Sejak peristiwa itu, aku lebih sering mengunjungi bilik Ju’ Encung. Juju’ kandung dari nasab embu’, nyaé dari embu’ku. Usianya sudah lebih seratus tahun dan kedua penglihatannya tak berfungsi lagi sejak sepuluh tahun yang lalu. Biliknya berada di samping rumah saudara bungsu embu’ yang berdempetan dengan dapur dan langghâr. Aku harus melewati tiga petak tegalan luas milik Man Sakib untuk bisa sampai ke sana.
Setumpuk pertanyaan bergumul di kepalaku. Pertanyaan yang membebani pikiranku. Terasa beku bila kubiarkan lama menunggu. Dari bilik Ju’ Encung lah kuharap semuanya jelas. Namun ternyata masih menumbuhkan tunas-tunas pertanyaan yang belum tuntas.
Malam Jum’at, usai shalat Isya’, aku menemui Ju’ Encung. Di ambang pintu biliknya, kuucap salam, juju’ku menoleh tanpa menjawab. Di atas lincak yang terbuat dari pohon bambu beralaskan tikar pandan, Ju’ Encung duduk masih dengan rukuh warna putih yang kusam, jari tangannya kokoh memilin biji tasbih satu persatu disertai komat-kamit halus tampak di kedua bibirnya. Dengan langkah pelan, aku duduk di sampingnya, menunggu sampai Ju’ Encung tuntas menyelesaikan bacaan dzikir yang dipungkasi dengan doa.
“Kamu Sal?” tanya Ju’ Encung, ia menoleh ke arahku, tangannya meraba ingin memastikan letak posisiku. Kuraih tangannya lalu kucium sebagai bentuk jawaban bahwa benar ini cicitmu, Salma. Wajahnya tetap teduh seperti air yang mengalir tanpa riak, tenang dan menenangkan.
“Malam-malam ke sini ada perlu apa?” Tanyanya kembali, tangan lembutnya mengelus-elus pundakku.
“Saya ingin tanya tentang kapal yang macet dan tenggelam tadi, katanya terjepit batu di ujung Toalang, Ju’,” seketika wajah teduhnya tampak redup, seolah sedang memutar memori puluhan tahun silam. Ia menunduk lama sekali sebelum akhirnya memberikan jawaban atas kemasygulan yang menguasaiku sejak siang tadi.
***
Terik mentari masih cukup menyengat saat deru mesin itu mulai mereda. Sesekali gasnya ditarik, lalu dipelankan. Tidak seperti dua jam sebelumnya, saat kapal besar dari arah utara itu kandas terjepit batu tepat di ujung Toalang. Nahkoda kapal panik, para penumpang sontak berdiri. Gas mesin ditarik sekuat-kuatnya hingga menimbulkan bunyi yang meraung. Warga sekampung berlarian hampir memenuhi pesisir pantai di kaki Toalang.
Air laut lagi pasang, Toalang tidak tampak ke permukaan. Sederet batu yang memanjang, tampak ketika air laut surut dan tenggelam saat pasang. Sudah sekian lama tak ada kapal yang menyeberangi laut dekat Toalang. Biasanya dari utara terus melewati arah timur Giliyang. Lewat tikungan Toalang memang lebih dekat dengan pelabuhan Dungkek, dari pada harus memutar ke arah timur pulau oksigen itu.
“Itu pasti kapal dari Bugis. Aku mengenali dari layar kapalnya,” ujar Man Sakib yang baru datang tiba-tiba memberikan jawaban atas satu pertanyaan yang ada di benakku.
Benarkah? Kuamati kapal itu. Layar berbentuk segi tiga warna biru tua terus berkibar diterpa angin yang begitu kencang. Bagian depan ada tiga lapis, di ujung atas satu lapis, di tengah dua lapis dan di belakang dua lapis. Semuanya berjumlah delapan lapis. Memang agak berbeda dengan kapal-kapal yang biasa kutemui.
“Mungkin saja, biasanya hanya kapal dari Bugis yang mengalami nasib malang seperti ini,” Bâ’ Saeri menimpali, yang lain mengangguk, membenarkan.
Ada apa dengan Bugis? Apa hubungannya Bugis dengan kemacetan kapal di Toalang ini? Bukankah kata guru ngajiku dulu, orang-orang Bugis biasa datang ke Dungkek? Bahkan ada sesepuh asal Bugis, seorang wali yang berdakwah di Giliyang, yaitu Daeng Karaeng Mushalleh Suro Raksana?
