang dikenal
dengan istilah islamisai ilmu pengetahuan dalam perspektif Ismail Raji
al-Faruqi.
Sketsa
Biografi Ismail Raji al-Faruqi
Isma’il Raji al-Faruqi lahir pada tahun
1921 dari sebuah keluarga terpandang di Jaffa, sebuah daerah di Palestina
ketika Palestina belum direbut oleh orang-orang Israel.[4] Ia mendapatkan pendidikan
agama dari ayahnya. Menurut Jhon L. Esposito yang dikutip oleh Ahmad Syarifin
dalam bukunya Samsul Nizar, mengatakan bahwa nama ayah al-Faruqi ialah ‘Abd
al-Huda al-Faruqi.[5]
Secara formal pendidikan dasarnya
dimulai di madrasah di tanah kelahirannya.[6] Sedangkan pendidikan
menengahnya ditempuh di College des Ferese, Libanon, yang menggunakan Bahasa
Perancis sebagai bahasa pengantar. Pada tahun 1941, al-Faruqi mengambil kuliah
filsafat di American University, Beirut. Setelah tamat dan meraih gelar Bachelor
of Arts, selama empat tahun kemudian bekerja sebagai pegawai negeri sipil
pada pemerintahan Inggris yang memegang mandat atas Palestina. Karena
kepemimpinannya menonjol, pada usia 24 tahun, ia diangkat menjadi Gubernur
Galilea.[7]
Pada tahun 1948, Palestina dijarah
oleh Israel, al-Faruqi beserta warga Palestina yang lain terusir dari tanah
kelahirannya. Ia tercatat sebagai Gubernur Galilea terakhir yang berdarah
Palestina. Setelah setahun menganggur, pada tahun berikutnya (1949), al-Faruqi
hijrah ke Amerika Serikat untuk melanjutkan kuliahnya, ia mendapat gelar Master
Filsafat dari Universitas Indiana.
Dua tahun kemudian, gelar Master
Filsafat kembali diraih dari Universitas Harvard.[8] Sedangkan menurut Azyumardi Azra dalam
Khodori Soleh mengemukakan bahwa gelar doktor al-Faruqi dalam bidang yang sama,
diperoleh di Universitas Indiana, namun apa yang dicapai ini tidak
memuaskannya, karena itu, kemudian ia pergi ke Mesir untuk mendalami ilmu-ilmu
keislaman di Universitas al-Azhar, Kairo.[9]
Sementara itu, kiprahnya dalam
kegiatan dan pemikiran keislaman diakui sangat berbobot. Beberapa karir yang
ditempuh ialah: menjadi dosen di McGill University (Kanada), menjadi
guru besar pada Departement of Religion di Temple University, pendiri Institut
of Islamic Thought (Lembaga Pemikiran Islam Internasional) dan lain-lain. [10] Selain mengajar, ia
mempelajari etika Yahudi dan Kristen. Pada tahun 1964, ia kembali ke Amerika
Serikat dan menjadi guru besar pada Universitas
Chicago serta Associate Profesor bidang agama pada Universitas
Syracuse.[11]
Di samping itu, keberadaan istri (Lois Lamya al-Faruqi) sangat mendukung karir
yang ditekuninya. Sehingga secara bersama-sama mereka membentuk beberapa kajian
keislaman.
Al-Faruqi merupakan salah satu tipe
intelektual dan penulis yang sangat produktif. Selama hidupnya ia telah menulis
sebanyak seratus artikel, dan hampir semua bidang ilmu dijelajahinya mulai dari
etika, seni, ekonomi, politik sosiologi dan lain-lain. Menjelang akhir
hayatnya, al-Faruqi telah berhasil menuangkan konsep-konsep pemikirannya dalam
karya terbesarnya: Tawhid: It’s Implication for Thought and Life.[12] Lepas dari segala
kekurangan yang mungkin ada, karya ini merupakan suatu sintesis yang sangat
impresif, merangkum tulisan-tulisan yang telah ia buat sebelumnya.
