sumber: http://www.ayomondok.net/ |
Suatu sore, pada saat acara kajian keagamaan di asrama (tempat tinggal saya selama kuliah), saya dikagetkan oleh sebaris kalimat yang diungkapkan ketua panitia dalam sambutanya. Bunyi kalimatnya seperti ini: “Secara resmi, asrama kita ini telah berubah menjadi pesantren!”. Ungkapan tersebut disambut dengan tepuk tangan yang meriah oleh semua teman-teman. Seketika, saya baru sadar kalau banner yang terpampang di atas panggung sudah tertulis jelas: Pondok Pesantren bukan lagi Asrama. Semudah itu? Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba saja muncul dipikiran saya.
Salah
satu teman yang duduk tepat di sebelah saya berucap:
“Sepertinya, asrama kita ini akan lebih
diminati
banyak orang ke depannya”. Teman
yang lain menimpali: “Alih status menjadi pesantren, agar asrama ini memiliki identitas resmi,
dan itu tidak bisa jika diatasnamakan asrama, harus pesantren”. Aneh, bukan? Namun di tengah keanehan yang membingungkan ini,
saya
mencari satu titik yang tersirat di balik sebuah nama: pesantren.
Saya
teringat dawuh guru saya dulu: “Mendirikan pesantren itu tidak mudah, memerlukan
proses panjang, karena dalam pesantren ada amanah dan tanggung jawab besar terhadap
umat”. Jujur,
sampai saat ini saya tidak berani mengatakan tempat itu adalah pesantren. Karena menurut saya, ini persoalan ideologi,
bukan sebatas pengalihan nama dari
asrama manjadi
pesantren. Pesantren menjadi sangat naif, jika hanya digunakan sebagai kedok untuk diakui secara formalitas, lebih
tersohor di kalangan masyarakat,
lebih banyak peminatnya dan seterusnya. Secara esensial, pesantren tidak berhenti
hanya pada sebuah nama, tetapi yang terpenting ialah sistem dan proses yang dijalankan sesuai dengan nilai-nilai
dan prinsip pesantren itu sendiri.
Pesantren
Bukan Ajang Bisnis
Bapak
Marno dan Ibu Suti lengkap dengan satu anak perempuannya, Nurti, datang menemui
saya beberapa bulan yang lalu. Sebagaimana umumnya, setiap orang tua memiliki
harapan yang besar terhadap anak-anaknya. Anak adalah aset berharga dan amanah
yang Tuhan titipkan bagi orang tua. Dengan sejuta harapan yang melekat dalam hati
kedua orang tua itu. Pak Marno berkata: “Nak, saya ingin anak saya masuk pesantren
ini, tapi katanya saat ini pendaftaran belum dibuka!” Ungkapnya sambil menunjuk brosur yang ia dapat entah
dari mana. “Mungkin kamu bisa bantu, Nak?” Bu Suti menimpali dengan pertanyaan penuh
harap, saya dapat membantunya. “Iya Bu, saya akan bantu!” Jawab saya singkat.
Di
brosur tertulis: “Akan menerima santri sebanyak 30 orang”. Tepat hari ketiga
pendaftaran dibuka, saya lihat sudah 23 nama yang tercatat dalam buku daftar
anggota. Akhirnya, saya menghubungi Pak Marno via telepon, sekedar
memberi tahu kalau pendaftaran sudah dibuka tiga hari yang lalu, dan telah
banyak yang mendaftar. “Iya Nak, saya akan usahakan segera ke sana untuk
mendaftarkan Nurti. Nitip nama aja dulu, Nak, soalnya satu dua hari ini saya
belum bisa ke sana, masih kerja ngumpulin uang untuk biaya pendaftaran dan
biaya pesantren!” Ungkap Pak Marno panjang lebar.
Keesokan
harinya, saya menemui salah seorang pengurus asrama, sebagaimana pesan Pak
Marno, saya mau nitip nama “Nurti” sebagai naggota baru asrama di tahun ini. Namun,
harapan memang tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Terkadang kenyataanpun begitu
pahit untuk dinikmati oleh orang setulus Pak Marno. “Maaf Mbak, di sini tidak
diperbolehkan menitip nama. Sekarang sudah 27 santri yang terdaftar. Kami tetap
lebih memprioritaskan yang datang mendaftar ke sini lengkap dengan persyaratan
yang dibutuhkan, dari pada sekedar menitip nama. Sekali lagi mohon maaf Mbak,
kami tidak dapat menerima!”.
Sayapun
membaca beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya: mengisi
formulir, fotocopy kartu keluarga, fotocopy KTP dan rincian pembayaran dengan nominal
yang cukup besar bagi keluarga yang kapasitas ekonominya seperti Pak Marno.
