Girsereng

 


Kau tampak murung, menatap lorong-lorong yang semakin melebar dan memanjang. Pepohonan sengaja dirobohkan, tanah terus-menerus dikeruk tanpa batas yang jelas, dan rindang teduh pesisir pantai mulai habis dimusnahkan bulldozer setiap saat. Burung-burung berhampuran di udara, sebagian hinggap di dahan pohon siwalan, selebihnya mengawang semakin jauh ke angkasa.

Kampung kecil di pinggir pantai ini adalah tanah kelahiranmu. Girsereng. Konon, nama itu diambil berdasarkan letak geografinya yang berada dalam kawasan pesisir. Di bagian bumi inilah, kau lahir sebagai anak perempuan yang lembut, tegas, tegar, namun pendiam persis embu’. Ia bungkam seribu bahasa saat eppa’ membentak atau memarahinya. Dan kau, menambah kebisuan menjadi lebih suram dan muram.

***

Di pagi yang masih remang, kau melihat eppa’ sudah bangun dengan wajah sumringah. Padahal kau tahu sendiri, hari-hari sebelumnya embu’ lebih sering dibuat kesal saat membangunkan eppa’ yang semakin lekat memeluk bantal, meringkuk di balik selimut tebal, dan tak jarang subuhnya seringkali ditinggal.

Saat fajar mulai menyingsing dari peraduannya, eppa’ dengan kaos bertuliskan PT. Sejahtera di bagian punggung, terlihat lebih necis dari biasanya. Kau mengurut dada, namun tetap yang bisa kau lakukan hanya diam belaka.

“Aku berangkat ke kantor,” ucap eppa’ sambil menurunkan sepeda motor Supra Fit keluaran 2004 dari teras rumah.

“Tidak mau sarapan dulu?” suara embu’ terdengar dari arah dapur.

“Nanti sarapan di kantor.” Eppa’ terlihat bangga dengan profesi barunya sebagai koordinator bagian perlengkapan di perusahaan tambak udang PT. Sejahtera, yang baru dibangun setahun yang lalu. Letaknya tepat di pesisir pantai kampung ini.

Kantor? Terdengar asing di telingamu. Girsereng adalah kampung terpencil, jauh dari jangkauan kemajuan. Sejak dulu, masyarakatnya mengemban dua profesi sebagai petani dan nelayan. Sehari-hari mereka biasa membawa cangkul, arit, jaring ikan, dan kail untuk memancing. Kantor hanya milik pongghâbâ, yang tak mungkin disentuh oleh tangan kotor yang biasa bergelut dengan laut, ladang dan sawah. Kira-kira begitu keyakinan masyarakat di kampung kecil ini. Mungkin kau juga salah satunya.  

Pesisir pantai kampung Girsereng memang jadi incaran mata rakus kaum kapitalis sejak dulu. Sekitar tiga tahun yang lalu, di awal kita menikah, hatimu mulai was-was, pengalihan fungsi lahan dari agraria ke industri di desa sebelah dilakukan besar-besaran. Rimba pohon cemara di sepanjang pinggir pantainya ditebang hingga suasana jadi gersang. Kemudian, bau busuk air comberannya sengaja diluapkan ke lautan. Memuakkan dan menjijikkan.

Kau menyimpan harapan yang cukup besar pada kampungmu ini. Mendirikan langgar tempat mengaji bagi anak-anak pesisir, menggantikan langgarnya Ke Mahrus yang sudah meninggal setahun yang lalu. Ke Mahrus tak dikaruniai keturunan. Lepas masa ‘iddah, istrinya dinikahi seorang duda asal Pamekasan dan ikut tinggal di sana. Langgarnya tak terurus dan ambruk diterjang angin kencang ditambah hujan yang begitu lebat. Dan aku cukup bahagia menyambut mimpi muliamu itu.    

***

Suatu malam, di bawah sinar rembulan yang memancar seantero alam, aku duduk di langgar seorang diri. Anak-anak sudah pergi setelah kuajari mereka mengaji. Diam-diam, aku mendengar percakapanmu dengan eppa’ dan embu’. Kau berusaha menolak dengan sikapmu yang tegas dan mereka terus mendesak dengan nada bicaranya semakin keras.

“Suamimu kerja di tambak saja, biar ada penghasilan yang jelas tiap minggu. Sepertinya masih kurang tenaga kerja, karena area tambak akan semakin diperluas” sebuah tawaran yang sama sekali tidak memikat hatimu. Ada kobaran api yang menyala dalam dirimu, namun kau berusaha memadamkannya.

“Kau bisa lihat pamanmu, baru lima bulan kerja, sekarang sudah bisa merehab rumahnya pakai keramik,” imbuhnya. Sama sekali eppa’ tak menatapmu, ia mengarahkan pandangannya lurus ke depan dan sebatang rokok di tangannya sudah tak berasap.

“Kalau Mak Rahmat jadi kuli, siapa yang mau ngurus pertanian? Kalau saya sendirian tidak mampu, Pa’. Lagian saya sama Mak Rahmat juga ada tanggung jawab mengajari anak-anak mengaji di waktu sore,” tegasmu, mengelak dengan lembut membuat raut wajah eppa’ tiba-tiba berubah jadi masam dan tampak kusut.

