Kesatuan Ilmu dalam Bingkai Pemikiran Pendidikan Islam: Perspektif Ismail Raji Al-Faruqi

sumber: http://www.dwiadi.com/

Pendahuluan
Milenium ketiga membawa banyak harapan perubahan bagi bangunan peradaban dunia ketika pada tiga dasawarsa pertama terakhir abad ke-20 dan dasawarsa pertama abad ke-21 terjadi krisis global mulai dari lingkungan hidup, sosial, politik, ekonomi dan budaya yang melanda hampir semua segi kehidupan manusia, yang kesemuanya terbingkai dalam wadah krisis intelektual, moral dan spiritual.[1]

Kemunduran besar yang dihadapi umat manusia ialah keterbelakangan dalam segala aspek kehidupan mulai dari ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Wujud dari keterbelakangan tersebut ialah meniru kebudayaan-kebudayaan asing dengan maksud untuk mencapai tujuan yakni kemajuan. Akan tetapi, sikap yang semacam itu justru menimbulkan de-islamisasi terhadap lapisan masyarakat dan de-moralisasi terhadap lapisan lainnya.

Dikotomi ilmu pengetahuan adalah masalah yang selalu diperdebatkan dalam dunia Islam, mulai sejak zaman kemunduran Islam sampai saat ini. Akibatnya ialah terjadi pengelompokan ilmu yang terpisah-pisah dan menjalar ke berbagai aspek kehidupan.[2] Islam menganggap ilmu pengetahuan sebagai sebuah konsep yang holistik (menyeluruh). Hal itu dapat dipahami bahwa tidak ada pemisahan antar ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai (Islam). Para pemikir muslim meyakini ilmu pengetahuan dan agama adalah satu totalitas dan integritas Islam yang tidak dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Dalam rangka pembaruan Islam, ada dua pola berbeda yang diambil oleh para pemikir dalam peta pemikiran Islam. Pertama, untuk mengejar ketertinggalan umat Islam dalam peradaban yang kini sedang dipegang Barat. Pola transmisi ilmu pengetahuan dalam pendidikan Islam harus mengikuti pola yang dikembangkan Barat, karena Barat dianggap berhasil dalam mengembangkan pendidikan. Kedua, beranggapan bahwa sah-sah saja mengambil sesuatu yang datang dari Barat untuk mengejar ketertinggalan transmisi ilmu dan pendidikan, namun harus dilandasi oleh nilai dan epistemologi Islam.[3]

Problematika inilah yang kemudian menyadarkan al-Faruqi akan perlunya usaha-usaha filosofis yang intensif kearah islamisasi ilmu pengetahuan. Terjadinya pro-kontra di kalangan Islam dan Barat membuatnya larut dalam kritikan. Dalam beberapat tulisannya ia menekankan adanya nilai tauhid sebagai ruh segala aspek keilmuan yang berkembang pada saat itu. Hal demikian memberikan potensi tersendiri serta menjadi stimulus pengembangan pemikirannya tersebut.

Sejalan dengan permasalahan di atas, tulisan ini akan mencoba memperkenalkan kembali solusi untuk mengatasi tragedi masyarakat modern yang dimaksud dengan memfokuskan kajian pada upaya mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan Islam melalui konsep yang dikenal dengan istilah islamisai ilmu pengetahuan dalam perspektif Ismail Raji al-Faruqi.

Sketsa Biografi Ismail Raji al-Faruqi
Isma’il Raji al-Faruqi lahir pada tahun 1921 dari sebuah keluarga terpandang di Jaffa, sebuah daerah di Palestina ketika Palestina belum direbut oleh orang-orang Israel.[4] Ia mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya. Menurut Jhon L. Esposito yang dikutip oleh Ahmad Syarifin dalam bukunya Samsul Nizar, mengatakan bahwa nama ayah al-Faruqi ialah ‘Abd al-Huda al-Faruqi.[5]

Secara formal pendidikan dasarnya dimulai di madrasah di tanah kelahirannya.[6] Sedangkan pendidikan menengahnya ditempuh di College des Ferese, Libanon, yang menggunakan Bahasa Perancis sebagai bahasa pengantar. Pada tahun 1941, al-Faruqi mengambil kuliah filsafat di American University, Beirut. Setelah tamat dan meraih gelar Bachelor of Arts, selama empat tahun kemudian bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada pemerintahan Inggris yang memegang mandat atas Palestina. Karena kepemimpinannya menonjol, pada usia 24 tahun, ia diangkat menjadi Gubernur Galilea.[7]

Pada tahun 1948, Palestina dijarah oleh Israel, al-Faruqi beserta warga Palestina yang lain terusir dari tanah kelahirannya. Ia tercatat sebagai Gubernur Galilea terakhir yang berdarah Palestina. Setelah setahun menganggur, pada tahun berikutnya (1949), al-Faruqi hijrah ke Amerika Serikat untuk melanjutkan kuliahnya, ia mendapat gelar Master Filsafat dari Universitas Indiana.

