Sekolah dan Kontradiksi Sosial: Urgensi Pendidikan dalam Realitas Masyarakat Modern

sumber: gardenmatrial.com
Pendahuluan
Modernisasi dengan segala variabel yang mengiringinya pada tataran praktisnya telah melahirkan beragam kontradiksi sosial yang berujung pada disintegrasi kultural[1]. Lebih jauh, modernisasi merupakan bentuk lagalitas dari westernisasi yang merupakan reinkarnasi dari imperialisme masa kini (Dardiri, 2003)[2], dan anehnya disambut secara aklamasi oleh Negara-negara di Dunia Ketiga sebagai salah satu arah pembangunan di bawah mental developmentalisme.

Problematika sosisal sebagai aplikasi tulen  dari dehumanisasi merupakan bagian intrinsik dari “masyarat modern” yang diklaim kelompok paling maju, rasional dan serba teknologi. Sehingga tidak heran bila Nietzsche meneriakkan “kematian Tuhan” dengan melihat latar belakang “budaya kontemporer” yang dirancang di atas teknologi dan tanpa memberikan ruang yang wajar terhadap nilai spiritual ketuhanan[3].

Sesuai pandangan yang lebis kritis, modernisasi dijadikan landasan filosofis pembangunan Negara-negara Dunia Ketiga, termasuk dalam pengertian ini Indonesia, di bawah ideologi Barat yang dominan sehingga perjalanan peradaban hanya akan berlangsung dari satu arah: dari Barat ke Negara-negara Timur yang sedang berkembang. Sebuah ideologi pembangunan yang benar-benar Barat sentris.

Dalam pemikiran lebih lanjut, modernisasi yang diagung-agungkan sebagai model masyarakat masa depan akan berdampak pada keseragaman budaya, pemikiran atau ideologi.

Salah satu bukti, Kapitalisme, sebagai ideologi besar Amerika, mulai jadi anutan mayarakat Indonesia yang salah satu wujud aplikasinya berupa budaya konsumerisme. Inilah buah modernisasi dengan dukungan penuh dari globalisasi yang melampaui batas-batas Negara, dan pada perjalanan selanjutnya merusak budaya lokal dan tradisi lama[4].    

Suasana di atas memberikan kita konklusi akurat bahwa modernisasi tidak identik selalu dengan kemajuan, apalagi kemajuan dalam versi Barat yang salah satu syaratnya adalah harus melepaskan taradisi lokal.

Kemajuan dilekatkan dengan kebesaan individual sebagai aset penting dari pengembangan liberalisme, baik politik, ekonomi atau agama. Dalam tataran ini, kemajuan (dalam versi modern yang primitif) adalah sebuah kontradiksi sosial yang nyata bertolak belakang dengan kultur setempat[5].

Sekolah dan Problematika Modern
Salah salah satu polarisasi yang ditawarkan modernisme adalah rasionalisme empiris yang sedikit mengesampingkan nuansa spritualitas. Tidak salah kalau Hamka (1997), mensiyalir bahwa hidup modern yang serba maju, serba cepat, serba otomatis dan serba mesin tetapi juga serba gelisah, serba tidak ada pegangan, serba diliputi rasa takut karena megalami kehampaan spiritual[6].

Peradaban modern yang dibangun diatas teknologi berbasis mesin tidak diimbangi degan pembangunan nilai kejiwaan (baca; spiritual) sehingga hanya melahirkan beragai masalah sosial dan lingkungan yang berkesinambungan. 

Krisis nilai spiritual merupakan ciri khusus masyarakat modern yang paling banyak mendapat sorotan masayarakat. Munculnya gerakan posmodernisme merupakan reaksi serius terhadap masalah krisis nilai yang terjadi pada masyarakat modern. Dan sebagaimana yang diungkap oleh Capra (dalam Shihab, 2001), bahwa kegagalan sains modern karena dimensi metafisika (keagamaan) dalam eksistensi manusia telah dilupakan[7], sebagaimana halnya aspek etika normatif tidak mendapat tempat dalam dunia modern.

Dalam perspetif ini, sekolah juga megalami apa yang disebut krisis nilai. Pendidikan sekolah tidak lebih dari kegiatan transfer ilmu pengetahuan secara dangkal, tanpa ada penekanan pada sisi nilai spiritulnya. Sekolah telah berhasil membawa pola pemikiran siswa yang jauh dari lingkuangan dan latar belakang sosialnya sehingga menjadi generasi yang tercerabut dari akar sejarah sosialnya sendiri.