Selain itu, beberapa karya al-Faruqi
dalam bentuk buku sekitar 25 yang sudah dipublikasikan dalam berbagai bahasa,
di antaranya: The Trialongoe of Abrahamic Faiths yang diterbitkan pada
tahun 1986, Essay in Islamic and Comparative Studies, diterbitkan tahun
1982, Atlas of Islam, terbit tahun 1921 serta buku yang khusus
memperbincangkan The Islamization of Knowlwdge, diterbikan tahun 1982.[13]
Pada tanggal 24 Mei 1986, al-Faruqi
bersama istri tercintanya mengakhiri hidupnya, karena pembunuhan yang menimpa
keluarga ini secara tidak terduga-duga. Untuk mengenang jasa-jasa, usaha dan
karyanya, organisasi Islamic Society North America (ISNA) dalam
rangka mengabadikan dengan mendirikan ‘The Ismail and Lamya al-Faruqi
Memorial Fund’, yang bermaksud melanjutkan cita-citanya ‘Islamisasi Ilmu
Pengetahuan’.[14]
Pokok-pokok Pemikiran Ismail
Raji al-Faruqi
1. Tauhid
Dari sekian banyak nilai
yang terkandung dalam sumber ajaran Islam, nilai yang fundamental adalah nilai
tauhid. Isma’il Raji al-Faruqi memformulasikan bahwa kerangka Islam berarti
memuat teori-teori, metode, prinsip dan tujuan yang tunduk pada esensi Islam
yaitu tauhid. Kedudukan tauhid sangat sentral dan fundamental, karena menjadi
asas segala sesuatu serta menjadi titik tolak kegiatan seorang muslim.[15]
Dalam pandangan al-Faruqi,
tauhid adalah pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan
waktu serta sejarah manusia. Tauhid mencakup prinsip berikut: Pertama, dualitas
yaitu realitas terdiri dari dua jenis yang umum yakni Tuhan dan bukan Tuhan
(Pencipta dan ciptaan). Tatanan pertama hanya ada satu anggotanya; Allah Maha
Muthlak dan Mahakuasa. Sedangkan yang kedua adalah tatanan ruang dan waktu,
pengalaman dan ciptaan.
Hal itu meliputi semua
makhluk, dunia benda, tumbuhan, hewan, manusia, jin, malaikat, langit, bumi,
surga dan neraka. Dua tatanan ini (Pencipta dan ciptaan) dan selamanya mustahil
disatukan atau dileburkan. Pencipta secara ontologism, tidak dapat diubah
menjadi makhluk dan makhluk juga tidak dapat melampaui dan mengubah dirinya
menjadi pencipta.[16]
Kedua,ideasionalitas
yaitu hubungan antara dua tatanan realitas itu bersifat ideasinal. Titik
rujukannya dalam manusia adalah kekuatan pemahaman. Semua manusia dianugerahi
pemahanan. Anugerah mereka cukup cuat untuk memahami kehendak Tuhan dengan cara
berikut: ketika kehendak Tuhan diungkapkan dalam firman dan ketika kehendak
Tuhan dapat diketahui melalui pengamatan terhadap ciptaan.
Ketiga,
teleologi (hakikat kosmos) yaitu bertujuan, melayani tujuan Penciptanya dan
melakukan sesuai rencana. Dunia tidak diciptakan sia-sia atau main-main. Dunia
tidak diciptakan secara kebetulan, namun diciptakan dalam kondisi sempurna.
Segala sesuatu ada dalam ukuran yang tepat dan memenuhi maksud universal
tertentu.[17]
Sejalan dengan itu,
penulis juga memahami, tauhid dalam pandangan al-Faruqi mengandung arti yaitu: Lāilahaillallah.
Kata lā pada lafad tersebut adalah lā nafī yang berarti negasi
(peniadaan) terhadap segala sesuatu selain Allah swt. Sedangkan lafad illallah
merupakan penetapan bahwa hanya Allah lah yang patut untuk disembah.
Maka implikasinya ialah
kemampuan untuk bersikap ‘tidak’ pada segala sesuatu yang tidak ada kaitannya
dengan Allah sebagai Sang Pencipta. Sehingga, dalam hal ini mengesakan Tuhan
menjadi pondasi utama dalam melakukan segala sesuatu. Jadi, jika belajar
tujuannya untuk mendapatkan kerja ataupun memperoleh pangkat, maka ia belum
mengesakan Allah di dalam hatinya.
Lāilahaillallah
tidak hanya berupa ikrar, tetapi harus dalam bentuk keyakinan hati yang
diwujudkan dengan tindakan nyata. Peradaban islam apapun wujudnya harus
didasarkan pada keesaan Tuhan agar hal itu berjalan sesuai dengan nilai-nilai Qur’ani.