Dua tahun kemudian, gelar Master Filsafat kembali diraih dari Universitas Harvard.[8]  Sedangkan menurut Azyumardi Azra dalam Khodori Soleh mengemukakan bahwa gelar doktor al-Faruqi dalam bidang yang sama, diperoleh di Universitas Indiana, namun apa yang dicapai ini tidak memuaskannya, karena itu, kemudian ia pergi ke Mesir untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman di Universitas al-Azhar, Kairo.[9]

Sementara itu, kiprahnya dalam kegiatan dan pemikiran keislaman diakui sangat berbobot. Beberapa karir yang ditempuh ialah: menjadi dosen di McGill University (Kanada), menjadi guru besar pada Departement of Religion di Temple University, pendiri Institut of Islamic Thought (Lembaga Pemikiran Islam Internasional) dan lain-lain. [10] Selain mengajar, ia mempelajari etika Yahudi dan Kristen. Pada tahun 1964, ia kembali ke Amerika Serikat  dan menjadi guru besar pada Universitas Chicago serta Associate Profesor bidang agama pada Universitas Syracuse.[11] Di samping itu, keberadaan istri (Lois Lamya al-Faruqi) sangat mendukung karir yang ditekuninya. Sehingga secara bersama-sama mereka membentuk beberapa kajian keislaman.

Al-Faruqi merupakan salah satu tipe intelektual dan penulis yang sangat produktif. Selama hidupnya ia telah menulis sebanyak seratus artikel, dan hampir semua bidang ilmu dijelajahinya mulai dari etika, seni, ekonomi, politik sosiologi dan lain-lain. Menjelang akhir hayatnya, al-Faruqi telah berhasil menuangkan konsep-konsep pemikirannya dalam karya terbesarnya: Tawhid: It’s Implication for Thought and Life.[12] Lepas dari segala kekurangan yang mungkin ada, karya ini merupakan suatu sintesis yang sangat impresif, merangkum tulisan-tulisan yang telah ia buat sebelumnya.

Selain itu, beberapa karya al-Faruqi dalam bentuk buku sekitar 25 yang sudah dipublikasikan dalam berbagai bahasa, di antaranya: The Trialongoe of Abrahamic Faiths yang diterbitkan pada tahun 1986, Essay in Islamic and Comparative Studies, diterbitkan tahun 1982, Atlas of Islam, terbit tahun 1921 serta buku yang khusus memperbincangkan The Islamization of Knowlwdge, diterbikan tahun 1982.[13]

Pada tanggal 24 Mei 1986, al-Faruqi bersama istri tercintanya mengakhiri hidupnya, karena pembunuhan yang menimpa keluarga ini secara tidak terduga-duga. Untuk mengenang jasa-jasa, usaha dan karyanya, organisasi Islamic Society North America (ISNA) dalam rangka mengabadikan dengan mendirikan ‘The Ismail and Lamya al-Faruqi Memorial Fund’, yang bermaksud melanjutkan cita-citanya ‘Islamisasi Ilmu Pengetahuan’.[14]

Pokok-pokok Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi
1.  Tauhid
Dari sekian banyak nilai yang terkandung dalam sumber ajaran Islam, nilai yang fundamental adalah nilai tauhid. Isma’il Raji al-Faruqi memformulasikan bahwa kerangka Islam berarti memuat teori-teori, metode, prinsip dan tujuan yang tunduk pada esensi Islam yaitu tauhid. Kedudukan tauhid sangat sentral dan fundamental, karena menjadi asas segala sesuatu serta menjadi titik tolak kegiatan seorang muslim.[15]

Dalam pandangan al-Faruqi, tauhid adalah pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu serta sejarah manusia. Tauhid mencakup prinsip berikut: Pertama, dualitas yaitu realitas terdiri dari dua jenis yang umum yakni Tuhan dan bukan Tuhan (Pencipta dan ciptaan). Tatanan pertama hanya ada satu anggotanya; Allah Maha Muthlak dan Mahakuasa. Sedangkan yang kedua adalah tatanan ruang dan waktu, pengalaman dan ciptaan.

