Dalam
kajian ekologi alam, bumi memang lebih dinilai sebatas makhluk yang pasif dan
reseptif yang tak lain merupakan representasi dari karakter feminim yang
melekat pada diri perempuan. Beda halnya dengan laki-laki yang dalam kajian
ekologi disandingkan dengan langit sebagai karakter maskulin yang cenderung
superior. Oleh karenanya, perempuan dan laki-laki harus diposisikan
seadil-adilnya demi makmurnya kehidupan.
Perempuan dan bom, bila salah
penanganan sama-sama bisa meledak, kata Yuditeha, cerpenis asal Sragen Jawa
Tengah. Saya menemukannya di buku kumpulan cerpennya yang berjudul Filosofi
Perempuan dan Makna Bom, yang saya baca beberapa hari yang lalu. Bagi saya,
ungkapan itu menarik untuk dikaji lebih serius dalam rangka menampilkan citra
perempuan yang lebih utuh, terutama dalam struktur budaya patriarkis.
Budaya ini, menjadikan perempuan dan
alam, sama-sama sebagai sebuah objek yang rawan dieksploitasi. Keduanya sering
mendapat perlakuan tidak adil, dalam ekosistem sosial yang dirancang atas dasar
hegemoni laki-laki. Padahal tanpa perempuan (yang solehah) dan alam (yang
lestari), tak akan ada kehidupan (yang berkah). Sekali lagi, keduanya merupakan
urat nadi alam semesta yang memiliki karakteristik dan muatan sifat-sifat jamaliah-Nya.
Kelembutan, kasih sayang dan suka memberi
yang melekat pada kepribadian perempuan, sebagaimana pula alam semesta, sebagai
sumber penghidupan bagi umat manusia. Kebutuhan manusia akan alam, begitupun
sebaliknya, menunjukkan bahwa keduanya (manusia dan alam) ibarat dua sisi mata
uang yang tak bisa dipisahkan. Namun, interaksi antara dua makhluk Tuhan ini,
tidak selamanya harmonis. Ada perilaku diskriminatif terhadap alam yang
dilakukan oleh sekelompok kapitalis, dan perempuan yang dilakukan oleh penganut
patriarkis. Keduanya (perempuan dan alam) merupakan dua entitas yang berpotensi
menimbulkan ledakan sosial yang dahsyat, bila tidak diperlakukan dengan adil.
Silakan diperhatikan, kasus-kasus
terkait krisis lingkungan, mulai dari berkurangnya sumber air rakyat, sampah
dan limbah industri, menyempitnya lahan pertanian dan hutan, banjir dan tanah
longsor, sudah berada pada level yang tidak bisa ditoleransi. Lalu bersamaan
dengan semakin meningginya kasus-kasus pelecehan seksual dan kekerasan terhadap
perempuan, ditambah dengan penyekatan ruang gerak mereka di wilayah-wilayah
tertentu, seolah menunjukkan bahwa perilaku tidak adil terhadap dua entitas
ini, sudah sangat mengakar dalam tata nilai kebudayaan kita.
Kesamaan nasib yang dialami oleh perempuan dan alam, semakin membuat keduanya tak bisa dipisahkan. Artinya, upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dalam menjaga dan menata ulang demografi alam yang sudah rusak, sangat naif apabila mengesampingkan peran perempuan. Lebih tegas lagi, alam harus diperlakukan seperti perempuan di malam pertama, yang selalu mendapat sentuhan-sentuhan kelembutan dan penuh cinta, tanpa ada keinginan untuk menyakiti, apalagi merusak.
Perempuan
dan Krisis Ekologi
Nenek
saya usianya kurang lebih tujuh puluh-an ke atas. Setiap hari, tak pernah absen
pergi ke ladang, sawah ataupun pantai. Kebetulan, tempat tinggal kami di
pesisir pantai Totale, tepatnya di pojok timur pulau Madura. Mengakrabi alam
dengan segala kekayaannya adalah aktivitas kaum perempuan mulai dari mengurus persoalan
domestik sampai pada mata pencaharian utamanya, yaitu bertani. Bagaimana nasib
pertanian tanpa peran perempuan? Saya pribadi tidak bisa membayangkannya.
Luasnya lahan pertanian yang kami
miliki, menyita banyak waktu dan tenaga dalam mengurus agar tetap terjaga
keasriannya. Jelas dalam hal ini, nenek saya yang lebih banyak berperan dalam
menjaga dan merawat lahan pertanian dari pada kakek. Nenek lebih telaten, meski
harus merampungkan terlebih dahulu pekerjaan dapur dan rumah. Menyiapkan
kebutuhan suami sebelum berangkat kerja, menyediakan sarapan buat keluarga, bagi
saya, sungguh bukan hal yang mudah. Mungkin saja, laki-laki tidak mampu
melakukannya. Inilah salah satu kelebihan perempuan yang patut kita akui.
Bentuk keakraban dengan alam juga ditampakkan
dari kebiasaan kaum perempuan dalam menanam aneka tanaman, baik sebagai makanan
atau sekadar untuk memperindah teras rumah. Nenek saya biasa menanam pohon
pisang, pohon kelor, cabbi jamu dan lain-lain. Di musim kemarau, setiap
pagi secara rutin menyiram dan merawatnya dengan sabar. Saya yakin, bukan hanya
karena hasil yang diperoleh dari aktivitas tersebut, melainkan lebih pada
menjaga tanah agar tetap subur. Bahkan kerap saya mendengar, nenek saya
mengungkapkan kerinduan pada ladang/tegalan yang lama tidak dikunjungi. Saya
hanya membatin, betapa hubungan nenek dan tanahnya begitu kuat.
