“Aku tak mengerti jalan pikiranmu. Kau pernah bilang,
adil itu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Menurutku, kau telah salah
menempatkan dirimu. Itu tidak adil. Sama sekali tidak adil. Kau harus mengambil
jalan yang tepat, jangan rendahkan dirimu seperti ini.” Kala itu, kau meluapkan
isi hatimu di tepi pantai dengan setitik air yang menetes dari kedua sudut
matamu.
Perahu
menuju pelabuhan Dungkek sudah mendarat. Para penumpang turun bergiliran.
Menunggu perahu kosong, aku diam menikmati desir angin dan gemuruh ombak yang
berbenturan. Beberapa saat kemudian, orang-orang mulai berarak menaiki perahu,
aku pamit pergi. Namun kau mencegahku, bersikukuh agar aku memikirkan ulang
keputusanku.
“Mae, ini
belum terlambat, jika kau berubah pikiran, semuanya akan menerimamu kembali,”
ucapmu sambil memegang lenganku. Tatapanmu sendu, segumpal harap bergantung
penuh haru. Namun, tak ada jawaban yang bisa kuberikan selain senyuman sebagai
salam perpisahan.
***
Pagi ini,
langit terlihat cerah, hujan tadi malam masih menyisakan basah pada tanah dan
dedaunan yang berserakan di jalanan. Aku berharap, hujan tak turun lagi hari
ini, agar ritual perkawinanku dengan Mas Rahman berjalan sempurna. Segala
kebutuhan telah dipersiapkan dengan matang dan beberapa tamu undangan sudah
mulai berdatangan memenuhi halaman.
Akad
nikah diikrarkan, tamu undangan khusyuk mendengarkan. Di dalam kamar yang
dihias sedemikian rupa, diperindah dengan taburan bunga berwarna merah, cahaya
lampu sengaja dibuat remang-remang, rasa bahagia menyeruak dalam dada. Menunggu
dia menemuiku, debar hatiku tak menentu. Ungkapan syukur kuucap diam-diam,
sebelum akhirnya kulabuhkan rinduku dengan tenang.
Setiap
sore, beberapa hari setelah menikah, dia memasang jaring ikan di air laut
setinggi dada, kami selalu menghabiskan waktu bersama di pesisir pantai yang
diiringi semilir angin dan kicauan burung Camar yang sesekali hinggap di dahan
cemara. Mas Rahman sering bertanya tentang alasanku mencintainya. Setiap kali
pertanyaan semacam itu keluar, sebanyak itu pula mulutku memilih bungkam, tak
punya jawaban. Satu-satunya yang kurasakan saat bersamanya adalah damai.
Bagiku, itulah ruh dari cinta. Dan aku selalu gagal membahasannya.
Pada suatu
malam, Mas Rahman memberikan sebuah pertanyaan yang berbeda dari biasanya.
Sehabis shalat Isya’ berjamaah di mushala depan rumah, tiba-tiba ia duduk di
sampingku dengan tatapan lembut dan suaranya terdengar halus.
“Jika suatu
saat nanti aku melakukan hal yang tidak kamu sukai, apakah kamu akan tetap
mencintaiku?” ucapnya pelan. Aku mengerutkan kening, mengendalikan jalan pikiran
yang kadang melangkahi nurani, ruang paling dekat dengan kebenaran.
“Tugasku
hanya mencintaimu, Mas, tak lebih dari itu.” Entah mengapa tiba-tiba Mas Rahman
bertanya seperti itu. Dekat kurasa, jawaban yang keluar dari ketulusanku
memberikan ketenangan tersendiri dalam diriku. Mas Rahman tersenyum simpul, aku
tidak bisa menerka apa yang berkelebat di pikirannya. Ia mengelus pundakku dan
pamit berangkat ke rumah Sudirman, memenuhi undangan selamatan untuk anak
pertamanya.
***
Usia
pernikahanku sudah hampir genap dua tahun. Pembicaraan tetangga mulai berisik
di luar sana. Kehidupan rumah tanggaku kini menjadi sorotan warga dan sering
diperbincangkan. Perihal Mas Rahman yang belum memiliki pekerjaan, keuangan
keluargaku yang sangat memprihatinkan, dan orang juga sering bicara bahwa aku
sebagai istri kadang kurang diperhatikan. Aku terus menguatkan diri. Bukankah
cinta mampu membuat kita tabah menghadapi keadaan?