Karena pemurnian tauhid menjadi pelantara kemajuan peradaban Islam. Selama ini
Islam kurang berkembang dengan baik, sebab peradaban yang ada tercampur aduk
antara tauhid dengan tahayyul. Pemurnian tauhid pada dasarnya menolak berbagai
bentuk mitos, tahayyul dan hal-hal yang berbau mistik lainnya.
Selain itu, dari kalangan
pembaru ada pula yang berpendapat bahwa untuk membawa umat Islam pada kemajuan
harus dilakukan dengan cara menumbuhkan kembali ideologi Islam tentang menuntut
ilmu dan penggunaan akal pikiran, menghilangkan sikap dikotomis, membangun
persaudaraan Islam sedunia (van islamism) dan menghilangkan khurafat,
bid’ah dan tahayul.[18] Hal tersebut harus
diinternalisasikan melalui kegiatan pendidikan, karena pendidikan merupakan
sarana dan media paling efektif dan strategis dibandingkan dengan pendekatan yang
lain.
Idealnya, Islam dengan
ilmu pengetahuan merupakan satu kesatuan yang inheren sepanjang kehidupan
manusia. Islam sesuai (relavan) dengan semua aspek pemikiran, kehidupan dan
segala keadaan. Segala bentuk sains modern harus dirombak ulang, lalu diberikan
dasar Islam serta tujuan yang konsisten dengan Islam. Sehingga hal itu dapat
mewujudkan prinsip-prinsip Islam di dalam strategi, metode dan seterusnya.
Inilah konsep awal kesatuan ilmu perspektif al-Faruqi yaitu menjadikan semua
disiplin ilmu bersifat humanistis / ummatis.[19]
Maka dari itu, prinsip
tauhid inilah yang menjadi dasar ilmu pengetahuan serta ruh yang seharusnya ada
pada setiap bidang keilmuan. Karena, fungsi tauhid sebagai ruh ilmu pengetahuan
ialah menyatukan segala unsur untuk mencapai kebenaran Ilahi. Konsep kesatuan
ilmu dalam perspektif al-Faruqi yaitu menjadikan al-Qur’an sebagai sumber utama
segala bidang keilmuan. Sehingga, prinsip nilai yang digunakan dalam rangka islamisasi
ilmu pengetahuan ialah nilai ketuhanan sebagai kebenaran ilmu agar terhindar
dari sistem sekularisasi.
2. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Gagasan awal islamisasi
ilmu pengetahuan,[20] muncul pada saat
konferensi dunia pertama tentang pendidikan muslim di Makkah pada tahun 1977
yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University. Ide islamisasi ilmu
pengetahuan dilontarkan oleh Ismail Raji al-Faruqi dalam makalahnya Islamisizing
Social Science dan Syekh Muhammad Naquib al-Attas dalam makalahnya Preliminary
Thoughts on the Nature of Knowledge and the Aims of Education.[21]
Menurut al-Faruqi yang
dikutip oleh Zainuddin, sistem pendidikan Islam telah dicetak dalam sebuah
karikatur Barat, sehingga dipandang sebagai inti dari malaise atau
penderitaan yang dialami umat. Pendekatan yang dipakai oleh al-Faruqi ialah
dengan jalan menuang kembali seluruh khazanah sains Barat dalam kerangka Islam
yang dalam prakteknya “tidak lebih” dari usaha penulisan kembali buku-buku teks
dan berbagai disiplin ilmu dengan wawasan ajaran Islam.[22]
Ide al-Faruqi sebagaimana
juga banyak menjadi landasan awal ide islamisasi sains Sayyed Huossen Nasr dan
Maurice Bucaille berawal dari keprihatinannya yang mencermati bahwa dalam
jajaran peradaban dewasa ini, umat islam hampir di semua segi baik politik,
ekonomi maupun pendidikan berada pada posisi yang paling rendah. Al-Faruqi
menyebut hal ini sebagai malaise yang dihadapi umat.[23]
Islamisasi ilmu
pengetahuan pada dasarnya, adalah suatu respon terhadap krisis masyarakat
modern yang disebabkan karena konsep pendidikan yang bertumpu pada suatu
pandangan dunia yang bersifat materialistis yakni memandang realitas sebagai
sesuatu yang bermakna secara material bagi manusia. Selain itu islamisasi ilmu
pengetahuan juga muncul sebagai reaksi terhadap adanya konsep dikotomi antara
agama dan ilmu pengetahuan yang dimajukan masyarakat Barat dan budaya