Sekolah seolah dunia asing yang melahirkan makhluk-makhluk asing. Anak seorang petani tidak diajari bagaimana mengelola sawah, anak nelayan tidak diajari bagaimana menaklukkakan laut[8], tetapi mereka dipandang sama meskipun latar belakang dan kebiasaan sosial mereka berbeda satu sama lain.

Lebih lanjut, pendidikan sekolah terkooptasi bias ideologi modern yang hanya menekankan pada rasionalitas dan emperisme, sehingga sekolah tidak memihak pada budaya lokal di mana sekolah itu ada dan berkembang. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, pendidikan telah diidentikkan dengan sekedar perolehan ijazah, atau atribut-tribut formal yang bersifat artifisial lainnya[9].

Pandangan semacam itu akan menjadi akar masalah yang hanya menelurkan kontradiksi-kontradiksi yang mejauhkan pendidikan dari makna hakikinya. Oleh karena itu, reformulasi pendidikan dengan meletakkannya sebagai proses manusia untuk having dan memantapkanya sebagai being[10], adalah satu keharusan agar bisa keluar dari kemelut tadi. Sekolah sebagai media pendidikan formal sejatinya tidak merumuskan kurikulumnya berdasarkan dominasi pasar –tepatnya, tuntutan pasar- yang hanya menyiapkan peserta didik jadi korban industrialisasi di bawah ideologi kapitalisme. Lebih jelas lagi, sekolah tidak boleh tunduk di bawah modernisme yang hanya melahirkan kontradiksi sosial.

Pendidikan Sekolah: Masalah dan Jalan Keluarnya
Pendidikan sekolah pada perkembangannya yang terakhir masih terjebak dalam kerangka formalitas yang jauh dari sentuhan nilai-nilai dasar. Pendidikan masih diterjemahkan dalam pola “praktik pengajaran” dengan memfokuskan pada pengembangan dimensi fisik manusia (baca: kecerdasan intelektual), bukan sebagai proses penyadaran (konsientisasi)[11] terhadap eksistensi manusia sebagai pribadi yang ilahiyah dan insaniyah.

Orientasi pendidkan menjadi sangat positivistis (juga serba pragmatis) sehingga kurang memberikan memberikan kesadaran kritis pada peserta didik. Padahal, kewajiban kurikulum sekolah, sebagaimana disinyalir oleh Postman (2002), tidak hanya “mengajarkan” –tanda petik dari penulis- sesuatu yang telah ada, tapi juga berani menanyakan kenapa semua itu ada[12].

Tanpa dipungkiri, pendidikan sekolah kontemporer oleh sebagian kalangan talah dinilai gagal[13] dalam menjalankan visi pendidikannya yang sejati. Dalam masalah ini, penulis akan mencoba melakukan semacam “kritik simpatik” pada mekanisme pandidikan sekolah yang telah dianggap mapan, serta berupaya sebaik mungkin untuk menemukan jalan keluarnya.

1. Pendidikan Tanpa Nilai
Pendidikan harus direalisasikan sebagai piranti penyadaran akan potensi dasar yang dimiliki tiap individu. Setiap manusia lahir tidak hanya dengan karakter fitrahnya, tetapi juga dilengkapi dengan “potensi nilai” sebagai suatu ikatan primordial. Lebih rinci, dalam diri manusia terdapat dua nilai yang saling terkait terat.

Pertama, nilai ketuhanan
Manusia mempunyai karakter ketuhanan kendati secara esensial ia tetap berbeda dengan Tuhan itu sendiri. Nilai ketuhanan ini sangat berperan pada eksistensi dirinya sebagai khalifah Allah, sehingga apa yang dikerjakannnya di dunia ini merupakan satu keterpaduan dengan asal dan akhir yang sama: berasal dari Tuhan dan kemabli ke Tuhan. Inilah yang disebut dengan ilmu “sangkan paraning dumadi” dalam terminologi makrifat ala Syehk Siti Jenar[14].

Kedua, nilai kemanusiaan
Manusia diciptakan sebagai makhluk individu dan sosial. Fungsi nilai kemanusiaan di sini, sebagai media pengejawantahan kedua sifat tadi dengan tepat. Lebih jauh, nilai kemanusia juga sebagai sandaran implikasi dari pengamalan nilai ketuhanan. Maksudnya, nilai ketuhanan tak akan menemui ruang gerak bila tidak dibungkus dengan nilai kemanusiaan itu sendiri. Di sini pentingnya mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai rukun pertama agama Islam[15].