“Sebagian tanahmu nanti bisa kau sewakan pada Bos Aceng buat perluasan area tambak udang. Lihat warga di kampung ini rata-rata bekerja di sana. Mereka sudah berhenti jadi petani dan nelayan. Tanah-tanah mereka banyak yang sudah dikontrakkan dan perahu-perahu mereka sudah banyak dijual. Mereka memilih yang lebih jelas, 600.000 per minggu,” panjang lebar eppa’ berusaha menghipnotismu dengan rupiah yang melimpah, namun kau masih setia pada pendirianmu yang semula.

“Biarkan kami tetap jadi petani,” jawabmu singkat. Rusuh di dadamu kian berdebar, terbaca dari nada bicaramu yang nyaris bergetar.

“Kalau hanya mengandalkan hasil pertanian, hidupmu tidak akan berubah. Apalagi hasil panen musim ini tidak menguntungkan,” suara eppa’ meninggi, dan embu’ seolah mengamini setiap perkataannya.

Diam adalah sikap paling bijak dari pada mengikuti alur bicara orang yang tidak sejalan dengan pikiran kita. Sejak awal kau tak pernah setuju dengan pembangunan tambak udang yang semakin mempersempit lahan pertanian.

“Aktivitas bertani tak boleh punah.” Kau bersikukuh, tekadmu tak berkurang secuilpun. Bahkan pada anak-anak yang mengaji di langgar ini, kau ajarkan mereka bertani, menanam biji-bijian dan sesekali arang-karang ke laut saat air sedang surut. Aku semakin bangga padamu.

***

Senja telah tiba, burung-burung berseleweran mencari sarangnya masing-masing. Lampu-lampu mulai menyala di setiap rumah. Dari teras rumah ini, kau tak pernah absen menatap lentera di pucuk pohon siwalan yang terletak di tikungan jalan menuju area tambak udang.

Lampu penerang jalan, serupa mercusuar yang sengaja dipasang sejajar dengan pohon siwalan itu, ternyata menimbulkan rusuh yang bergemuruh dalam dirimu, dan dalam diriku juga. Karena, dengan sinarnya yang menderang, kami tidak lagi bisa menyaksikan lautan yang luas nan indah di bawah sinar rembulan. Dari teras rumah ini, yang kami lihat hanyalah kotak-kotak tanah dengan tebing pemisah yang dibangun sedemikian rupa. Kincir air yang terus berputar, petugas pakan udang yang mondar-mandir dan siap siaga, sementara kami hanya bisa mengelus dada.

Eppa’ semakin bangga kampung halamannya hampir menyamai kota. Siang malam truk fuso keluar masuk Girsereng membuat jalan cepat retak dan rusak. Telinga eppa’ seolah melebar dua kali lipat saat mendapat pujian dan terima kasih dari warga sekampung, karena telah mengajak mereka bekerja. “Jadi kuli di kampung sendiri,” sungut batinku.

Bagainapun, eppa’ difasilitasi oleh keaji dan kalebun, adalah pelopor utama yang mendukung pembangunan tambak udang di pesisir ini. Eppa’ pula yang mengajak warga bekerja di sana dan dengan suka rela melepas pekerjaannya yang semula sebagai petani dan nelayan. Sawah dan ladang lenyap, perahu-perahu habis terjual.

Girsereng berubah jadi kampung industri.

Sudah hampir tiga tahun usaha tambak udang memberikan hasil yang gemilang. Orang-orang senang bukan kepalang, karena tenaga mereka masih diperlukan. Setiap tiga bulan sekali, panen udang besar-besaran mengepulkan asap dengan aroma khas udang dari tiap dapur warga. Para kuli membawa pulang udang satu kiloan, disambut dengan senyum manis oleh istri di rumahnya masing-masing.

Dua tahun lagi masa sewa tambak jatuh tempo, warga berharap Bos Aceng memperpanjang masa sewanya, lima tahun lagi ke depan. Bagaimana tidak demikian, menjadi kuli telah merubah nasib mereka. Rumah-rumah sudah mentereng dengan keramik setengah badan, sebagian sudah berhasil membeli kulkas, TV dan perabot-perabot lain yang sebelumnya tak pernah ada di tanah kecil ini. Pelebaran jalan semakin mengikis tanah warga, tapi tak apa, setumpuk uang mampu mengukir senyum bahagia di hati mereka.  

***

Malam ini, hujan deras sekali. Petir mengkilat menambah suasana getir di hatimu. Kau benamkan kecemasanmu dalam pelukanku. Tak lama kemudian, dengkur halus terdengar menyertai setiap tarikan nafas dalam lelapmu. Kubelai rambutmu, sesekali kuusap bintik-bintik keringat di keningmu.  

Suara riuh terdengar di luar sana. Aku membuka mata, tapi gelap. Ah, ternyata padam. Kegetiranmu menjadi-jadi, gemetar tanganmu terasa saat kau erat menggenggam tanganku dan mengajakku keluar. Cahaya senter mengarah ke pesisir pantai. “Duh, Gusté…” Seru embu’ sambil berjalan ke arah tumpuan cahaya senter itu.

Tambak udang jebol, udang-udangnya tumpah ruah ke lautan. Hujan deras, angin kencang membawa petaka yang mengerikan. Seluruh warga tercengang membisu. Harapannya luruh bersama tebing tambak yang runtuh. Satu dua korban sudah ditemukan, pencarian masih terus dilakukan. Ada raut sesal di wajah mereka, tak dinyana PT. Sejahtera menyisakan luka yang menganga.  

 

Totale, 06 Februari 2021 


(Finalis 50 besar cerpen terbaik pilihan Fun Bahasa dan dibukukan dalam antologi cerpen berjudul: Sarapan)

 

Posting Komentar

0 Komentar