Dulu, ada ritual khusus yang dilakukan untuk menyelamatkan kapal Bugis. Waktu Ké Musikin masih hidup, beliau mengaji, duduk bersila di pinggir pantai diikuti oleh sebagian warga yang datang dan penumpang kapal yang turun. Usai mengaji, beliau mengambil segengam pasir di dekat tempat duduknya, sebagian dilempar ke laut, sebagian dibawa ke atas kapal. Seketika, amarah Toalang luluh, hingga kapal Bugis kembali melaju. Demikian kasak kusuk warga yang kusimak dengan seksama.
Lalu sekarang, Ké Musikin sudah meninggal sekitar tujuh tahun silam. Warga berinisiatif melakukan hal serupa, bersama sebagian penumpang yang berhasil diturunkan dengan bantuan perahu nelayan. Namun, hasilnya nihil. Cengkraman batu Toalang seolah semakin kuat. Bahkan saat ada kapal lain yang berusaha menariknya, justru kapal Bugis semakin tenggelam. Nahkoda kapal dan beberapa sisa penumpang, dengan susah payah berhasil diselamatkan dengan perahu kecil nelayan yang berjibaku dengan ombak. Tak ada korban jiwa, hanya semua barang dagangan dan isi muatan ikut tenggelam.
Beberapa pertanyaan bermunculan di kepalaku. Terasa sesak, namun kutampung semuanya dalam ingatan.
Sebagian orang masih terpaku, menyaksikan peristiwa yang berbau mistik ini. Tikungan Toalang adalah tempat bertemunya dua arus. Meski tak menimbulkan ombak yang begitu besar, tapi memiliki gelombang arus dalam yang begitu kuat. Dan orang-orang percaya, bukan semata arus, ada hal lain yang menyebabkan kapal Bugis tenggelam.
Suasana masih genting, riuh orang-orang seolah berpacu dengan deru ombak yang berbenturan dari dua arah. Hatiku masygul melihat kejadian ini, dengan setumpuk pertanyaan yang tak mampu kupecahkan sendiri.
***
“Toalang artinya batu yang menghalang. Itu adalah sisa sejarah masa lalu tentang jembatan yang terputus menuju pulau Giliyang,” jawabnya. Masih seperti dulu, setiap kali memberikan jawaban, selalu lugas, sistematis dan mudah kupahami. Aku mengangguk. Meski kutahu, sekencang apapun aku mengangguk, Juju’ku tidak akan melihat juga.
Tumpukan batu yang memanjang adalah jembatan yang dibangun menuju pulau Giliyang. Saat pembangunan jembatan baru sampai pertengahan laut, suatu malam seperti ada bunyi gendang yang terdengar misterius.
Ketika sebagian masyarakat berhampuran mendekati laut dekat Toalang, samar-samar di bawah sinar rembulan yang hampir kuncup di balik mendung yang menggumpal, jembatan itu lenyap. Batu yang disusun sedemikian rupa, hancur melebur dalam air laut. Hanya tersisa sekitar empat puluh meter yang bentuknya sudah tak beraturan lagi. Begitu cerita lanjut dari Ju’ Encung. Rasa penasaranku semakin meletup-letup, ingin rasanya kupercepat juju’ku bercerita biar intinya segera kudapat.
“Waktu kamu masih balia, sekitar dua belas tahun yang lalu, pernah ada orang memancing ikan di atas Toalang, kemudian tenggelam karena air laut keburu besar. Keesokan harinya, mayatnya terkapar di pinggir pantai. Pernah juga ada orang cari kerang laut di sekitar sana, lalu terpeleset dan jatuh sampai luka dan berdarah. Di kakinya dijahit sampai lima jahitan. Kita tidak boleh main-main dengan Toalang itu,” tegasnya. Ada tekanan dalam nada bicaranya kali ini. Muka Ju’ Encung tampak meringis, barangkali kejadian belasan tahun lalu, tergambar jelas di hadapannya. Aku ikut hanyut. Kusimak dengan baik, tak ingin ada yang telewatkan barang sedikitpun.
“Dan kejadian seperti yang kamu lihat tadi adalah kejadian yang biasa terjadi sebelumnya. Tiap tahun pasti ada kapal yang macet terjepit batu di ujung Toalang. Bahkan penumpangnya ada yang sampai bermalam di rumah Ké Musikin, sewaktu beliau masih hidup. Saat ditanya asalnya, mereka menjawab dari Bugis. Sejak itulah ritual ngaji dan melempar pasir ke laut dilakukan oleh Ké Musikin,” imbuhnya. Mendengar kata Bugis dan ritual mistis Ké Musikin, aku tersendak, teringat pada perkataan Man Sakib dan cerita orang-orang di pantai tadi siang.