Hal itu meliputi semua makhluk, dunia benda, tumbuhan, hewan, manusia, jin, malaikat, langit, bumi, surga dan neraka. Dua tatanan ini (Pencipta dan ciptaan) dan selamanya mustahil disatukan atau dileburkan. Pencipta secara ontologism, tidak dapat diubah menjadi makhluk dan makhluk juga tidak dapat melampaui dan mengubah dirinya menjadi pencipta.[16]

Kedua,ideasionalitas yaitu hubungan antara dua tatanan realitas itu bersifat ideasinal. Titik rujukannya dalam manusia adalah kekuatan pemahaman. Semua manusia dianugerahi pemahanan. Anugerah mereka cukup cuat untuk memahami kehendak Tuhan dengan cara berikut: ketika kehendak Tuhan diungkapkan dalam firman dan ketika kehendak Tuhan dapat diketahui melalui pengamatan terhadap ciptaan.

Ketiga, teleologi (hakikat kosmos) yaitu bertujuan, melayani tujuan Penciptanya dan melakukan sesuai rencana. Dunia tidak diciptakan sia-sia atau main-main. Dunia tidak diciptakan secara kebetulan, namun diciptakan dalam kondisi sempurna. Segala sesuatu ada dalam ukuran yang tepat dan memenuhi maksud universal tertentu.[17]

Sejalan dengan itu, penulis juga memahami, tauhid dalam pandangan al-Faruqi mengandung arti yaitu: Lāilahaillallah. Kata pada lafad tersebut adalah lā nafī yang berarti negasi (peniadaan) terhadap segala sesuatu selain Allah swt. Sedangkan lafad illallah merupakan penetapan bahwa hanya Allah lah yang patut untuk disembah.

Maka implikasinya ialah kemampuan untuk bersikap ‘tidak’ pada segala sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan Allah sebagai Sang Pencipta. Sehingga, dalam hal ini mengesakan Tuhan menjadi pondasi utama dalam melakukan segala sesuatu. Jadi, jika belajar tujuannya untuk mendapatkan kerja ataupun memperoleh pangkat, maka ia belum mengesakan Allah di dalam hatinya.

Lāilahaillallah tidak hanya berupa ikrar, tetapi harus dalam bentuk keyakinan hati yang diwujudkan dengan tindakan nyata. Peradaban islam apapun wujudnya harus didasarkan pada keesaan Tuhan agar hal itu berjalan sesuai dengan nilai-nilai Qur’ani. Karena pemurnian tauhid menjadi pelantara kemajuan peradaban Islam. Selama ini Islam kurang berkembang dengan baik, sebab peradaban yang ada tercampur aduk antara tauhid dengan tahayyul. Pemurnian tauhid pada dasarnya menolak berbagai bentuk mitos, tahayyul dan hal-hal yang berbau mistik lainnya.

Selain itu, dari kalangan pembaru ada pula yang berpendapat bahwa untuk membawa umat Islam pada kemajuan harus dilakukan dengan cara menumbuhkan kembali ideologi Islam tentang menuntut ilmu dan penggunaan akal pikiran, menghilangkan sikap dikotomis, membangun persaudaraan Islam sedunia (van islamism) dan menghilangkan khurafat, bid’ah dan tahayul.[18] Hal tersebut harus diinternalisasikan melalui kegiatan pendidikan, karena pendidikan merupakan sarana dan media paling efektif dan strategis dibandingkan dengan pendekatan yang lain.

Idealnya, Islam dengan ilmu pengetahuan merupakan satu kesatuan yang inheren sepanjang kehidupan manusia. Islam sesuai (relavan) dengan semua aspek pemikiran, kehidupan dan segala keadaan. Segala bentuk sains modern harus dirombak ulang, lalu diberikan dasar Islam serta tujuan yang konsisten dengan Islam. Sehingga hal itu dapat mewujudkan prinsip-prinsip Islam di dalam strategi, metode dan seterusnya. Inilah konsep awal kesatuan ilmu perspektif al-Faruqi yaitu menjadikan semua disiplin ilmu bersifat humanistis / ummatis.[19]

Maka dari itu, prinsip tauhid inilah yang menjadi dasar ilmu pengetahuan serta ruh yang seharusnya ada pada setiap bidang keilmuan. Karena, fungsi tauhid sebagai ruh ilmu pengetahuan ialah menyatukan segala unsur untuk mencapai kebenaran Ilahi. Konsep kesatuan ilmu dalam perspektif al-Faruqi yaitu menjadikan al-Qur’an sebagai sumber utama segala bidang keilmuan. Sehingga, prinsip nilai yang digunakan dalam rangka islamisasi ilmu pengetahuan ialah nilai ketuhanan sebagai kebenaran ilmu agar terhindar dari sistem sekularisasi.

