Nestapa Sehelai Daun

Bila suatu saat nanti kamu pulang, kamu akan menemukan banyak hal berbeda di kampung ini. Rimbun cemara yang berjajar di tepian pantai, tempat kita mengumpet dari kejaran terik matahari usai kita menjala ikan kini sudah tak meninggalkan sisa apapun. Ladang tempatmu menggiring kambing untuk merumput sudah terkubur bersama alat-alat berat yang mengubah ladang-ladang itu menjadi kotak-kotak tambak yang penuh limbah. Dan laut, airnya sudah tidak sejernih harapan kita dahulu.

Bila kubuka jendela di setiap pagi, bukan aroma tanah tegalan dan bau kotoran ternak yang menggoda hidungku, tetapi bau busuk limbah tambak udang yang diantar sekawanan angin. Tidak seperti saat kamu ada di sini. Tidak ada lagi lambaian pohon-pohon kelapa yang tampak seperti seorang ronggeng menari di pagi hari. Semua telah digantikan sederet tembok pembatas yang panjang memblokade ladang dan tanah tegalan yang telah diolah jadi industri pertambakan oleh orang-orang asing dari jauh.

“Tanah ini harus kita pertahankan, Ti. Biarlah hidup apa adanya asal tetap bermartabat di tanah sendiri.” Suaramu terkadang masih terngiang seperti baru kemarin kamu mengucapkannya padaku.

Tahukah kamu, benih yang kau tanam di rahimku sekarang sudah memasuki usia sekolah dasar dan baru duduk di kelas satu. Berarti sudah delapan tahun kamu pergi meninggalkan kami. Tidak adakah kerinduan di sana yang mengajakmu pulang?

Pagi itu sama sekali tidak ada hal apapun yang mencurigakan. Kau berangkat seperti biasa dengan perahu kecilmu ke tengah lautan. Barangkali laut sangat menginginkanmu sehingga ia enggan membiarkanmu kembali padaku.

“Ayah sedang pergi menaklukkan laut. Kita berdoa saja semoga Ayah cepat kembali.” Begitu jawabanku setiap puteri kecilmu bertanya. Alangkah lucunya dia. Tapi sayang, karena situasi yang terdesak, tanah yang kau tinggalkan telah aku jual.

Aku merasa sangat berdosa karena gagal mempertahankan dan mewariskan tanah warisan itu kepada puteri kecilmu. Ia sudah kehilangan tempat bermain yang luas akibat kesalahnku. Itu pula setiap aku mengingatmu, mengingat pesanmu, ada seribu palu yang memukul ulu hatiku.

“Kamu jual saja tanahmu, separuh saja. Kamu sudah tidak punya cara lain untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kasian anakmu itu kalau kekurangan jajan dan makan,” kata bibiku. Dan aku tidak punya pilihan lain selain setuju.

Aku hanya tinggal bersama nenek dan puteri kita semenjak kepergianmu. Saat Ibu meninggal, umurku masih sepuluh tahun, kamu tahu sendiri, sejak saat itu Ayah menemuiku hanya pada saat kita menikah. Bahkan ketika kamu tak pernah kembali, Ayah tetap tidak peduli.

Man, bolehkah kutuliskan sesuatu padamu? Barangkali hanya itu yang bisa kulakukan untuk sedikit bisa melarungkan kerinduan ini pada samudera ketenangan.      

Sore yang kering, aku mengambil sehelai daun yang diterbangkan angin dari arah pantai dan jatuh tepat di depanku. Di daun itu aku tulis kabar duka tentang tanah pesisir yang telah lama sekarat. Itulah yang akan kuceritakan padamu. Semoga kau masih setia menyimak ceritaku dengan seksama seperti saat engkau masih berada di sampingku.

Seperti dalam mimpi, kabar itu datang menyentuh imajinasi. Ada kematian yang luput dari penglihatan. Sejenis kematian yang dilupakan. Orang-orang kerap terbuai pada fatamorgana kehidupan, perlahan meninggakan kesejatian demi satu ruang fana yang penuh kepura-puraan. Aku tidak ingin menyimpan kabar itu sendirian, Man. Makanya, aku akan selalu berbagi padamu, biar itu bisa menjadi warisan berharga untuk anak cucu kita di masa yang akan datang.

Ini sudah memasuki tahun kelima tanah pesisir dikuasai investor asing. Jangan kau tanya, seperti apa kerusakan yang terjadi pasca industri tambak udang itu beroperasi. Bukan hanya gersang yang telah merebut rindang di tanah yang lapang, tetapi juga udara sejuk tanpa limbah yang lahir dari tumbuh suburnya pepohonan di pinggir pantai, kini telah hilang dan menjelma menjadi kenangan.

Apakah ini yang dimaksud kematian? Yah, kematian yang dilalaikan semua orang. Jika tanah pesisir mati, siapa yang telah membunuhnya? Apakah para investor asing? Mereka yang ikut terlibat dalam gerakan pengrusakan terhadap alam? Atau mereka yang hanya diam saja membiarkan pengrusakan semakin merajalela?