“Apa memang benar, hanya kapal dari Bugis yang selalu mengalami nasib malang saat menyeberangi ujung Toalang?” tanyaku. Rupanya rasa penasaran tak sanggup kutahan. Sebelum dijawab, kubantu Juju’ku merebah agar tidak penat dengan posisi duduk terlalu lama.
“Konon, itu adalah dendam kesumat terhadap orang Bugis. Karena, dulu ada orang Bugis yang membuang bayi di sekitar Toalang.” Tegas Juju’ku, raut mukanya seperti masih tenggelam dalam cerita masa lalu Toalang. Perasaanku campur aduk antara takut, iba pada bayi yang sengaja dibuang dan ikut mendendam pada perbuatan keji yang terjadi puluhan atau bahkan ratusan tahun silam.
Jam dinding di bilik Ju’ Encung tak ubahnya cobek tembikar bulat yang angka-angkanya hampir tak terlihat karena dimakan usia. Kulihat jarum pendek menujuk angka sembilan, jarum panjangnya tepat diangka dua. Dua jam tak terasa menikmati kisah Toalang yang menyimpan dendam cukup dalam terhadap orang Bugis. Kisah itu mengingatkanku pada sebuah perumpamaan bahwa di dunia ini, kita sedang menanam. Apa yang kita tanam itulah yang akan kita tuai. Indera semesta cukup peka mengamati segala sikap manusia.
Saat kupamit pulang, kembali kuciumi tangan lembut Juju’ku, ia memegang tanganku, sebuah isyarat agar aku tak dulu beranjak. Aku patuh. Dari raut mukanya seperti ada yang hendak disampaikan. Aku diam menunggu.
“Sal, selagi sempat, mengajilah di atas Toalang itu. Dulu, waktu mataku masih bisa melihat, aku sering melakukannya sambil membawa kembang tujuh rupa, jâjân génna’ dan kemenyan. Kuletakkan semuanya di atas batu, di samping tempatku mengaji. Karena…” Petuah Juju’ku tiba-tiba menggantung, aku mengerutkan kening tak mengerti.
“Karena apa, Ju’?” tanyaku penasaran.
“Karena di tengah laut, tepatnya di utara Toalang itu ada makam sesepuh kita.” Aku tercengang, menatap juju’ku lekat, bacaan fatehah kudengar samar-samar. Aku mengikutinya sampai selesai.
Aku kembali dirundung kebingungan. Di utara Toalang tak ada tanda yang menunjukkan adanya makam. Tetapi, aku iyakan nasehatnya. Sekelumit pertanyaan tak mungkin rasanya kuluapkan saat ini. Juju’ku harus istirahat. Pukul dua dini hari, ia sudah harus bangun, bermunajat sampai terbit matahari. Itu sudah menjadi kebiasaannya sejak muda.
Malam begitu gelap, pekat. Tiga tegal milik Man Sakib yang luas dan sepi harus kulewati dengan pelan dan hati-hati. Karena gelap bisa membuat kaki kita terpelosok pada lubang, gelap juga bisa membuat kita sukar membedakan aneka warna kehidupan. Kutelusuri jalan setapak dengan mata penuh awas, sesekali menunduk, lalu melihat lurus ke depan.
Dalam perjalanan pulang, di benakku, kisah masa lalu Toalang masih terbayang. Perihal bayi tak berdosa yang dibuang, dendam yang terpendam pada setiap kapal Bugis yang menyeberang, ditambah lagi dengan adanya makam di tengan laut yang membuatku cukup tercengang.
Memang, di daratan pinggir pantai Toalang terdapat bhuju’, namanya Bhuju’ Totale. Di sekitarnya tidak ada makam sebagai pertanda sebagaimana bhuju’-bhuju’ yang lain. Mungkin saja, apa yang disampaikan Ju’ Encung tadi adalah makam sesepuh Bhuju’ Totale. Tapi entah, mengapa harus ada di tengah laut? Perbincangan terus berkecamuk dalam diriku. Tanpa kusadari, langkah kakiku mulai gesit, pancaran sinar lampu dari arah rumahku menyingkap suasana gelap dengan percikan sinarnya melalui cela-cela rimbun pohon pisang.
“Besok pagi kita ke bhuju’. Aku ingin menunaikan nadzar karena barusan sapiku lahir dengan sehat dan selamat.” Ucap Nyé Atun, nenekku, seolah ia memang menunggu kedatanganku sejak tadi. Aku mengangguk. Kebingunan masih mengerubungi kepalaku.
Pamekasan, 11 Februari 2021
(Dibukukan dalam antologi bersama: Menjulang
Matahari yang diterbitkan oleh Rumah Literasi Sumenep)
0 Komentar