Pendidikan Transformatif: Reinterpretasi Etika Belajar Para Santri

sumber: sidogiri.net

Pendahuluan
Pendidikan belum memainkan perannya secara utuh. Perkembangan pendidikan tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang seimbang. Sehingga hal itu mengakibatkan munculnya berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah masyarakat, seperti ketimpangan antara kualitas output pendidikan dengan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan.[1] Ketimpangan semacam itu belum mendapat concern yang serius dari pihak-pihak yang bersangkutan maupun masyarakat secara umum.

Pendidikan merupakan proses “penyucian diri” dari segala bentuk kebodohan, baik struktural maupun kultural. Kebodohan yang semakin merajalela dan berakibat buruk pada berbagai sektor kehidupan menjadi problem besar yang perlu ditangani dengan serius. Sebab, “bodoh” merupakan akar masalah yang telah menelanjangi bangsa ini dari rasa malu, termasuk dalam sector pendidikan.

Sehingga, pendidikan yang seharusnya menjadi wadah bagi manusia untuk menemukan hakikat kemanusiaannya, berubah arah menjadi “jalan lain” yang mengantarkan manusia pada keterasingan. Sederhananya, pendidikan seolah menjadi ruang terciptanya manusia amoral[2] serta menambah jumlah pengangguran[3] di negeri ini.

Indonesi adalah negara dengan kemelut kebangsaan yang belum menemukan titik terang penyelesaian. Hal itu menjadi bukti bahwa para lulusan dari berbagai universitas atau lembaga pendidikan yang lain, belum bisa merealisasikan segenap ilmu yang telah dipelajarinya. Tidak sedikit dari mereka yang malah menambah beban negara semakin rumit dengan perilaku-perilaku amoral yang sama sekali tidak mencerminkan individu-individu yang berpendidikan.

Sangat disayangkan, apabila lembaga pendidikan hanya menyumbangkan orang-orang yang tak diperlukan dalam pentas kehidupan.[4] Karena, pada hakikatnya pendidikan dan realitas adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Mansour Fakih mengatakan bahwa pendidikan merupakan proses ‘produksi’ kesadaran kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas, kesadaran gender dan kesadaran kritis lainnya.[5]

Diperlukan upaya serius dan komprehensif, salah satunya melalui strategi pendidikan transformative. Pendidikan transformatif tidak hanya bergerak pada sisi transfer of knowledge, tapi juga aktif dalam menanamkan akhlāk al-karīmah. Karena akhlak merupakan tolok ukur keilmuan seseorang. Kalau penulis menyimpulakn “berilmu belum tentu berakhlak yang baik dan berakhlak baik tentulah ia berilmu”, dengan kata lain mustahil orang mampu melahirkan akhlak baik kalau ia tidak berilmu.

Inilah peran penting pesantren dalam proses pendidikan yang diterapkan yaitu membantu para santri dalam memahami setiap ilmu Allah swt. serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan bukan hanya mampu mengentaskan kebodohan dan keterbelakangan, namun juga mampu melaksanakan misi amar ma’ruf nahī munkar sebagai tanggung jawab sosialnya.[6]

Keberhasilan suatu pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya faktor pendidikan itu sendiri dan faktor santri sebagai individu yang belajar. Hal itu dapat dipahami, seideal apapun sistem pendidikan yang diterapkan untuk meraih tujuan yang sudah ditetapkan tidak akan berjalan dengan sempurna, apabila para santri yang belajar tidak memiliki kriteria yang sudah dicontohkan oleh para ulama terdahulu. Begitupun sebaliknya.

Syeikh Burhanuddin al-Zarnujy dalam kitabnya Ta’līm al-Muta’alim Tharīq al-Ta’alum pada bagian muqaddimah-nya mengatakah:[7]orang yang salah jalan akan tersesat dan orang yang tersesat tidak akan mendapat apa yang dituju”. Sejatinya, Kedua hal tersebut (faktor internal dan eksternal) harus berjalan secara proporsional demi terealisasinya kehidupan lebih baik.

Pendidikan menjadi ajang terwujudnya agent of change dalam kehidupan sosial. Manusia memiliki kecenderungan untuk bisa memberikan solusi bagi setiap persoalan hidup baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun sosialnya. Keberadaan ilmu dan amal dalam diri seseorang sangat penting dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi, karena keduanya merupakana kekuatan yang saling mengikat.

Berkenaan dengan itu, seharusnya lembaga pendidikan (baca: pesantren) bersikap inklusif terhadap perkembangan zaman dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip ulama’ dalam hal menuntut ilmu. Sehingga pada proses selanjutnya, para santri mampu menjadi pribadi sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad, yaitu terpuji akhlaknya dan bermanfaat bagi sesama.

Tradisi Belajar Para Santri sebagai Modal Pendidikan Transformatif
Belajar merupakan gerbang utama menuju keilmuan. Sardiman mendefinisikan belajar adalah perubahan tingkah laku dengan serangkaian kegiatan misalnya membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya.[8] Perubahan tingkah laku dari proses belajar yang dilakukan terjadi pada setiap jenjang pendidikan baik formal, informal maupun nonformal. Adanya perubahan tingkah laku itulah menjadi bukti bahwa ia sedang atau telah belajar.