2.  Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Gagasan awal islamisasi ilmu pengetahuan,[20] muncul pada saat konferensi dunia pertama tentang pendidikan muslim di Makkah pada tahun 1977 yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University. Ide islamisasi ilmu pengetahuan dilontarkan oleh Ismail Raji al-Faruqi dalam makalahnya Islamisizing Social Science dan Syekh Muhammad Naquib al-Attas dalam makalahnya Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Aims of Education.[21]

Menurut al-Faruqi yang dikutip oleh Zainuddin, sistem pendidikan Islam telah dicetak dalam sebuah karikatur Barat, sehingga dipandang sebagai inti dari malaise atau penderitaan yang dialami umat. Pendekatan yang dipakai oleh al-Faruqi ialah dengan jalan menuang kembali seluruh khazanah sains Barat dalam kerangka Islam yang dalam prakteknya “tidak lebih” dari usaha penulisan kembali buku-buku teks dan berbagai disiplin ilmu dengan wawasan ajaran Islam.[22]

Ide al-Faruqi sebagaimana juga banyak menjadi landasan awal ide islamisasi sains Sayyed Huossen Nasr dan Maurice Bucaille berawal dari keprihatinannya yang mencermati bahwa dalam jajaran peradaban dewasa ini, umat islam hampir di semua segi baik politik, ekonomi maupun pendidikan berada pada posisi yang paling rendah. Al-Faruqi menyebut hal ini sebagai malaise yang dihadapi umat.[23]

Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya, adalah suatu respon terhadap krisis masyarakat modern yang disebabkan karena konsep pendidikan yang bertumpu pada suatu pandangan dunia yang bersifat materialistis yakni memandang realitas sebagai sesuatu yang bermakna secara material bagi manusia. Selain itu islamisasi ilmu pengetahuan juga muncul sebagai reaksi terhadap adanya konsep dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan yang dimajukan masyarakat Barat dan budaya masyarakat modern.[24]

Ilmu pengetahuan yang diproduksi oleh orang Barat pada dasarnya bersifat positifistik yaitu alat ukur kebenarannya didasarkan pada kenyataan emperik yang dipahami oleh akal. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan tidak didasari dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini yang kemudian Ilmu Barat di sebut sekuler (sains untuk sains), bukan sains untuk manusia. Sehingga salah satu produk dari sains Barat ialah kloning. Ilmu pengetahuan dikembangkan untuk ilmu pengetahuan itu sendiri. Di sinilah awal munculnya kekhawatiran dari tokoh-tokoh muslim salah satunya al-Faruqi untuk melakukan gerakan islamisasi ilmu pengetahuan.[25]

Idealnya, ilmu harus mementingkan etika kemanusiaan. Sehingga al-Faruqi mengatakan bahwa dasar ilmu adalah tauhid. Maka islamisasi pengetahuan yang dimaksud oleh al-Faruqi dapat penulis simpulkan ialah proses untuk menata ulang atau merekonstruksi ilmu pengetahuan berdasarkan wawasan Islam yang bermanfaat untuk Islam itu sendiri. Wawasan keislaman itu adalah tauhid.

Untuk merealisasikan gagasan tentang islamisasi ilmu pengetahuan, al-Faruqi meletakkan fondasi epistemologinya pada ‘prinsip tauhid’ yang terdiri dari lima macam kesatuan,[26] yang dapat penulis simpulkan sebagai berikut:

a.     Keesaan Allah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang menguasai dan memelihara alam semesta. Ini berimplikasi bahwa sains bukan hanya menerangkan realitas yang terpisah dari Tuhan, tetapi sebagai bagian integral dari esensi Tuhan.

b.    Kesatuan ciptaan baik yang material, psikis, biologi, sosial maupun estetis adalah kesatuan yang integral untuk mencapai tujuan tertinggi Tuhan yang menundukkan alam semesta untuk manusia.

c.      Kesatuan kebenaran dan pengetahuan, kebenaran bersumber pada realitas dan realitas bersumber dari satu yaitu Tuhan. Maka, apa yang disampaikan lewat wahyu tidak bertentangan dengan realitas yang ada, karena keduanya diciptakan oleh Tuhan.
d.    Kesatuan hidup meliputi amanah, khilafah dan kaffah (komprehensif).

e.     Kesatuan manusia yang universal mencakup seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Maka pengembangan sains harus berdasar pada kemaslahatan manusia secara universal.