masyarakat modern.[24]
Ilmu pengetahuan yang
diproduksi oleh orang Barat pada dasarnya bersifat positifistik yaitu alat ukur
kebenarannya didasarkan pada kenyataan emperik yang dipahami oleh akal. Ilmu
pengetahuan yang dikembangkan tidak didasari dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hal
ini yang kemudian Ilmu Barat di sebut sekuler (sains untuk sains), bukan sains
untuk manusia. Sehingga salah satu produk dari sains Barat ialah kloning. Ilmu
pengetahuan dikembangkan untuk ilmu pengetahuan itu sendiri. Di sinilah awal
munculnya kekhawatiran dari tokoh-tokoh muslim salah satunya al-Faruqi untuk
melakukan gerakan islamisasi ilmu pengetahuan.[25]
Idealnya, ilmu harus
mementingkan etika kemanusiaan. Sehingga al-Faruqi mengatakan bahwa dasar ilmu
adalah tauhid. Maka islamisasi pengetahuan yang dimaksud oleh al-Faruqi dapat
penulis simpulkan ialah proses untuk menata ulang atau merekonstruksi ilmu pengetahuan
berdasarkan wawasan Islam yang bermanfaat untuk Islam itu sendiri. Wawasan
keislaman itu adalah tauhid.
Untuk merealisasikan
gagasan tentang islamisasi ilmu pengetahuan, al-Faruqi meletakkan fondasi
epistemologinya pada ‘prinsip tauhid’ yang terdiri dari lima macam
kesatuan,[26]
yang dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
a. Keesaan
Allah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang menguasai dan memelihara alam
semesta. Ini berimplikasi bahwa sains bukan hanya menerangkan realitas yang
terpisah dari Tuhan, tetapi sebagai bagian integral dari esensi Tuhan.
b. Kesatuan
ciptaan baik yang material, psikis, biologi, sosial maupun estetis adalah
kesatuan yang integral untuk mencapai tujuan tertinggi Tuhan yang menundukkan
alam semesta untuk manusia.
c. Kesatuan
kebenaran dan pengetahuan, kebenaran bersumber pada realitas dan realitas
bersumber dari satu yaitu Tuhan. Maka, apa yang disampaikan lewat wahyu tidak
bertentangan dengan realitas yang ada, karena keduanya diciptakan oleh Tuhan.
d. Kesatuan
hidup meliputi amanah, khilafah dan kaffah (komprehensif).
e. Kesatuan
manusia yang universal mencakup seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Maka
pengembangan sains harus berdasar pada kemaslahatan manusia secara universal.
Menurut pemahaman penulis,
setidaknya ada tiga metodologi dalam melakukan islamisasi ilmu pengetahuan
yaitu:
1. Prinsip
tauhid yakni Lāilahaillallah ialah suatu pengakuan bahwa tiada Tuhan
selain Allah, hal ini objektif, dalam arti realitas yang sebenarnya. Ilmu
pengetahuan seharusnya memiliki patokan yang jelas.
2. Tidak
ada kontradisi atau paradoks. Jadi, Tuhan dan hukum alam seharusnya koheren.
Karena Tuhan sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta.
3. Kesatuan
kebenaran. Suatu kebenaran harus ditopang dengan kebenaran yang lain. Karena,
kebenaran bersifat terbuka, dalam arti suatu kebenaran hendaknya didialogkan
dengan kebenaran yang lain agar dapat diketahui letak kelemahan dan keungguhan
dari kebenaran yang ada. Jika ada suatu kebenaran bertentangan dengan kebenaran
yang telah ada, maka harus menolak pengetahuan yang baru.
Al-Faruqi mengemukakan
salah satu tujuan dari rencana kerja islamisasi ilmu pengetahuan ialah
menentukan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern.[27] Untuk merealisasikan
tujuan tersebut sejumlah langkah yang diperlukan untuk mencapai islamisasi
pengetahuan, ialah sebagai berikut:
1.
Penguasaan disiplin
ilmu modern: penguraian kategori
2.
Survei disiplin
ilmu
3.
Penguasaan khazanah
Islam: sebuah antologi
4.
Penguasaan khazanah
ilmiah Islam tahap analisa
5.
Penentuan relevansi
Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu
6.
Penilaian kritis
terhadap disiplin ilmu modern: tingkat perkembangan di masa kini
7.