Pesantren sebagai wadah para santri dalam mengaktualisasikan potensinya memainkan peran yang cukup signifikan bagi perkembangan intelektual, emosional dan spiritual. Ketiga perkembangan tersebut, diharapkan dapat terealisasi pada diri para santri dan membentuk kesatuan yang saling melengkapi. Sehingga posisi guru bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga pendidik yang mampu mengarahkan para santrinya untuk mengenali potensi yang dimiliki. Secara tidak langsung, kecerdasan spiritual, emosinal, intelektual, sosial dan lain sebagainya harus ada pada setiap guru agar menjadi sosok guru yang berkualitas tingkat dunia akhirat. [9]

Selain peran penting seorang guru sebagai figur yang memiliki pengaruh dalam pembelajaran. Ada dua faktor yang mempengaruhi para santri dalam mencari ilmu, ialah faktor internal (niat dan sabar) dan faktor eksternal (musyawarah dan memilih guru dan teman). Setiap santri hendaknya memperhatikan dua faktor tersebut sebagai tradisi belajar para ulama terdahulu sebagaimana yang terdapat dalam kitab Ta’līm al-Muta’alim Tharīq al-Ta’alum sebagai berikut:

1. Faktor Internal
Pertama; Niat
Niat adalah sumber motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu. Motivasi itulah yang menggerakkan keinginan menjadi kenyataan melalui usaha yang dilakukan secara terus-menerus.[10] Niat secara praktis akan mempengaruhi tujuan yang ingin dicapai dari setiap proses belajar yang dilakukan. Karena, keberadaan niat akan senantiasa menuntun untuk bergerak menuju tujuan yang diinginkan. Sehingga, posisi niat dalam setiap aktivitas yang dilakukan menjadi hal yang sangat fundamental untuk diperhatikan agar tidak mengarah pada sesuatu yang bersifat material semata.

Terdapat sebuah hadits nabi mengungkapkan bahwa  “segala perbuatan tergantung pada niatnya”. Pesan yang dapat dipetik dari sabda Nabi tersebut ialah betapa pentingnya niat sehingga nilai dari perbuatan yang dilakukan diukur dari benar tidaknya niat yang disematkan. Karena, niat itu adalah cerminan dari sebuah tujuan yang kemudian teraktualisasi dengan usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Niat sifatnya universal. Ia diperlukan dalam segala hal, baik dalam menuntut ilmu, bekerja mencari rezeki Tuhan, mencalonkan diri menjadi pemimpin negara dan lain-lain. Sehingga dapat dipahami bahwa kekacauan bangsa ini salah satu disebabkan oleh kesalahan niat para penghuninya (santri, pejabat, guru dan sesamanya) dalam melakukan sesuatu sebagai wujud pengabdiannya terhadap bangsa dan agama. Karena nilai positif niat dapat dilihat dari kesesuaian tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan yang dilakukan.

Salah satu contoh yang cukup fenomenal pada saat ini ialah banyak orang melakukan sesuatu dengan niat yang bersifat materi (duniawi), seperti menuntut ilmu dengan niat mendapat pangkat menjadi guru, dosen dan sejenisnya. Sehingga, apabila sesuatu yang diniatkan itu tidak tercapai, maka orang tersebut cenderung frustasi dan putus asa karena kegagalan yang dialami.

Begitu juga, niat ingin menjadi pemimpin, terkadang mereka (para calon pemimpin) membenarkan segala cara untuk mencapainya. Implikasinya, kewajiban seorang pemimpin dalam mengabdikan hidupanya untuk masyarakat tidak lagi menjadi prioritas yang patut dipikirkan.

Segala aktivitas, terutama dalam menuntut ilmu, harus diniatkan fī mardhatillāh, yaitu mencari keridhaan Allah swt, yang secara panjang lebar dijelaskan oleh Al-Zarnujy sebagai berikut:
        وينبغي أن ينوي المتعلم بطلب العلم رضاء الله والدار الاخرة، وازالة الجهل عن نفسه، وعن سائر الجهال، واحياء الدين وابقاء الاسلام، فإن بقاء الاسلام بالعلم، ولايصح الزهد والتقوي مع الجهل.                            [11]
         
Niat sebagaimana tersurat di atas mengandung arti bahwa segala sesuatu harus disandarkan pada ridha Allah sebagai Tuhan semesta Alam. Sehingga manusia menerima apapun yang dikehendaki-Nya, terlepas itu baik atau buruk, menyenangkan atau menyedihkan. Karena, niat yang tertanam sejak awal akan selalu memotivasi untuk mencintai dengan sepenuh hati takdir yang telah ditetapkan.

Niat mencari keridhaan dari Allah swt berarti mengerahkan semangat untuk menjadi orang yang diridhai-Nya, dengan melakukan segala sesuatu sesuai aturan-aturan-Nya. Menjadi orang yang diridhai Allah, tidak terkait dengan posisi tertentu dalam struktur sosial, sehingga ia tidak tejebak dalam penjara duniawi yang materialistik, tapi mampu menembus pada ruang ukhrawi yang transenden.

