Semua ini berawal dari kekhawatiran Ayah dan Ibu. Setelah bertahun-tahun mengasuhku dengan cinta kasih, kini memaksaku masuk ke kubangan luka yang berujung perih. Sejak itulah aku telah menganggap diriku mati. Dan kuucapkan selamat berduka cita untuk diriku sendiri.
Janur kuning yang melengkung di halaman rumah tengah mengabari kematianku. Di kursi pelaminan yang dihiasi bebungaan yang indah dan menawan, aku melihat kedua orang tuaku sedang menaburi bunga tujuh rupa di atas pusaraku yang masih basah.
Entah apa yang berkelebat di benak mereka. Aku merasa hidupku telah binasa. Sebelum ajal datang sesuai perintah, mereka telah lebih dulu merampas kebebasanku sebagai remaja yang masih ingin sekolah.
Apa yang pantas dibahagiakan dari pesta yang hanya pura-pura? Apa pula yang patut dibanggakan dari orang tua yang hanya mewariskan luka?
Dari sekian banyak tamu undangan yang datang, aku menjumpai satu sorot mata yang menatapku penuh iba. Di antara yang lain, hanya dia yang mengenakan pakaian sederhana, duduk sendirian di kursi paling belakang. Ingin sekali aku menghampirinya, bercerita tentang rasa duka yang kualami. Namun, siapakah dia? Kenapa dia seolah dapat menyentuh perasaanku begitu dalam?
***
Namaku Sekar Arum. Aku baru saja lulus sekolah menengah pertama. Usiaku lima belas tahun berjalan. Aku ingin melanjutkan pendidikan pada jenjang berikutnya seperti teman-temanku yang lain. Di antara mereka ada yang sudah mendaftar ke SMA ternama di kota, sebagian ada yang memilih masuk ke pesantren. Tinggal aku yang belum ada kejelasan, menunggu Ayah dan Ibu memberi keputusan.
“Jadinya kamu mau lanjut sekolah ke mana, Rum?” tanya Nila, teman karibku. Rupanya ia sudah mendaftar ke pesantren.
“Ayah dan Ibu masih belum memberikan jawaban, Nil,” jawabku seadanya.
Jujur, aku mulai resah saat ada tamu yang berkunjung ke rumah sore itu. Ayah dan Ibu memperkenalkanku pada mereka. Tanpa diminta, Ibu bercerita banyak tentangku, tentang kebaikanku. Aku tak mengerti. Baru kali ini Ibu sangat menyanjungku di depan para tamunya.
“Arum, ini Bapak Karman dan ini Ibu Surti. Mereka saudaranya Pak Lurah. Dan itu Nak Adi, anak Bapak Karman dan Ibu Surti.” Ibu menyebutkan nama tamunya satu persatu. Mereka semua tersenyum padaku.
Aku pamit ke kamar sebelum mereka beranjak pulang, aku mengintip dari balik jendela. Dari awal aku sudah curiga, ada hal serius yang sepertinya sedang mereka dibicarakan. Aku mendengar kata perjodohan kemudian pernikahan yang akan dilangsungkan dalam waktu dekat. Apakah aku yang Ayah dan Ibu dimaksud? Tidak! Aku tidak mau menikah! Aku masih mau sekolah!
Tiba-tiba kegelisahan hatiku membuncah. Aku hampir tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Ayah dan Ibu telah menerima lamaran orang untuk segera menikahiku. Apakah ini keputusan yang waras? Aku yang baru saja lulus SMP masih ingin melanjutkan pendidikan, masih mau meraih cita-cita, namun harus dipaksa masuk pada kehidupan yang sama sekali belum pernah terlintas di pikiranku.
Sebelum ini, aku pernah mendengar Ayah dan Ibu berbincang di ruang tengah. Mereka sedang membicarakan perihal berita yang tersebar tentang Tini, tetangga di komplek sebelah yang ketahuan hamil di luar nikah. Beberapa hari setelah itu, Ratih, anak Pak Carek kepergok sedang berduaan dengan seorang pria di salah satu hotel lokal kota ini. Kabar itu membuat Ibu mengkhawatirkanku. Sehingga ia bersikeras untuk segera mengubah statusku.
Mungkin ini juga alasannya mengapa mereka tidak menjawab saat kutanya ke mana aku harus melanjutkan sekolah. Berkali-kali kutagih jawaban itu, Ayah dan Ibu selalu bergeming.