Jika benar mereka yang telah membunuhnya, maka yang sebenarnya mati itu ialah akal dan hati mereka sendiri. Apa menurutmu aku terlalu berlebihan? Karena yang aku tahu dari guru ngajiku dulu, akal dan hati yang senantiasa hidup akan selalu menumbuh-kembangkan kebaikan-kebaikan. Sehingga darinya lahir perilaku-perilaku yang mencerminkan akhlak mulia, baik terhadap sesama, maupun alam semesta.

“Coba kau cium, aroma apa yang sering diembuskan angin pesisir di pagi ini?” Suatu hari nenek bertanya padaku.

Aku menghirup aroma mayat yang busuk membuat perutku teraduk, mual dan ingin memuntahkan seluruh isinya tanpa tersisa sedikit pun.

Sungguh, bukan aroma laut yang kuhirup di pagi itu, tetapi bau busuk limbah tambak yang menyeruak, memenuhi langit yang berselimut mendung di kampung ini. Setiap kali angin berembus dari arah utara, di mana laut terbentang cukup luas, penciumanku seperti disuguhi aroma kematian yang membuat bulu kudukku berdiri ketakutan.

Man, aku bukan tidak mau melakukan sesuatu untuk membantu kampung ini bangkit dari keterpurukan. Tetapi, kau tahu sendiri, bagaimana orang-orang di sekitar sini menempatkan perempuan pada garis subordinat di bawah dominasi laki-laki. Ini membuat posisiku tidak aman dan tidak menemukan ruang untuk berargumentasi, menyampaikan sesuatu yang juga seharusnya pantas untuk dihargai.

Kedudukan perempuan nyaris sama seperti alam, Man. Ia dituntut untuk menerima segala perlakukan meski itu menyakitkan dan melanggar keadilan. Aku dapat merasakan betapa sakitnya alam saat dirusak oleh tangan bejat manusia. Betapa perihnya jagad raya saat mengetahui yang telah menjerumuskannya, ternyata anak-anak asuhnya sendiri.

Man, sama seperti yang menimpa kampung ini, saat kematian itu tiba, siapa di antara orang-orang yang lantas merasa iba dan peduli? Entahlah! Dari sehelai daun yang kuambil waktu itu, aku seperti melihat dan mendengar sesuatu yang tak dapat dilihat dan didengar oleh banyak orang.

Meski perempuan dan alam kerap tak diperhitungkan perannya, bahkan dilupakan pemberiannya, aku, mungkin juga alam, tidak merasa bahwa yang pernah dilakukan dan diberikan akan hilang dan sia-sia. Dengan kamu selalu mendengarkan keluh kesahku, kurasa sudah cukup untuk mengatakan kalau aku tidak sendirian. Ada kamu yang  akan menunggu ceritaku dengan rindu. Kamu akan selalu candu pada cerita-ceritaku, meski aku tak bisa bercerita padamu setiap waktu.

Ah, entah sampai kapan aku terus berkhayal dan menganggapmu masih seperti sedia kala?

“Kamu selalu tampak lebih cantik saat bercerita,” candamu malam itu.

“Lelaki memang suka berbohong,” sahutku.

“Tidak. Perempuan memang suka mengatakan hal sebaliknya,”

“Maksudmu?”

“Kamu senang kan dibilang begitu. Cuma pura-pura saja tidak mempercayaiku,”

Aku mencubitmu dengan keras karena seratus persen tepat meramal hatiku. Kamu meringis menahan sakit. Tapi kamu tutupi dengan tertawa. Sungguh, semua tentangmu menjelma kenangan yang tak bisa kulupakan.

Jika saja tiba-tiba kamu datang, mungkin kau akan kecewa melihat kondisi laut yang sekarang telah ternodai oleh racun limbah yang membuat ekosistem laut tak normal seperti biasa. Bau sengit yang diterbangkan angin setiap saat menambah kegundahan hatiku akan nasib anak cucuk kita di masa mendatang.

Man, tentu kau masih ingat, di pesisir pantai yang dulu menjadi tempat berlabuhnya perahu nelayan, kini telah dipenuhi peralon besar yang mengalirkan kotoran dari tambak udang dan diluapkan ke lautan. Air di pantai itu berubah menjadi keruh. Para nelayan yang masih setia menjaga laut, tentu saja merasa kehilangan saat melihat pesisir dan lautan tak lagi bisa diharapkan. Aku yakin, kau juga menjadi bagian dari mereka yang merasa kehilangan karena tanah yang kau pijak telah menyatu dengan jiwamu.

Saat melewati pesisir, aku sudah merasa tidak berjalan di tanah sendiri. Karena hampir seluruhnya telah dikuasai investor asing. Kehidupan nelayan dan petani pelan-pelan tersingkir. Bahkan sebagian besar penduduk kampung ini telah menyatu dengan mereka melakukan pengrusakan demi sebuah upah yang menggiurkan. Aku hanya bisa mengelus dada. Tak bisa berbuat apa-apa.

Man, aku berusaha menerima kenyataan dengan tabah. Setiap saat aku mengikatnya dengan doa dan segumpal harapan: suatu saat nanti semesta tidak lagi nestapa.

 

Pamekasan, 23 Agustus 2022

 

(Cerpen ini masuk 10 besar dalam Parade Menulis Cerpen yang diadakan LovRinz dengan tema "Lingkungan" dan dibukukan dalam antologi bersama dengan judul: Konspirasi Ikan-Ikan)

Posting Komentar

0 Komentar