Menurut pemahaman penulis, setidaknya ada tiga metodologi dalam melakukan islamisasi ilmu pengetahuan yaitu:
1.     Prinsip tauhid yakni Lāilahaillallah ialah suatu pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, hal ini objektif, dalam arti realitas yang sebenarnya. Ilmu pengetahuan seharusnya memiliki patokan yang jelas.

2.     Tidak ada kontradisi atau paradoks. Jadi, Tuhan dan hukum alam seharusnya koheren. Karena Tuhan sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta.

3.     Kesatuan kebenaran. Suatu kebenaran harus ditopang dengan kebenaran yang lain. Karena, kebenaran bersifat terbuka, dalam arti suatu kebenaran hendaknya didialogkan dengan kebenaran yang lain agar dapat diketahui letak kelemahan dan keungguhan dari kebenaran yang ada. Jika ada suatu kebenaran bertentangan dengan kebenaran yang telah ada, maka harus menolak pengetahuan yang baru.

Al-Faruqi mengemukakan salah satu tujuan dari rencana kerja islamisasi ilmu pengetahuan ialah menentukan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern.[27] Untuk merealisasikan tujuan tersebut sejumlah langkah yang diperlukan untuk mencapai islamisasi pengetahuan, ialah sebagai berikut:

1.       Penguasaan disiplin ilmu modern: penguraian kategori
2.       Survei disiplin ilmu
3.       Penguasaan khazanah Islam: sebuah antologi
4.       Penguasaan khazanah ilmiah Islam tahap analisa
5.       Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu
6.       Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern: tingkat perkembangan di masa kini
7.       Penilaian kritis terhadap khazanah Islam: tingkat perkembangannya dewasa ini
8.       Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam
9.       Survei permasalahan yang dihadapi umat manusia
10.  Analisa kreatif dan sintesa
11.  Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam: buku-buku daras tingkat universitas
12.  Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan.[28]

Zainal Habib menyimpulkan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk melakukan islamisasi ilmu pengetahuan ialah:
1.     Memahami disiplin ilmu modern (Barat)
2.     Memahami warisan ilmu Islam
3.     Mencari relevansi antara ilmu Barat dan ilmu Islam
4.     Melakukan sintesis untuk kemudian mengarahkannya pada prinsip Ilahi
5.     Meluncurkan pemikiran Islam ke jalan yang mengarah pada kapatuhan pada hukum Tuhan. [29]

Sekitar dekade 80-an masyarakat dunia terutama dunia Islam dikejutkan oleh gagasan al-Faruqi mengenai islamisasi (baca: kesatuan) ilmu pengetahuan (unity of knowledge).[30] Karena, ruh yang dibangun dalam Islamic civilization (peradaban islam) adalah din al-Islam.[31] Sementara esensi dari ajaran Islam ialah tauhid dalam arti afirmasi atau pengakuan bahwa Allah itu Maha Esa, Pencipta yang muthlak dan transenden serta penguasa alam semesta.

Kesatuan ilmu yang sedang digarapnya, bermula dari adanya krisis di dalam basic ilmu pengetahuan modern, yaitu konsep realitas atau pandangan dunia yang melihat pada setiap ilmu pengetahuan yang kemudian mengarah pada persoalan-persoalan epistemologis, hubungan konsep dan realita, masalah kebenaran dan lain-lain yang menyangkut pengetahuan.[32]

Imam Suprayogo mengasumsikan bahwa posisi ilmu agama Islam yang tampak kurang berarti dibandingkan dengan posisi ilmu-ilmu umum perlu dikaji lebih mendalam. Selama ini, ilmu agama Islam diposisikan sejajar dengan rumpun ilmu lainnya, sehingga melahirkan pandangan dikotomi dalam melihat bangunan ilmu tersebut. Ilmu tentang Islam bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits yang seharusnya diletakkan sebagai sumber segala ilmu.[33] Hal tersebut akan memperjelas bangunan ilmu yang sejatinya bersifat integratif dengan memposisikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama.