Penilaian kritis
terhadap khazanah Islam: tingkat perkembangannya dewasa ini
8.
Survei permasalahan
yang dihadapi umat Islam
9.
Survei permasalahan
yang dihadapi umat manusia
10. Analisa
kreatif dan sintesa
11. Penuangan
kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam: buku-buku daras tingkat
universitas
12. Penyebarluasan
ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan.[28]
Zainal Habib menyimpulkan langkah-langkah
yang harus ditempuh untuk melakukan islamisasi ilmu pengetahuan ialah:
1. Memahami
disiplin ilmu modern (Barat)
2. Memahami
warisan ilmu Islam
3. Mencari
relevansi antara ilmu Barat dan ilmu Islam
4. Melakukan
sintesis untuk kemudian mengarahkannya pada prinsip Ilahi
5. Meluncurkan
pemikiran Islam ke jalan yang mengarah pada kapatuhan pada hukum Tuhan. [29]
Sekitar
dekade 80-an masyarakat dunia terutama dunia Islam dikejutkan oleh gagasan
al-Faruqi mengenai islamisasi (baca: kesatuan) ilmu pengetahuan (unity of
knowledge).[30]
Karena, ruh yang dibangun dalam Islamic civilization (peradaban islam)
adalah din al-Islam.[31] Sementara esensi dari
ajaran Islam ialah tauhid dalam arti afirmasi atau pengakuan bahwa Allah itu
Maha Esa, Pencipta yang muthlak dan transenden serta penguasa alam semesta.
Kesatuan
ilmu yang sedang digarapnya, bermula dari adanya krisis di dalam basic ilmu
pengetahuan modern, yaitu konsep realitas atau pandangan dunia yang melihat
pada setiap ilmu pengetahuan yang kemudian mengarah pada persoalan-persoalan
epistemologis, hubungan konsep dan realita, masalah kebenaran dan lain-lain
yang menyangkut pengetahuan.[32]
Imam
Suprayogo mengasumsikan bahwa posisi ilmu agama Islam yang tampak kurang
berarti dibandingkan dengan posisi ilmu-ilmu umum perlu dikaji lebih mendalam. Selama
ini, ilmu agama Islam diposisikan sejajar dengan rumpun ilmu lainnya, sehingga
melahirkan pandangan dikotomi dalam melihat bangunan ilmu tersebut. Ilmu
tentang Islam bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits yang seharusnya diletakkan
sebagai sumber segala ilmu.[33] Hal tersebut akan
memperjelas bangunan ilmu yang sejatinya bersifat integratif dengan
memposisikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama.
Implikasi
integrasi nilai dan ilmu pengetahuan adalah keterpaduan antara pendidikan agama
yang sarat nilai denga ilmu pengetahuan umum.[34] Keduanya dapat dibedakan
tetapi tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, tidak ada yang dikotomis
apalagi kontradiksi antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum yang dianggap bebas nilai. Keduanya merupakan
satu kesatuan yang integratif.
Berbeda
halnya dengan istilah yang digunakan oleh Kuntowijoyo yaitu ilmu-ilmu sekular
dan ilmu integralistik. Saat ini, ilmu-ilmu sekular sedang terjangkit krisis
(tidak dapat memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat), sehingga ilmu
integralistik tersebut diperlukan demi keberlangsungan eksistensi dari
substansi ilmu-ilmu sekular itu sendiri.[35]
Fokus
utama yang dilakukan oleh al-Faruqi adalah mendidik generasi baru muslim dengan
metode-metode modern tapi berorientasi Islam.[36] Karena Menurut M.
Zainuddin dalam M. Lutfi Mustofa dan Helmi Syaifuddin bahwa hegemoni Barat
menurutnya berada dalam bidang pendidikan.[37] Maka dari itu, ia mulai
menggarapnya dari pendidikan sebagai inti dari malaise tersebut.
Islamisasi ilmu pengetahuan inilah yang dikehendaki al-Faruqi yakni dengan
menuangkan kembali pengetahuan sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam.
Sesuai
dengan namanya Mulyanto dalam Moeflich Hasbullah mengemukakan bahwasanya puncak
islamisasi ilmu pengetahuan ialah dihasilkannya ilmu pengetahuan yang islami
dan umat mengembangkannya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.[38] Dalam hal ini, tidak akan
ditemukan lagi pertentangan: keimanan umat, tidak akan lagi terhimpit desakan
rasional. Karena rasionalitas telah diperhambakan pada tujuan-tujuan keimanan.