Dari
dapur, aku mendengar Mas Rahman sedang berbicara dengan seseorang di teras
rumah. Akupun keluar untuk memastikannya. Setelah kutahu, aku kembali masuk ke
dapur, menyiapkan teh sebagai suguhan untuk Karman, tamu suamiku, teman dari
desanya.
“Silakan
tehnya dicicipi mumpung masih hangat,” ucapku, lalu kuambil posisi duduk di
dekat Mas Rahman.
“Terima
kasih, Mbak Mae,” jawabnya sambil lalu menyeruput teh hangat. Mas Rahman pun
demikian. “Begini, Mbak, rencananya saya ingin mengajak Rahman merantau, kerja
jaga toko di Bali. Soalnya istri saya sedang hamil, harus tinggal di rumah agar
bisa istirahat dengan tenang,” lanjut Karman. Awalnya aku senang, soalnya
mencari kerja itu susah. Kebutuhan keluarga semakin mendesak, sementara ikan
hasil tangkapan Mas Rahman tidak cukup sekalipun dijual semua. Tetapi, jawaban
dari dari Mas Rahman di luar dugaanku.
“Maaf,
Man, saya tidak bisa kerja jauh dari rumah. Bawaannya tidak kerasan. Mau kerja
di sini saja, meski hasilnya tak seberapa.” Mas Rahman seolah meyakinkanku
bahwa rezeki sudah diatur. Aku tersenyum mengiyakan.
Perbincangan
dengan Karman membawa tanya dalam diriku. Mas Rahman yang dari dulu mendambakan
pekerjaan agar dapat penghasilan, kenapa justru menolak tawaran Karman yang
hasilnya cukup menggiurkan. Iseng-iseng, aku bertanya setelah Karman pamit
pulang dan dua cangkir teh sudah kubereskan.
“Mas
yakin menolak tawaran tadi? Bukannya dari kemarin kita memang mencari pekerjaan?”
Aku berusaha menyampaikannya dengan lembut, tak ingin Mas Rahman tersinggung
dengan pertanyaanku.
“Iya
Mae. Setelah kupikir-pikir, sepertinya lebih baik kita tetap di sini,” jawabnya.
Di kepalaku masih menumpuk tanya dan aku sengaja memilih membiarkannya.
“Baik,
Mas. Aku sekalian pamit mau beli beras ke depan dan menjengguk anaknya Mbak
Tatik yang baru pulang dari rumah sakit.” Saya tetap tersenyum menanggapi sikap
Mas Rahman yang terlihat beda. Aku memaklumi, meski tak bisa kututupi ada resah
yang bergumul di dalam diri.
Sampai
di rumah Mbak Tatik, semua mata melirik ke arahku. Aku sapa mereka dengan senyum dan salam, kemudian
aku dipersilakan masuk menemui anaknya yang masih terbaring lemas. Jujur, aku
risih dengan tatapan mereka tadi, adakah yang salah denganku? Penampilanku
masih seperti yang dulu, tak ada perubahan. Tapi biarlah, mereka mengekspresikan
pemahamannya tentangku, mungkin juga tentang keluargaku.
Saat
kuberanjak pulang, di pintu gerbang rumah Mbak Tatik, Suhna, teman sejak SMP
menyapaku dengan sebuah pertanyaan.
“Mae,
kamu baik-baik saja?” Suhna menatapku seperti mencari sesuatu. Aku tak mengerti
maksud dari pertanyaanya.
“Iya,
aku baik-baik saja. Memangnya ada apa?” tanyaku kemudian. Rasa penasaran
seperti tak mampu kutahan. Wajah Suhna menaruh tanya yang tak berkesudahan.
“Aku
tidak tahu, apakah aku salah menyampaikan ini ke kamu, Mae.” Suhna diam
sejenak. Pikiranku berjalan kemana-mana. Lalu, Suhna mengajakku duduk di sebuah
gardu pinggir jalan dan menceritakan semua tentang Mas Rahman dengan Mbak Rum,
sepupuku sendiri. Sudah banyak yang tahu hubungan mereka. Selama ini, aku memang
curiga, meski aku selalu diam, menikmati cinta dan berusaha memuliakannya.