Implikasi integrasi nilai dan ilmu pengetahuan adalah keterpaduan antara pendidikan agama yang sarat nilai denga ilmu pengetahuan umum.[34] Keduanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, tidak ada yang dikotomis apalagi kontradiksi antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum  yang dianggap bebas nilai. Keduanya merupakan satu kesatuan yang integratif.

Berbeda halnya dengan istilah yang digunakan oleh Kuntowijoyo yaitu ilmu-ilmu sekular dan ilmu integralistik. Saat ini, ilmu-ilmu sekular sedang terjangkit krisis (tidak dapat memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat), sehingga ilmu integralistik tersebut diperlukan demi keberlangsungan eksistensi dari substansi ilmu-ilmu sekular itu sendiri.[35]

Fokus utama yang dilakukan oleh al-Faruqi adalah mendidik generasi baru muslim dengan metode-metode modern tapi berorientasi Islam.[36] Karena Menurut M. Zainuddin dalam M. Lutfi Mustofa dan Helmi Syaifuddin bahwa hegemoni Barat menurutnya berada dalam bidang pendidikan.[37] Maka dari itu, ia mulai menggarapnya dari pendidikan sebagai inti dari malaise tersebut. Islamisasi ilmu pengetahuan inilah yang dikehendaki al-Faruqi yakni dengan menuangkan kembali pengetahuan sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam.

Sesuai dengan namanya Mulyanto dalam Moeflich Hasbullah mengemukakan bahwasanya puncak islamisasi ilmu pengetahuan ialah dihasilkannya ilmu pengetahuan yang islami dan umat mengembangkannya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.[38] Dalam hal ini, tidak akan ditemukan lagi pertentangan: keimanan umat, tidak akan lagi terhimpit desakan rasional. Karena rasionalitas telah diperhambakan pada tujuan-tujuan keimanan.

Analisis Kritis terhadap Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi
Terlepas dari gemilangnya pemikiran al-Faruqi sebagai tokoh cendikiawan mulism, penulis menemukan kelemahan konsep dari gagasan al-Faruqi yang seharusnya perlu diperjelas secara teoritis. Di antara kritik konsep tersebut, ialah sebagai berikut:

1.  Salah satu tujuan islamisasi ilmu pengetahuan yang digagas oleh al-Faruqi ialah untuk menentukan relevansi Islam pada setiap bidang ilmu pengetahuan. Dalam pemahaman penulis, secara riil Islam relevan dengan segala aspek pemikiran, kehidupan dan keadaan. Maka, yang menjadi pertanyaan ialah: apakah Islam yang harus dibuat relavan dengan ilmu pengetahuan atau malah sebaliknya ilmu pengetahuanlah yang seharusnya dibuat relavan dengan Islam itu sendiri?

2.  Konsep ideasionalitas menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan yang akan membawanya terhadap suatu pemahaman tentang ketuhanan, baik dilakukan dengan cara memahami firmannya maupun memahami ciptaannya. Dalam hal ini al-Faruqi tidak memberikan formulasi yang jelas tentang perbedaan antara memahami ayat-ayat Tuhan yang berupa al-Qur’an dengan ayat-ayat kauniyah (alam semesta). Pada dasarnya, untuk memahami al-Qur’an dilakukan dengan cara tadabbur (merenung) yakni menggunakan spiritual yang topang dengan akal.

Sedangkan untuk memahami alam ciptaannya harus dilakukan dengan tafakkur (berpikir) yakni menggunakan akal yang kemudian ditopang dengan kemampuan spiritual. Jadi, jika hal tersebut tidak dijelaskan, dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahan dalam memahami atau menempatkan ‘cara’ yang digunakan untuk memahami ayat-ayat Tuhan (kitabiyah dan kauniyah).  Karena, dapat dikatakan salah apabila tadabbur digunakan untuk memahami alam semesta, begitupun sebaliknya tafakkur digunakan untuk memahami firman Tuhan.

Persoalan-persoalan tersebut menurut hemat penulis menjadi hal yang penting untuk diperhatikan lebih serius agar konsep yang ditawarkan dapat dipahami secara sistematis. Namun, yang terpenting dari keberadaan pemikiran al-Faruqi ialah merealisasikan gagasan itu sendiri, agar tidak hanya berupa teori tetapi mampu berlabuh pada konteks.

