Judul Buku: Damar Kambang
Penulis: Muna Masyari
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan: Desember 2020
Tebal: 200
Genre: Fiksi Realis
ISBN: 978-602-481-456-4
Peresensi: Bintu Assyatthie
Damar kambang adalah novel perdana yang ditulis oleh Muna Masyari. Pada tahun 2017, namanya semakin mencuat di media, karena salah satu cerpennya yang berjudul “Kasur Tanah” dinobatkan sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas. Semua karya-karyanya merupakan fiksi realis yang mengungkap kearifan lokal Madura serta sisi mistis yang masih lekat dalam kehidupan masyarakat di tanah garam ini.
Novel Damar Kambang merupakan lanjutan dari cerpennya yang berjudul Matinya Damar Kambang dalam buku Martabat Kematian, 2019. Cerpen tersebut pernah dimuat di Suara Merdeka, 2012 dengan judul Kematian Damar Kambang. Kemampuan imajinasi penulisnya yang kuat dan tinggi dalam meramu hitam-putihnya kehidupan masyarakat Madura, sehingga membuat pembaca hanyut menikmati setiap alur ceritanya yang serba tak terduga.
Meskipun novel Damar Kambang adalah lanjutan dari cerpen yang ditulis sebelumnya, tetapi tokoh dan alur ceritanya berbeda. Sisi persamaannya terletak pada pentingnya damar kambang dalam ritual perkawinan. Terlepas itu mitos atau bukan, namun masyarakat Madura mempercayainya sebagai suatu ritual yang tak bisa diabaikan.
Muna Masyari memperkenalkan wajah Madura secara objektif, mulai dari sopan santun, sikap ta’dzim kepada guru, asas kekeluargaan yang masih kental, sampai pada sisi keras yang dikenal dengan adagiumnya “Lebih baik putih tulang dari pada putih mata”. Aktualisasi dari pepatah itu kadang dilakukan secara nyata dengan celurit sebagai senjatanya, atau lewat sesuatu yang tak kasat mata, seperti melalui perantara dukun untuk membalas dendam kesumatnya. Cara magis ini disebut “Angin Kiriman”, yang menjadi salah satu subjudul dalam novel Damar Kambang. (hlm. 69-101)
Perkawinan adalah sesuatu yang sakral dalam kehidupan manusia, termasuk bagi masyarakat Madura. Dalam melaksanakan ritual perkawinan di Madura, ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan sebelum laki-laki dan perempuan dinyatakan sah menjadi suami-istri. Salah satu yang menjadi awal munculnya konflik antara keluarga Cebbhing dan Kacong dalam novel Damar Kambang ialah pada prosesi mokka’ blabar, yaitu suatu tradisi yang menjadi penentu berhasil tidaknya pengantin pria memasuki pagar rumah pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah. Karena pihak keluarga Kacong (pengantin laki-laki) tidak membawa rumah hantaran, yang menjadi tradisi di desa keluarga Cebbhing, akhirnya perkawinan antara Kacong dan Cebbhing terpaksa digagalkan. Tidak mematuhi tradisi yang sudah mengakar kuat, hanya akan menjadi cibiran masyarakat setempat. Sehingga demi menyelamatkan diri dari rasa malu, Madlawi (Ayah Cebbing) bersikeras mengagalkan pernikahan anaknya, meskipun perayaan sudah digelar sedemikian rupa.
Kegagalan tersebut diyakini ada hubungannya dengan matinya damar kambang di kamar tempat Cebbhing berhias. Sebelumnya Ibu Cebbhing berpesan agar damar kambang jangan sampai mati, karena itu pertada kurang baik. Namun, tanpa disengaja, damar kambang sempat mati tiga kali, yang hanya diketahui oleh Cebbhing dan periasnya.
Penolakan secara tidak sopan dari keluarga Cebbhing menimbulkan bara api yang terus berkobar dalam hati Sakrah (saudara ayahnya Kacong yang sebenarnya adalah ayahnya sendiri atas hubungan gelapnya dengan sang ibunda). Namun, pembalasannya dilakukan secara magis dengan meminta bantuan pada dukun andalannya, yaitu Nom Samukrah. Berkat bantuannyalah, Cebbhing mendapat angin kiriman berupa panggilan-panggilan gaib yang membuat dirinya diliputi kerinduan pada Kacong. Panggilan itu begitu kuat menyeret Cebbhing hingga sampai ke rumah Kacong. Di situlah puncak pembalasan yang direncanakan Sakrah dianggap impas. Keperawanan Cebbhing direnggut dan saat Ayah Cebbhing datang dengan celurit di tangannya, ia tak bisa berkata apa-apa, karena Cebbhing datang dengan sendirinya bukan dijemput dengan paksa.
Madlawi meyakini apa yang menimpa anaknya ada campur tangan kekuatan gaib. Sehingga berbagai cara dilakukan untuk menyembuhkannya. Alternatif terakhirnya ialah menikahkan Cebbhing secara sirri dengan guru ngajinya (Ke Bulla) sebagai istri ketiga. Dengan gelang pemberian Ke Bulla yang dipakai oleh Cebbhing, ia manut tanpa ada kekuatan untuk memberontak. Di saat Cebbhing dinyatakan hamil, kabar pernikahannya tercium oleh Marinten, istri kedua Ke Bulla. Sejak itulah perbuatan mesumnya dengan Kacong terkuak bahwa anak yang dikandung bukan benih dari Ke Bulla, melainkan darah daging Kacong. Karena kenyataannya Ke Bulla dengan dua istrinya yang sudah menikah bertahun-tahun belum juga dikaruniai keturunan. Akhirnya, berbagai cercaan dari Marinten dilontarkan pada Cebbhing dan ibunya.
Cebbhing adalah korban dari kegagalan pernikahan disebabkan tidak adanya rumah hantaran, korban angin kiriman atas balas dendam dari pihak Kacong serta korban cercaan dari istri kedua suaminya sendiri.
Novel Damar Kambang memberikan kontribusi yang besar dalam khazanah sastra Madura. Dengan alur ceritanya yang rumit dan konfliknya yang sengit, Muna Masyari menarasikannya dengan sangat apik. Pembaca seolah diajak untuk mengenal lebih jauh tentang berbagai tradisi masyarakat di Madura. Dalam novel tersebut satu tradisi yang diangkat sebagai topik utamanya ialah damar kambang sebagai ritual perkawinan.
Namun di Madura, damar kambang bukan hanya ada pada acara perkawinan saja, tetapi juga dalam tradisi-tradisi tertentu, seperti kematian, memondokkan anak, selamatan awal anak mengaji ke langghâr dan lain-lain. Damar kambang tersebut juga menjadi pertanda baik burunya sesuatu itu. Kendati demikian, novel Damar Kambang memiliki daya pikat yang bersifat magis sehingga banyak pembaca yang terhipnotis dan merindukan karya-karyanya yang lain.
(Dimuat di JPRM, 13 Februari 2020)
0 Komentar