Mengembalikan pendidikan pada kedua nilai dasar yang dimiliki setiap peserta didik merupakan satu keniscayaan yang pasti. Sebab, hal itu dapat membawa kembali pendidikan pada dimensi hakikinya dalam upaya memelihara kemanusiaan manusia.

2. Sekolah Tanpa Budaya
Sekolah sebagai satuan institusi pendidikan memiliki fungsi  strategis dalam mewujudkan kultur sekolah. Dalam mengusung visi dan misinya sebagai lembaga layanan publik untuk mencerdaskan anak bangsa, maka  diperlukan langkah langkah konkret pelaksanaan program sekolah, sehingga visi dan misi yang diusungnya tidak sekedar  jargon figuratif  etalase sekolah, dan yang dinilai paling fundamental adalah bagaimana program-program yang dilaksanakan tersebut mampu mengokohkan kultur sekolah (school attitude, school culture)[16] dalam konteks upaya-upaya menumbuhkan kesadaran peka budaya belajar dan budaya mutu serta menciptakan masyarakat sekolah yang kondusif (condusive school society) yang dapat membentuk atmosfir pendidikan yang sehat di lingkungan sekolah.

Sekolah sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek pokok yang sangat berkaitan erat dengan mutu sekolah, yakni: proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur sekolah. Program aksi untuk peningkatan mutu sekolah secara konvensional senantiasa menekankan pada aspek pertama, yakni meningkatakan mutu proses belajar mengajar, sedikit menyentuh aspek kepemimpinan dan manajemen sekolah, dan sama sekali tidak pernah menyentuh aspek kultur sekolah[17].

Sudah barang tentu pilihan tersebut tidak terlalu salah, karena aspek itulah yang paling dekat dengan prestasi siswa. Namun, sejauh ini bukti-bukti telah menunjukkan bahwa sasaran peningkatan kulitas pada aspek PBM saja tidak cukup. Dengan kata lain perlu dikaji untuk melakukan pendekatan in-konvensional yakni, meningkatkan mutu dengan sasaran pengembangan kultur sekolah.

Sebab sekolah merupakan institusi sosial yang muncul sebagai hasil cipta, rasa dan karsa masyarakat. Sehingga sudah sewajarnya apabila sekolah memiliki kultur tersendiri yang diramu dari beragam budaya di sekitarnya untuk membentuk kesatuan pendidikan yang utuh agar tidak timbul tenggelam dalam gelombang modernisasi.

Penutup
Gambaran sederhana mengenai realitas masyarakat moderan dan kondisi pendidikan dewasa ini, sebagaimana penulis ungkapkan di atas, merupakan satu persoalan besar yang belum terselesaikan. Selama ini pendidikan belum menyentuh persoalan dasar masyarakat, padahal antara keduanya merupakan satu kesatuan eksistensial yang tak terpisahkan. Ilmu hukum terus dipelajari di berbagai universitas, tapi persoalan hukum dan keadilan di negeri ini semakin tidak jelas nasibnya.

Dibutuhkan keberanian mental bagi siapa saja untuk terlibat dalam perubahan dan pembaruan yang lebih baik ke depan. Apa yang tertulis dalam makalah ini hanya sedikit persoalan yang perlu segera diselesaikan, dan masih banyak lagi problematika pendididikan dan sosial yang membutuhkan sikap lebih berani, cerdas dan jujur untuk mengatasinya.

(Tulisan ini meraih Juara I LKTI tingkat mahasiswa dalam rangka HARLAH STAIN PAMEKASAN XV, yang diselenggarakan oleh DEMA STAIN Pamekasan tahun 2012)



DAFTAR PUSTAKA


A’la, Abd. 2006. Pembaruan Pesantren. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara
Affandi, Sayid Husen, Al-Husunu Al-Hamidiyah
Fakih, Mansour dkk. 2000. Pendidikan Pupuler: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: ReaD Books
Hamka. 1987. Lembaga Hidup. Bandung: Mizan
Hasan, Fuad, Mendekatkan Anak Didik pada Lingkungan, Bukan Mengasingkannya, dalam Jurnal Prisma, tahun 2006
Imron, D. Zawawi. 2010. Pendidikan Menghidupkan Nilai Pesantren. Jakarta: Paramadina
Jaya, Ashad Kusuma. 2007. Pewaris Ajaran Syekh Siti Jenar: Membuka Pintu Makrifat. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Postman, Neil. 2002. Matinya Pendidikan: Redefinisi Nilai-nilai Sekolah. Yogyakarta: Jendela
Levine, Peter. 2001. Nietzsche dan Krisis Manusia Modern. Yogyakarta: Irchisod
Shihab, Alwi. 2001. Islam Inklusif. Bandung: Mizan
Syair, Syarwini, Modern yang Primitif: Sebuah Tafsir Konsepsi Sosial, dalam Jhatmika, edisi 41, April 2009
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing
Zubairi, A. Dardiri, Dominasi di Balik Teks: Mengungkap Ideologi Dominan dalam Buku Ajar, dalam Jurnal Edukasi edisi VIII, tahun 2007