Penutup
Masalah utama yang dihadapi umat manusia adalah dikotomi ilmu pengetahuan (pemisahan antara ilmu umum dan imu agama). Hal tersebut menimbulkan de-islamisasi dan de-moralisasi dalam kehidupan manusia. Sehingga al-Faruqi (salah satu tokoh yang merasa khawatir terhadap problematika sosial semacam itu) melakukan gerakan-gerakan nyata melalui konsep yang dirumuskan yaitu islamisasi ilmu pengetahuan dengan dasar atau intisari tauhid di dalamnya.

Tauhid merupakan esensi Islam. Keberadaan Islam dengan ilmu pengetahuan merupakan satu kesatuan yang inheren sepanjang kehidupan manusia. Dalam pandangan al-Faruqi, tauhid adalah pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu serta sejarah manusia. tauhid mencakup prinsip; dualitas, ideasionalitas dan teleolgi.

Kesatuan ilmu yang sedang digarapnya, bermula dari adanya krisis di dalam basic ilmu pengetahuan modern, yaitu konsep realitas atau pandangan dunia yang melihat pada setiap ilmu pengetahuan yang kemudian mengarah pada persoalan-persoalan epistemologis, hubungan konsep dan realita, masalah kebenaran dan lain-lain yang menyangkut pengetahuan. Sehingga, antara pengetahuan Barat dengan Islam menjadi satu-keatuan yang saling mengisi dan melengkapi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara merombak ulang sains modern lalu diberikan dasar Islam serta tujuan yang konsisten dengan Islam. Inilah konsep awal kesatuan ilmu perspektif al-Faruqi yaitu menjadikan semua disiplin ilmu bersifat humanistis/ummatis.

Islamisasi ilmu pengetahuan muncul sebagai respon terhadap problematika umat Islam yang saat ini berada dalam malaise yang gawat. Maka islamisasi ilmu pengetahuan muncul sebagai solusi konstruktif bagi kehidupan masyarakat yang disebabkan karena konsep pendidikan yang bertumpu pada suatu pandangan dunia yang bersifat materialistis yakni memandang realitas sebagai sesuatu yang bermakna secara material bagi manusia. Selain itu islamisasi ilmu pengetahuan juga muncul sebagai reaksi terhadap adanya konsep dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan yang dimajukan masyarakat Barat dan budaya masyarakat modern.



Daftar Pustaka
Achmadi. 2010, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Faruqi, Isma’il R. & Lois Lamya al-Faruqi. 2003, Atlas Budaya Islam Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, Terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan.
Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka.
Ali, Mohammad Daud. 2013, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Baharun, Hasan & Akmal Mundiri. 2011, Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, Bandung: ar-Ruzz Media.
Esposito, John L. & John O. Voll. 2002, Tokoh-tokoh Gerakan Islam Kontemporer, Terj. Sugeng Hariyanto, et.al., Jakarta: Kencana.
Habib, Zainal. 2007, Islamisasi Sains: Mengembangkan Integrasi, Mendialogkan Perspektif, Malang: UIN Malang Press.
Hasbullah, Moeflich. 2000, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Pustaka Cidesindo.
Kuntowijoyo. 2006, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Muliawan, Jasa Ungguh. 2005, Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Imu dan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka belajar.
Mustofa, M. Lutfi & Helmi Syaifuddin, 2007, Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama, Malang: LKQS.
Nata, Abuddin. 2003, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa.
                        . 2012, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nizar, Samsul. 2011, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana.
Rozak, Abdul & Rosihon Anwar. 2011,  Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Siswanto. 2009, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filosofis, Pamekasan: STAIN Pamekasan Press.
Soleh, Khodori. 2014,  Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Jogjakarta: ar-Ruzz Media.
Sucipto, Hery. 2003, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakr hingga Nars dan Qardhawi, Bandung: PT. Mizan Publika.
Suprayogo, Imam. 2006, Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam: Perspektif UIN Malang, Malang: UIN Malang-Press.
Zainuddin. 2010, Paradigma Pendidikan Terpadu, Menyiapkan Generasi Ulul Albab, Malang: UIN Malang-Press.