Sama sekali aku tidak tahu soal perjodohan ini. Aku merasa masa depanku telah dirampas oleh orang tuaku sendiri. Aku takut pada apa yang akan terjadi. Seketika kegetiran merasuki sekujur tubuhku hingga aku tak mampu berjalan keluar menghampiri Ayah dan Ibu. Aku terduduk lemas di lantai, tulang belulangku terasa lunglai.
Tak lama setelah itu, aku mendengar Ayah dan Ibu memanggilku. Aku sudah bisa menduga apa yang hendak mereka katakan. Aku berusaha menenangkan diri agar tubuhku tak lemas lagi. Saat kubuka pintu kamar, kekhawatiran demi kekhawatiran kembali menguasaiku. Aku memejamkan mata beberapa saat kemudian berjalan pelan mendekati mereka.
“Rum, Ayah dan Ibu sudah menyiapkan yang terbaik untuk masa depanmu. Melihat kenyataan di luar yang memprihatinkan tentang perempuan, Ayah dan Ibu ingin menjodohkanmu dengan Nak Adi, keponakan Pak Lurah yang tadi ke sini.” To the point Ayah menyampaikan maksudnya dengan sangat pelan. Namun bagiku, kata-kata itu seperti belati yang perlahan menancap ke ulu hati.
“Iya Rum. Ibu selalu khawatir melihat kamu tumbuh menjadi remaja. Hampir setiap malam Ibu susah tidur memikirkan nasibmu ke depan. Ibu tidak mau menanggung malu jika hal buruk sampai terjadi padamu. Ibu takut. Arum mau kan mengikuti keinginan Ayah dan Ibu?” Ibu bertanya sembari menatapku. Dadaku sesak. Aku yakin itu bukan pertanyaan yang memberikan ruang bagiku untuk memilih, melainkan keharusan agar aku menyetujui.
“Jika diperbolehkan memilih, Arum belum siap menikah, Bu! Arum masih ingin sekolah. Arum masih ingin mengejar cita-cita.” Aku menunduk, sesekali kuseka air mata yang hampir jatuh. Ayah dan Ibu seperti beradu tatap, kemudian menanggapi pernyataanku secara bergiliran.
“Sebenarnya Ayah dan Ibu sudah menjodohkanmu dengan Nak Adi sejak kamu masih kecil. Kami punya ikatan akan menikahkanmu kalau sudah cukup waktunya. Dari keluarga Nak Adi menginginkan pernikahan segera dilaksanakan. Kami merasa waktunya sudah sampai. Makanya, Ayah dan Ibu berharap kamu tidak mengecewakan kami. Nak Ardi orang baik, dia pasti bisa memberikan yang terbaik untukmu dan masa depanmu.” Perkataan Ayah pelan-pelan membuatku tersuruk di rumah ini.
“Ayahmu benar, Rum. Hidup kami akan tenang ketika kamu sudah menikah. Soal sekolah dan cita-cita, itu bisa dipikirkan nanti.” Ibu menimpali. Aku tak diberi kesempatan untuk mengeksekusi hidupku sendiri.
“Arum tidak mau menikah!” ucapku dengan nada sedikit keras.
“Pernikahan akan tetap dilangsungkan. Ibu dan Ayah sudah menyepakati dengan keluarga Nak Adi.”
“Arum tidak mau, Bu! Yah, Arum belum siap menikah. Arum mau sekolah.” Aku berteriak di hadapan mereka hingga membuat air mataku tumpah seketika.
“Dulu Ayah dan Ibu menikah di usia muda, sama sepertimu sekarang. Tapi kami bisa hidup bahagia.” Ibu menanggapi pernyataan Ayah dengan anggukan, lalu menatapku dengan tatapan yang sulit kutafsirkan.
“Zaman kita berbeda, Yah. Tidak bisa disamakan begitu saja.”
“Arum! Tidakkah kamu bersyukur punya orang tua seperti kami? Meski kami...” Tiba-tiba Ibu terhenti sebelum menyelesaikan ucapannya. Aku mengerutkan kening. Lagi-lagi Ayah dan Ibu beradu pandang.
“Maksud Ibu, meski kami bukan orang tua yang baik buat kamu. Tetapi, kami ingin memberikan yang terbaik dalam memilihkan jodoh untukmu. Betul kan, Bu?” Ayah mengambil alih dan seolah tahu betul apa yang ingin Ibu katakan. Kulihat Ibu tersenyum. Aku seperti menangkap ada sesuatu yang sengaja mereka sembunyikan.
Aku tak punya pilihan. Sejak obrolan itu, hari-hariku dilumuti pertanyaan-pertanyaan yang mengusik ketenangan batinku. Aku rindu rasa bahagia sebagaimana anak remaja pada umumnya. Kebahagiaan yang sering kudapati saat masih sekolah. Bersama teman-teman sepermainan aku sering tertawa dan bersuka ria.