Akhirnya, kenyataan pahitpun diterima olehnya. Nurti, anak satu-satunya yang
selalu ia banggakan, gagal menjadi anggota asrama (yang dikasih label
pesantgren, dan memilih menimba ilmu di (benar-benar) pondok pesantren yang tentu sangat bersahabat dengan isi
kantong Pak Marno.
#####
Saya
kira, cerita di atas cukup menjadi analogi untuk membedakan antara asrama dan
pesantren. Kita tidak bisa memungkiri bahwa asrama dan pesantren merupakan dua
tempat dengan substansi yang berbeda. Asrama ya asrama, dan pesantren ya
pesantren. Keduanya memiliki karakteristik masing-masing. Asrama hanya terbuka
bagi kalangan kapitalis dan golongan masyarakat yang tingkat ekonominya
menengah ke atas. Sementara pesantren selalu menjadi wadah bagi siapa saja yang
berhasrat menuntut ilmu, terlepas ia dari golongan konglomerat ataupun kaum
yang melarat. Karena sejatinya, pesantren bukan ajang bisnis, tetapi ajang
mencari ilmu dengan mengharap ridha Allah swt.
Asrama
Dibalik Nama Pesantren
Tidak
semudah membalikkan telapak tangan, mengubah status asrama menjadi pesantren.
Ini bukan permainan sulap, yang dalam sekejap mata asrama disulap menjadi
sebuah pesantren. Secara konseptual, keduanya tidak dapat disamakan begitu
saja, meski sama-sama merujuk pada tempat tingga tetap dalam jangka waktu
tertentu.
Asrama
merupakan bangunan tempat tinggal bagi sekelompok orang dengan kepentingan tertentu:
sekolah, kuliah, kursus atau tempat bagi ajang pencarian bakat. Secara fisik,
bangunan asrama terdiri dari sejumlah kamar yang dipimpin oleh ketua sebagai leader
yang mengatur seluruh kegiatan agar tujuan yang telah ditetapkan, dapat
tercapai dengan baik. Namun, program kegiatan dalam sebuah asrama hanya
dikhususkan bagi anggota asrama itu sendiri tanpa melibatkan masyarakat sekitar
untuk ikut berpartisipasi: menyaksikan, mengkritisi ataupun memberi pendapat.
Sementara di pesantren, kegiatan yang dilaksanakan selalu menyatu dengan
masyarakat sekitar tempat pesantren itu tumbuh dan berkembang. Karena, keduanya
(pesantren dan masyarakat) memang dua hal yang inhern dan saling
melengkapi satu sama lain.
Asrama
bisa dibangun oleh siapa saja, asal ia punya modal yang cukup dan kesanggupan
untuk mengelola dengan baik. Bagaimanapun asrama merupakan ajang bisnis di
tengah maraknya industrialisasi yang semakin ganas dengan harga yang cukup
mencekik masyarakat bawah. Sedangkan pesantren, tidak semua orang dapat
mendirikannya, kecuali orang-orang dengan jiwa religius yang tinggi serta
akhlak mulia yang dapat diteladani oleh seluruh umat. Orang yang semacam itu,
dalam bahasa kita disebut dengan kiai atau paling tidak santri yang telah bertahun-tahun
mengabdi pada sebuah pondok pesantren. Ilmu dan spiritualitasnya, tentu tidak
dapat diragukan lagi.
Memiliki
banyak modal saja tidak cukup untuk membangun sebuah pesantren. Karena dalam
prosesnya, pesantren dibangun setelah si empunya melakukan tirakat-tirakat
(perjalanan batin) dalam rangka meminta petunjuk kepada Allah swt. agar
pesantren yang hendak dibangun menjadi tempat yang benar-benar diridhai
olehNya.
Selain
itu, pesantren memikul tanggung jawab dalam memperbaiki akhlak yang
diaktualisasikan dalam berbagai kegiatan dan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari.
Buktikan saja, jika kita mendengar kata santri, maka yang ada dibenak kita
ialah tingkah lakunya halus dan tutur katanya lemah lembut serta berbagai sikap
baik menjadi label tersendiri bagi sosok santri. Maka, benar dawuh guru saya,
sebagaimana quote di atas: “Mendirikan pesantren itu tidak mudah,
memerlukan proses panjang, karena dalam pesantren ada amanah dan tanggung jawab
besar terhadap umat”.
Persoalannya
sekarang, apakah asrama yang beralih status menjadi pesantren telah memenuhi
kriteria yang harus ada pada pesantren? Sungguh sangat disayangkan, jika
pesantren hanya menjadi kedok dari sebuah nama untuk menutupi berbagai aktivitas
yang justru bertentangan dengan nilai-nilai pesantren itu sendiri. Menurut
saya, lebih baik menggunakan nama asrama dengan ruh pesantren, dari pada membawa
nama pesantren yang bersubstansi asrama. Wallahu a’lam!
Totale, Februari 2017
0 Komentar