[1] Zainal Habib, Islamisasi Sains: Mengembangkan Integrasi, Mendialogkan Perspektif (Malang: UIN Malang Press, 2007), 1.
[2] Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Imu dan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka belajar, 2005), 205.
[3] Hasan Baharun & Akmal Mundiri, Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama (Bandung: ar-Ruzz Media, 2011), 104.
[4] Isma’il R. al-Faruqi & Lois Lamya al-Faruqi, Terj. Ilyas Hasan, Atlas Budaya Islam Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang (Bandung: Mizan, 2003), 6.
[5] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2011), 255.
[6] Dikatakan juga, pendidikan pertama al-Faruqi diperoleh di masjid kemudian di sekolah biara yang menggunakan Bahasa Perancis sebagai bahasa pengantar. Dari masjid ke biara, perubahan yang dialami al-Faruqi sangat besar serta memberikan bekal dalam memandang agama dan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Lihat Isma’il R. al-Faruqi & Lois Lamya al-Faruqi, Terj. Ilyas Hasan, Atlas Budaya Islam Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang (Bandung: Mizan, 2003), 6.
[7] Abdul Rozak & Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), 227.
[8] Ibid.
[9] Khodori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer (Jogjakarta: ar-Ruzz Media, 2014), 324.
[10] A-Faruqi & Lois Lamya al-Faruqi, Terj. Ilyas Hasan, Atlas Budaya, 6.
[11] Rozak & Anwar, Ilmu Kalam, 228.
[12] Ibid.
[13] Soleh, Filsafat Islam, 326.
[14]Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakr hingga Nars dan Qardhawi (Bandung: PT. Mizan Publika, 2003), 331.
[15] Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), 199.
[16] A-Faruqi & Lois Lamya al-Faruqi, Terj. Ilyas Hasan, Atlas Budaya, 110.
[17] Ibid.
[18] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), 142.
[19] Ibid., 150.
[20]Terjadinya islamisasi ilmu pengetahuan dilatar belakangi oleh adanya pemisahan agama dari perkembangan ilmu pengetahuan terjadi pada abad pertengahan yaitu saat umat Islam kurang mempedulikan (meninggalkan) ilmu pengetahuan. Pada masa itu yang berpengaruh di masyarakat Islam adalah ulama tarekat dan ulama fiqih. Keduanya menanamkan paham taqlid dan membatasi kajian agama hanya dalam bidang yang sampai sekarang masih dikenal dengan ilmu-ilmu agama, seperti tafsir, fiqih dan tauhid. Ilmu-ilmu tersebut mempunyai pendekatan normatif dan tarekat. Tarekat hanyut dalam wirid dan dzikir dalam rangka menyucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhi kehidupan duniawi. Sedangkan ulama tidak tertarik untuk mempelajari alam dan kehidupan manusia secara objektif. Akan tetapi, keadaan ini mengalami perubahan pada abad ke-19, yaitu sejak ide-ide pembaharuan diterima dan didukung oleh sebagian umat. Di dunia Islam dilaksanakan dua sistem pendidikan yakni pendidikan agama dan pendidikan umum yang saling melengkapi. Sekolah agama mulai mengajarkan mata pelajaran umum dan sekolah umum juga memberikan mata pelajaran agama. Dua sistem pendidikan dan mata pelajaran itu masih terpisah (dualis dikhotomis). Maka dari itu, ketika umat Islam masih bergulat dengan berbagai permasalahan keterbelakangan sosial, ekonomi dan kultur, Barat sebagai masyarakat modern mengalami kemajuan pesat terutama dibidang ilmu pengetahuan. Sehingga para pemikir dan cendikiawan muslim menyerukan supaya perkembangan sains perlu dikembalikan pada induknya, yaitu Islam. Lihat Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Angkasa, 2003), 128-129.
[21] Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu, Menyiapkan Generasi Ulul Albab (Malang: UIN Malang-Press, 2010), 68.
[22] Ibid., 69.
[23]Isma’il Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1984), 1.
[24] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Angkasa, 2003), 127.
[25] Ibid., 30.
[26] Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, 55-96.
[27] Ibid., 98.
[28] Ibid., 99-115.
[29] Habib, Islamisasi Sains, 54.
[30] Siswanto, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filosofis (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2009), 98.
[31] Habib, Islamisasi Sains, 25.
[32] Siswanto, Pendidikan Islam, 98.
[33]Imam Suprayogo, Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam: Perspektif UIN Malang (Malang: UIN Malang-Press, 2006), 29.
[34] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 128.
[35]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 50.
[36]John L. Esposito & John O. Voll, Tokoh-tokoh Gerakan Islam Kontemporer, Terj. Sugeng Hariyanto, et.al. (Jakarta: Kencana, 2002), 11.
[37] M. Lutfi Mustofa & Helmi Syaifuddin, Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama (Malang: LKQS, 2007), 211.
[38]Moeflich Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), 33.

Posting Komentar

0 Komentar