Cerita tersebut memberikan sebuah
hikmah, betapa perempuan yang sering dianggap lemah, menempati kelas kedua
dalam tatanan kehidupan sosial, sebenarnya adalah sosok yang memiliki power tinggi
dalam memakmurkan bumi dan seisinya. Mindset masyarakat tentang
perempuan sebagai gender kedua tampaknya memang sudah mendarah daging, sehingga
tak ayal jika dari waktu ke waktu tetap lahir generasi yang justru semakin melanggengkan ketidakadilan terhadap kaum perempuan.
Tugas manusia pada umumnya, selain
sebagai hamba ialah sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi. Hamba
adalah posisi di mana manusia mengabdikan diri hanya kepada Tuhan dengan
melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya. Sedangkan sebagai khalifah
manusia memiliki tanggung jawab secara horizontal baik dalam menjalin hubungan
dengan sesama maupun alam semesta. Tanggung jawab ini hendaknya disadari
bersama, agar berjalan secara proporsional sesuai dengan nilai-nilai agama.
Krisis ekologi yang merebak pada
persoalan agraria menjadi persoalan sengit yang secara tidak langsung mempersempit
ruang gerak ke-khalifah-an perempuan dalam merawat alam. Karena
kedekatan alam dan perempuan juga dilihat dari aktivitas pertanian yang
mayoritas dilakukan oleh mereka. Selain untuk memenuhi kebutuhan pokok,
bercocok tanam juga sebagai upaya melestarikan bumi agar selamat dari segala
bentuk kerusakan. Karena, berapa pun besar kasih sayang bumi pada manusia, ia
juga memiliki sisi buruk berupa kemurkaan, seperti tsunami, gempa, longsor dan
lain-lain.
Diakui atau tidak, kedekatan manusia, khususnya perempuan, sebagaimana yang dirasakan oleh nenek saya, tampaknya sudah terkikis zaman. Tidak banyak perempuan yang bersedia menjadi generasi penerus sebagai petani yang sehari-harinya selalu setia mendatangi sawah dan ladang. Ada jarak yang sengaja dibangun sehingga perempuan dan alam tidak lagi berdekatan, melupakan esensi dirinya sebagai ibu yang harus memberi dengan penuh kasih tanpa mengharapkan apa-apa. Kesadaran akan istilah ibu bumi perlu diinternalisasikan ulang, karena peran aktif perempuan sejatinya adalah ruh kemakmuran alam semesta.
Perempuan
sebagai Ibu Bumi
Semua sepakat bahwa ibu adalah sosok
individu yang penuh cinta, lembut, tulus, perhatian dan seterusnya. Ibu yang
selalu memberi tanpa jasa, berjuang tak kenal lelah, dan berkorban demi buah
hati tercinta. Cinta seorang ibu itu suci, bahkan ibu adalah cinta itu sendiri.
Dari penjabaran tersebut, dapat dilihat persamaan antara perempuan dengan alam.
Bumi dengan segala kekayaan yang tumbuh di atasnya, adalah ibu bagi manusia. Dari
rahim bumi itulah manusia hidup, berkembang dan kemudian kembali ke asalnya yang
semula.
Ibu bumi adalah istilah sebagai bentuk
aktualisasi dari persamaan sifatnya dengan perempuan. Itu pula yang melatarbelakangi
keduanya menempati posisi lemah di bawah hegemoni kapitalisme. Kerusakan alam tidak
bisa dilepaskan dari sikap apatis manusia terhadap kesuburan dan warna hijau
bumi sebagai lambang kesejukan. Menanamkan kesadaran ibu bumi bagi manusia,
utamanya perempuan bisa menjadi solusi konstruktif dalam menyikapi problematika
alam yang semakin hari semakin memprihatinkan.
Bumi bukan hanya tempat kita berpijak, tetapi bumi adalah ibu yang telah mengandung, melahirkan, dan membesarkan kita dengan ikhlas. Itulah metafora ibu bumi sebagai sosok yang punya jasa besar dalam kehidupan manusia sebagai buah hatinya. Lebih dari itu, perempuan sebagai sosok ibu diberikan potensi yang lebih besar untuk dapat akrab dengan alam. Namun, potensi itu perlu diaktualisasikan melalui proses pendidikan terutama dalam lingkungan keluarga.
Melihat peran penting perempuan dalam menata alam, keduanya nyaris hidup berdekatan dan tak bisa dipisahkan. Ning Iffah Hannah, founder Komunitas Perempuan Membaca pada saat mengisi acara Gusdurian di Sumenep, pernah menyinggung tentang ini dalam sebuah ungkapan, “Jika bagian dari bumi ini terluka, maka (seharusnya) bagian dari tubuh kita yang berdarah.” Melihat besarnya luka yang diderita semesta, seberapa banyak darah yang mengalir dari tubuh kita?
(Esai ini pernah dimuat di Majalah New Fatwa PP. Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan, edisi 20, terbit Maret 2022)
0 Komentar