Analisis
Kritis terhadap Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi
Terlepas dari gemilangnya pemikiran
al-Faruqi sebagai tokoh cendikiawan mulism, penulis menemukan kelemahan konsep
dari gagasan al-Faruqi yang seharusnya perlu diperjelas secara teoritis. Di
antara kritik konsep tersebut, ialah sebagai berikut:
1. Salah
satu tujuan islamisasi ilmu pengetahuan yang digagas oleh al-Faruqi ialah untuk
menentukan relevansi Islam pada setiap bidang ilmu pengetahuan. Dalam pemahaman
penulis, secara riil Islam relevan dengan segala aspek pemikiran, kehidupan dan
keadaan. Maka, yang menjadi pertanyaan ialah: apakah Islam yang harus dibuat
relavan dengan ilmu pengetahuan atau malah sebaliknya ilmu pengetahuanlah yang
seharusnya dibuat relavan dengan Islam itu sendiri?
2. Konsep
ideasionalitas menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan yang akan membawanya
terhadap suatu pemahaman tentang ketuhanan, baik dilakukan dengan cara memahami
firmannya maupun memahami ciptaannya. Dalam hal ini al-Faruqi tidak memberikan
formulasi yang jelas tentang perbedaan antara memahami ayat-ayat Tuhan yang
berupa al-Qur’an dengan ayat-ayat kauniyah (alam semesta). Pada
dasarnya, untuk memahami al-Qur’an dilakukan dengan cara tadabbur
(merenung) yakni menggunakan spiritual yang topang dengan akal.
Sedangkan untuk memahami
alam ciptaannya harus dilakukan dengan tafakkur (berpikir) yakni
menggunakan akal yang kemudian ditopang dengan kemampuan spiritual. Jadi, jika hal
tersebut tidak dijelaskan, dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahan dalam
memahami atau menempatkan ‘cara’ yang digunakan untuk memahami ayat-ayat Tuhan
(kitabiyah dan kauniyah).
Karena, dapat dikatakan salah apabila tadabbur digunakan untuk
memahami alam semesta, begitupun sebaliknya tafakkur digunakan untuk
memahami firman Tuhan.
Persoalan-persoalan tersebut menurut
hemat penulis menjadi hal yang penting untuk diperhatikan lebih serius agar
konsep yang ditawarkan dapat dipahami secara sistematis. Namun, yang terpenting
dari keberadaan pemikiran al-Faruqi ialah merealisasikan gagasan itu sendiri,
agar tidak hanya berupa teori tetapi mampu berlabuh pada konteks.
Penutup
Masalah utama yang dihadapi umat
manusia adalah dikotomi ilmu pengetahuan (pemisahan antara ilmu umum dan imu
agama). Hal tersebut menimbulkan de-islamisasi dan de-moralisasi dalam
kehidupan manusia. Sehingga al-Faruqi (salah satu tokoh yang merasa khawatir
terhadap problematika sosial semacam itu) melakukan gerakan-gerakan nyata
melalui konsep yang dirumuskan yaitu islamisasi ilmu pengetahuan dengan dasar
atau intisari tauhid di dalamnya.
Tauhid merupakan esensi Islam.
Keberadaan Islam dengan ilmu pengetahuan merupakan satu kesatuan yang inheren
sepanjang kehidupan manusia. Dalam pandangan al-Faruqi, tauhid adalah pandangan
umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu serta sejarah manusia.
tauhid mencakup prinsip; dualitas, ideasionalitas dan teleolgi.
Kesatuan ilmu yang sedang digarapnya,
bermula dari adanya krisis di dalam basic ilmu pengetahuan modern, yaitu
konsep realitas atau pandangan dunia yang melihat pada setiap ilmu pengetahuan
yang kemudian mengarah pada persoalan-persoalan epistemologis, hubungan konsep
dan realita, masalah kebenaran dan lain-lain yang menyangkut pengetahuan. Sehingga,
antara pengetahuan Barat dengan Islam menjadi satu-keatuan yang saling mengisi
dan melengkapi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara merombak ulang sains
modern lalu diberikan dasar Islam serta tujuan yang konsisten dengan Islam.
Inilah konsep awal kesatuan ilmu perspektif al-Faruqi yaitu menjadikan semua
disiplin ilmu bersifat humanistis/ummatis.