Ketika
sampai di rumah, Mas Rahman menyambutku dengan senyum hangat. Aku membalasnya
dengan mencium tangannya. Itu salah satu caraku meredam amarah. Cinta yang
tumbuh dalam diriku tak ingin kunodai dengan kata-kata kotor, karena cinta itu
suci dan mulia. Ia hadir tanpa syarat.
***
“Suamimu
itu keterlaluan, Mae. Sudah kurang memberikan nafkah, masih saja bermain gila
dengan perempuan lain. Itupun sepupumu sendiri,” Ibu naik pitam mendengar
tingkah Mas Rahman yang menjadi buah bibir warga. Aku diam tak menanggapi. Aku mengerti
perasaan ibu, meski dalam hal ini, ibu gagal memahami perasaanku.
“Pokoknya
suamimu harus pergi dari sini. Ibu dan bapakmu tidak ingin lagi melihat dia di
rumah ini,” tegas ibu lalu berlalu keluar pintu. Aku yakin, Mas Rahman
mendengar perkataan ibu dari dalam kamar. Buru-buru, kuhampiri ibu dan
bersimpuh di depannya.
“Aku
mengerti perasaan Ibu. Tapi, kalau Mas Rahman harus angkat kaki dari sini,
izinkan aku ikut menemani.” Dengan lembut dan penuh hormat kuluapkkan
perasaanku pada ibu.
“Kamu
gila, Mae. Diguna-guna sama si Rahman? Sudah tahu suami selingkuh, masih saja
manut,” Suara ibu semakin tegas, nada semakin tinggi.
“Tapi
aku mencintai Mas Rahman apa adanya, Bu. Ini adalah bagian dari kenyataan yang
harus aku terima.” Sebisa mungkin aku meyakinkan ibu. Tetapi, aku masih melihat
kekecewaan yang mendalam dan perasaan kalut di wajah ibu yang mulai keriput.
Keesokan
harinya, di siang yang cukup menyengat, aku menyusul Mas Rahman ke pulau
seberang yang sudah meninggalkan rumah sejak pagi tadi.
***
Di
antara kerabat yang lain, kau yang paling sering menghubungiku sejak aku memutuskan
untuk pergi meninggalkan pulauku sendiri. Kau pernah datang ke rumah mertuaku,
mengabariku tentang tingkah Mas Rahman yang masih saja seperti dulu. Kau ingat,
senyumku masih utuh menanggapi ceritamu.
“Apakah
kamu tidak sakit hati? Kenapa kamu selalu diam diperlakukan sekenanya seperti
ini? Aku juga sepupumu, sama seperti dia. Membayangkan nasibmu, aku yang justru
membencinya,” ungkapmu penuh kesal.
“Cinta
itu menenangkan dan mendamaikan, Rus. Apapun yang terjadi pada Mas Rahman,
sedikitpun tak merubah cintaku padanya. Cinta yang ada dalam diriku masih utuh
seperti semula.” Kau menggelengkan kepala. Tak banyak orang yang setuju dengan
jalan pikiranku. Kau tentu salah satu di antaranya.
Entahlah,
apakah aku terlalu sederhana memandang hidup? Kenapa orang-orang menganggapku
lemah di saat aku mampu bertahan? Aku tak peduli Mas Rahman mencintaiku atau
tidak, karena yang terpenting bagiku, bagaimana cintaku selalu ada untuknya,
sampai kapanpun dan dalam kondisi apapun.
Di seberang
pulau yang terbentang luas, hujan turun cukup deras. Ombak menghantam batu
karang dengan ganas, namun batu itu tetap kokoh, dan aku menatapnya dengan
ikhlas. Perahu di tengah lautan
berjibaku melawan arus, mengingatkanku pada awal cinta itu tumbuh. Di atas
perahu dalam perjalanan dari pelabuhan Dungkek menujuku pulauku yang kecil, dia
menyapaku dengan tulus. Sejak itu, aku tak ingin mengenal kata putus.
Di kursi teras rumah, kulihat Mas Rahman sedang asik telponan. Sesekali tertawa dan lebih sering suaranya dipelankan. Aku urung menghampirinya, langkahku menuju ke arah dapur, menyiapkan kopi hangat dan memasak makanan kesukaannya. Di meja makan sudah terhidang aneka menu makan siang. Aku menunggu Mas Rahman menyelesaikan urusannya agar bisa makan bersama.
Totale, 20 Januari 2022

0 Komentar