[1] Asumsi ini tidak bermaksud mengesampingkan dampak positif dari modernisasi. Tapi penulis lebih bersikap terbuka dan jujur pada relitas keseharian yang terjadi, di mana modernisasi selalu identik dengan kehura-huraan, serba bebas, dan berlawanan dengan tradisi. Lihat lebih lanjut Syarwini Syair, Modern yang Primitif: Sebuah Tafsir Konsepsi Sosial, (dalam Jhatmika, edisi 41, April 2009), hal. 6-7
[2] A. Dardiri Zubairi, Dominasi di Balik Teks: Mengungkap Ideologi Dominan dalam Buku Ajar, (dalam Jurnal Edukasi edisi VIII, tahun 2007), hal. 25
[3] Matinya Tuhan sebagai dasar filsafat Nietzsche merupakan reaksi keras atas buruknya kondisi sosial akibat krisis spiritual, seolah Tuhan telah mati dalam diri manusia. Sehingga kebenaran pun ditentukan oleh kelompok yang dominan. Silahkan analisis pemikiran Nietzsche dalam Peter Levine, Nietzsche dan Krisis Manusia Modern, (Yogyakarta: Irchisod, 2001), hal.  217
[4] Menurut Kenichi Ohmae, global adalah bordeless world (dunia tanpa batas) yang mengundang kerja sama antar bangsa, sekat geografis, etnis, agama bukan rintangan. Lihat Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 208
[5] Syarwini Syair, op.cit, hal.8
[6] Bahkan ahli filsafat modern yang merumuskan hak asasi manusia yang diantaranya “bebas dari rasa takut”, padahal ketakutan itulah yang banyak menyerang kehidupan modern. Lebih jelasnya lihat Hamka, Lembaga Hidup, (Bandung: Mizan, 1987), hal. 312
[7] Alwi Shihab, op.cit, hal. 213
[8] D. Zawawi Imron, Pendidikan Menghidupkan Nilai Pesantren, (Jakarta: Paramadina, 2010), hal. 65
[9] Abd. A’la, Pembaruan Pesantren, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2006), hal. 58
[10] Konsep ini merupakan penyadaran manusia akan-nilai dan potensi dasar yang dimilikinya agar bisa berlabuh nyata dalam kehidupan sosial. Lihat Fuad Hasan, Mendekatkan Anak Didik pada Lingkungan, Bukan Mengasingkannya, ( dalam Jurnal Prisma, 2006), hal 40.
[11] Konsientisasi ini berasal dari Erich Fromm, kemudian dipakai oleh Paolo Freire sebagai salah satu landasan penting konsep pendidikannya. Baca selengkap Mansour Fkih dkk, Pendidikan Pupuler: Membangun Kesadaran Kritis, (Yogyakarta: ReaD Books, 2000), hal. 49
[12] Neil Postman, Matinya Pendidikan: Redefinisi Nilai-nilai Sekolah, (Yogyakarta: Jendela, 2002), hal. 36
[13] Asumsi ini salah satunya diasampaikan oleh A. Dardiri Subairi dan Hidayat Raharja yang telah membedah baik-buruk sekolah masa kini lengkap dengan kegagalannya dalam sebuah seminar pendidikan dengan tajuk “Pendidikan Sekolah dan Pesantren Salaf: Mencari Format Ideal Pendidikan Masa Depan” yang diselenggarakan oleh OSIS MA. MAhwil Ummiyah pada hari Ahad, tanggal 02 Desember 2009.
[14] Lihat kembali dalam Ashad Kusuma Jaya, Pewaris Ajaran Syekh Siti Jenar: Membuka Pintu Makrifat, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), hal. 86
[15] Orang yang hanya bersaksi terhadap ketuhanan Allah, tapi tidak mengakui kerasulan Muhammad, maka Islamnya tidak sah, karena dianggap belum beriman. Lihat dan pahami kitab karangan Sayid Husen Afandi, Al-Husunu Al-Hamidiyah, hal. 17
[16] Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2000),     hal. 148
[17] Ibid.  hal. 151 

Posting Komentar

0 Komentar