Sekarang, semua itu tinggal kenangan. Aku ditarik masuk ke dunia dewasa dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Ayah dan Ibu begitu berkuasa atas diriku, bahkan hidupku. Lalu, kepada siapa aku hendak mengadu? Di rumah ini, aku hanya sendiri, menanggung perih dan rasa takut yang tak bisa kuhindari.
Aku tak bisa lagi menghubungi teman-temanku sekadar untuk bertukar cerita. Mereka telah aktif sekolah, menjadi siswa baru di sekolah mereka yang baru. Betapa indahnya, betapa bahagianya.
Sementara di sini, aku kehilangan banyak hal: ketenangan, kebahagiaan dan harapan indah untuk masa depan. Semuanya hancur berantakan sejak Ayah dan Ibu memutuskan aku segera menikah.
Aku tak ubahnya sebuah boneka yang tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah. Melihat kamar ini dihias sedemikian rupa, rasa takut dalam diri semakin menggumpal. Apa yang akan terjadi setelah ini? Benarkah aku akan menjadi istri dari lelaki bernama Adi? Tidak! Batinku masih bersikukuh menolak.
Dua petugas telah selesai memasang tirai warna putih pada dinding kamarku. Di setiap sudutnya dihiasi mawar merah yang indah dan menyala. Seprai di tempat tidurku juga diganti warna yang sama.
Selama beberapa hari menjelang pernikahan, aku dilayani sebagaimana putri raja. Mulai dari pola makan yang teratur, beberapa alat kecantikan yang harus kupakai dan ramuan-ramaun khusus entah untuk apa, aku pun harus meminumnya dengan rutin.
Sekarang, di depan cermin aku melihat wajah orang lain yang terpantul, bukan diriku. Ketika gaun putih kukenakan lengkap dengan make up pengantin yang merona, semakin tampak di cermin itu bahwa Sekar Arum telah tiada. Hanya seonggok raga tanpa nyawa. Nyawa hidup sebagai perempuan remaja telah hilang terhempas angin kecemasan yang berlebihan.
***
Tamu undangan mulai menyusut, sebagian banyak yang pulang. Orang itu masih di duduk di tempat semula, di kursi deretan paling belakang. Ketika aku hendak menghampirinya, ia lebih dulu berdiri dan berjalan menuju ke arahku di pelaminan.
“Doaku menyertaimu!” ucapnya lembut, tatapannya sejuk. Ia menyalamiku dan ada sepucuk kertas kecil yang sengaja diselipkan di tanganku. Aku tersenyum, kertas itu kugenggam dengan erat. Aku menemukan kedamaian di wajahnya. Berharap aku bisa berteduh lebih lama di dekatnya.
Pesta pun usai, aku bergegas ke kamar. Setelah melepas baju pengantin dan menggantinya dengan baju tidur biasa, aku ke kamar mandi dan mengunci pintu dari dalam. Sepucuk kertas dari perempuan setengah baya itu telah membuka tabir diriku yang sesungguhnya. Aku adalah anak seorang pemulung yang Ayah dan Ibu temui di pinggir jalan. Perempuan itulah ibuku yang sebenarnya, Ibu yang telah melahirkanku ke dunia.
Aku terisak menatap masa laluku yang kelam dan masa depanku yang suram. Entah apa yang menggerakkan hatiku setelah itu. Aku berada di antara sadar dan tidak.
Seperti ada yang mendorongku. Entah apa dan siapa, aku sendiri tak mengerti. Aku berjalan ke arah dapur dan membuat secangkir kopi. Sebelum diaduk, aku melarutkan beberapa tetes cairan berwarna gelap, lalu kubawa ke dalam kamar.
Di kamar pengantin yang menyeruak aroma khas bunga melati, aku melihat Mas Adi duduk di atas ranjang seperti sedang menanti kedatanganku. Aku mendekatinya dan duduk di sisi ranjang di sampingnya. Sebelum dia menyentuh tubuhku, aku menyuguhkan kopi buatanku agar diminum terlebih dahulu.
Dan tak lama kemudian, kulihat wajah Mas Adi membiru, mulutnya berbusa, ia meregang, melepas nyawa.
Pamekasan, 08 November 2022
(Cerpen ini terpilih sebagai naskah cerpen terbaik II dalam ajang pelatihan menulis cerita inspiratif bersama Asma Nadia, diselenggarakan oleh SIP Publishing dan dibukukan dalam antologi bersama dengan judul: Keluh Kesah)
0 Komentar