Islamisasi ilmu pengetahuan muncul
sebagai respon terhadap problematika umat Islam yang saat ini berada dalam malaise
yang gawat. Maka islamisasi ilmu pengetahuan muncul sebagai solusi
konstruktif bagi kehidupan masyarakat yang disebabkan karena konsep pendidikan
yang bertumpu pada suatu pandangan dunia yang bersifat materialistis yakni
memandang realitas sebagai sesuatu yang bermakna secara material bagi manusia.
Selain itu islamisasi ilmu pengetahuan juga muncul sebagai reaksi terhadap
adanya konsep dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan yang dimajukan
masyarakat Barat dan budaya masyarakat modern.
Daftar
Pustaka
Achmadi. 2010, Ideologi Pendidikan
Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Faruqi, Isma’il R. & Lois Lamya
al-Faruqi. 2003, Atlas Budaya Islam Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang,
Terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan.
Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984, Islamisasi
Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka.
Ali, Mohammad Daud. 2013, Pendidikan
Agama Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Baharun, Hasan & Akmal Mundiri. 2011, Metodologi
Studi Islam: Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, Bandung:
ar-Ruzz Media.
Esposito, John L. & John O. Voll. 2002,
Tokoh-tokoh Gerakan Islam Kontemporer, Terj. Sugeng Hariyanto, et.al.,
Jakarta: Kencana.
Habib,
Zainal. 2007, Islamisasi Sains: Mengembangkan Integrasi, Mendialogkan
Perspektif, Malang: UIN Malang Press.
Hasbullah, Moeflich. 2000, Gagasan dan
Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Pustaka Cidesindo.
Kuntowijoyo. 2006, Islam sebagai Ilmu:
Epistemologi, Metodologi dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Muliawan, Jasa Ungguh. 2005, Pendidikan
Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Imu dan Pendidikan
Islam, Yogyakarta: Pustaka belajar.
Mustofa, M. Lutfi & Helmi Syaifuddin, 2007,
Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama, Malang:
LKQS.
Nata, Abuddin. 2003, Kapita Selekta
Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa.
Nizar, Samsul. 2011, Sejarah Pendidikan
Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta:
Kencana.
Rozak, Abdul & Rosihon Anwar. 2011, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Siswanto. 2009, Pendidikan Islam dalam
Perspektif Filosofis, Pamekasan: STAIN Pamekasan Press.
Soleh, Khodori. 2014, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga
Kontemporer, Jogjakarta: ar-Ruzz Media.
Sucipto, Hery. 2003, Ensiklopedi Tokoh
Islam dari Abu Bakr hingga Nars dan Qardhawi, Bandung: PT. Mizan Publika.
Suprayogo, Imam. 2006, Paradigma
Pengembangan Keilmuan Islam: Perspektif UIN Malang, Malang: UIN
Malang-Press.
Zainuddin. 2010, Paradigma Pendidikan
Terpadu, Menyiapkan Generasi Ulul Albab, Malang: UIN Malang-Press.
[1] Zainal Habib, Islamisasi
Sains: Mengembangkan Integrasi, Mendialogkan Perspektif (Malang: UIN Malang
Press, 2007), 1.
[2] Jasa Ungguh
Muliawan, Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan Kembali
Dikotomi Imu dan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka belajar, 2005), 205.
[3] Hasan Baharun
& Akmal Mundiri, Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran Tokoh dalam
Membumikan Agama (Bandung: ar-Ruzz Media, 2011), 104.
[4] Isma’il R.
al-Faruqi & Lois Lamya al-Faruqi, Terj. Ilyas Hasan, Atlas Budaya Islam
Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang (Bandung: Mizan, 2003), 6.
[5] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2011), 255.
[6] Dikatakan
juga, pendidikan pertama al-Faruqi diperoleh di masjid kemudian di sekolah
biara yang menggunakan Bahasa Perancis sebagai bahasa pengantar. Dari masjid ke
biara, perubahan yang dialami al-Faruqi sangat besar serta memberikan bekal
dalam memandang agama dan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Lihat Isma’il R.
al-Faruqi & Lois Lamya al-Faruqi, Terj. Ilyas Hasan, Atlas Budaya Islam
Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang (Bandung: Mizan, 2003), 6.
[7] Abdul Rozak
& Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), 227.
[8]
Ibid.
[9] Khodori Soleh,
Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer (Jogjakarta: ar-Ruzz
Media, 2014), 324.
[10] A-Faruqi &
Lois Lamya al-Faruqi, Terj. Ilyas Hasan, Atlas Budaya, 6.
[11] Rozak &
Anwar, Ilmu Kalam, 228.
[12] Ibid.
[13] Soleh, Filsafat
Islam, 326.
[14]Hery Sucipto, Ensiklopedi
Tokoh Islam dari Abu Bakr hingga Nars dan Qardhawi (Bandung: PT. Mizan
Publika, 2003), 331.
[15] Mohammad Daud
Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013),
199.
[16] A-Faruqi &
Lois Lamya al-Faruqi, Terj. Ilyas Hasan, Atlas Budaya, 110.
[17] Ibid.
[18] Abuddin Nata, Sejarah
Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2012), 142.
[19] Ibid., 150.
[20]Terjadinya
islamisasi ilmu pengetahuan dilatar belakangi oleh adanya pemisahan agama dari
perkembangan ilmu pengetahuan terjadi pada abad pertengahan yaitu saat umat
Islam kurang mempedulikan (meninggalkan) ilmu pengetahuan. Pada masa itu yang
berpengaruh di masyarakat Islam adalah ulama tarekat dan ulama fiqih.
Keduanya menanamkan paham taqlid dan membatasi kajian agama hanya dalam
bidang yang sampai sekarang masih dikenal dengan ilmu-ilmu agama, seperti
tafsir, fiqih dan tauhid. Ilmu-ilmu tersebut mempunyai pendekatan normatif dan
tarekat. Tarekat hanyut dalam wirid dan dzikir dalam rangka menyucikan jiwa dan
mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhi kehidupan duniawi. Sedangkan
ulama tidak tertarik untuk mempelajari alam dan kehidupan manusia secara objektif.
Akan tetapi, keadaan ini mengalami perubahan pada abad ke-19, yaitu sejak
ide-ide pembaharuan diterima dan didukung oleh sebagian umat. Di dunia Islam
dilaksanakan dua sistem pendidikan yakni pendidikan agama dan pendidikan umum
yang saling melengkapi. Sekolah agama mulai mengajarkan mata pelajaran umum dan
sekolah umum juga memberikan mata pelajaran agama. Dua sistem pendidikan dan
mata pelajaran itu masih terpisah (dualis dikhotomis). Maka dari itu, ketika
umat Islam masih bergulat dengan berbagai permasalahan keterbelakangan sosial,
ekonomi dan kultur, Barat sebagai masyarakat modern mengalami kemajuan pesat
terutama dibidang ilmu pengetahuan. Sehingga para pemikir dan cendikiawan
muslim menyerukan supaya perkembangan sains perlu dikembalikan pada induknya,
yaitu Islam. Lihat Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam
(Bandung: Angkasa, 2003), 128-129.
[21] Zainuddin, Paradigma
Pendidikan Terpadu, Menyiapkan Generasi Ulul Albab (Malang: UIN
Malang-Press, 2010), 68.
[22] Ibid., 69.
[23]Isma’il Raji
al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung:
Pustaka, 1984), 1.
[24] Abuddin Nata, Kapita
Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Angkasa, 2003), 127.
[25] Ibid., 30.
[26] Al-Faruqi, Islamisasi
Pengetahuan, 55-96.
[27] Ibid., 98.
[28] Ibid., 99-115.
[29] Habib, Islamisasi
Sains, 54.
[30] Siswanto, Pendidikan
Islam dalam Perspektif Filosofis (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2009),
98.
[31] Habib, Islamisasi
Sains, 25.
[32] Siswanto, Pendidikan
Islam, 98.
[33]Imam Suprayogo,
Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam: Perspektif UIN Malang (Malang:
UIN Malang-Press, 2006), 29.
[34] Achmadi, Ideologi
Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), 128.
[35]Kuntowijoyo, Islam
sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2006), 50.
[36]John L.
Esposito & John O. Voll, Tokoh-tokoh Gerakan Islam Kontemporer, Terj.
Sugeng Hariyanto, et.al. (Jakarta: Kencana, 2002), 11.
[37] M. Lutfi
Mustofa & Helmi Syaifuddin, Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar
Integrasi Ilmu dan Agama (Malang: LKQS, 2007), 211.
[38]Moeflich
Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Jakarta:
Pustaka Cidesindo, 2000), 33.
0 Komentar