Niat lillāhi ta’alā dalam mencari ilmu merupakan manefestasi dari keinginan yang besar untuk menghilangkan kebodohan yang sebenarnya. Ini didukung oleh kultur pesantren, dengan berbagai corak dan sistemnya (tradisional, semi tradisional dan modern), dalam melaksanakan fungsinya di bidang pendidikan dan keilmuan. Landasan filosofis yang tetap dipertahankan berdasarkan motto “memelihara dan menjaga warisan lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”. Prinsip itu dikenal dengan nama panca jiwa yaitu keikhlasan, kesederhanaan, kesanggupan menolong diri sendiri, ukhuwah diniyah yang demokratis dan berjiwa bebas.[12]

Pemantapan niat para santri dalam belajar dapat diaktualisasikan dengan berbagai kegiatan yang telah ditetapkan oleh pesantren.  Corak yang khas dari kehidupan pesantren dapat dilihat dari metode pembelajaran yang diberikan. Pembelajaran di pesantren pada dasarnya bersifat aplikatif, yaitu menerjemahkan materi-materi pengajian dalam bentuk perbuatan dan amalan sehari-hari.

Nilai-nilai yang tercipta dalam bentuk serangkaian perbuatan sehari-hari inilah yang kemudian dikenal dengan nama “cara kehidupan santri”.[13] Sehingga, pola pembelajaran di pesantren tidak hanya terfokus pada mengaji dan mengkaji teori (kitab-kitab klasik dan kontemporer), tetapi juga praktik dari teori yang dipelajari.

Kedua; Sabar
Sabar memiliki peran besar dalam setiap persoalan. Sebagaimana niat, sabar menjadi jalan terealisasinya niat yang telah ditetapkan. Tingkat kesabaran seseorang berpengaruh pada kualitas hasil yang diperoleh. Apabila suatu pekerjaan dilakukan dengan penuh kesabaran, maka kualitas hasil yang didapat akan lebih baik, dari pada pekerjaan yang dilakukan dengan penuh ketergesahan. Sehingga sabar menjadi salah satu pondasi yang harus ditanamkan bagi setiap pencari ilmu. Karena, sabar senantiasa menguatkan hati dari segala macam ujian ataupun tantangan menuju kesuksesan.

Secara sederhana, al-Ashfahany mengatakan bahwa ألصبر الامساك في ضيق (sabar ialah ketahanan dalam kesempitan). [14] Kemampuan bertahan dalam situasi yang tidak menyenangkan bukan hal yang mudah dikerjakan, karena harus mampu bersahabat dengan takdir buruk yang menimpanya. Meskipun, pada prakteknya sabar bergerak pada dua aspek yaitu sabar dalam menyikapi takdir baik dan buruk. Karena sejatinya baik dan buruk itu berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah swt.

Kesabaran merupakan nilai-nilai pesantren yang dikemas dalam kebudayaan hidup sehari-hari, termasuk proses belajar yang dilakukan. Para santri harus memiliki sifat sabar, karena kehidupan pesantren memberikan banyak tantangan hidup yang harus disikapi dengan penuh kesabaran untuk meraih tujuan yang ingin dicapai. Sabar dalam kesusahan berarti mampu menemukan hikmah dibalik peristiwa yang dialami, sedangkan sabar dalam kesenangan sama halnya dengan berjiwa besar untuk senantiasa bersyukur atas nikmat Allah swt.

Tugas pesantren ialah mendidik dan menyiapkan santrinya menjadi thāifa mutafaqqihah fid-dīn, yaitu kader-kader ulama’ atau pengasuh pesantren yang mampu mewarisi sifat dan kepribadian para Nabi.[15]

Jika menjadikan para Nabi sebagai sosok teladan, maka sabar akan lebih mudah melekat pada jiwa mereka, sehingga mereka mampu menjadi pribadi yang penyabar. Berbagai tantangan dan rintangan dalam proses belajar yang ditekuninya, akan dihadapi dengan kesabaran yang akan mengokohkan dirinya dalam usaha yang istiqamah menuju himmah yang ingin dicapai.

Menjadi pribadi yang sabar harus dimulai dari kondisi hati yang steril. Sangat wajar apabila pesantren membudayakan shalat malam, mengaji dan mengkaji al-Qur’an sebagai wahana untuk semakin menyucikan hati dari segala bentuk keburukan. Kondisi hati yang seperti ini, sifat sabar akan tumbuh yang akan menjadi pondasi dari segala aktivitas yang dikerjakan. Sabar adalah langkah kedua setelah niat. Karena, dengan sabar akan diketahui tingkat keseriusan dan kesungguhan niat khususnya dalam menuntut ilmu.

2. Faktor Eksternal
Pertama; Musyawarah
Musyawarah pada dasarnya berasal dari kata “شار yang artinya mengambil atau mengeluarkan madu dari tempatnya. Sedakang “مشاورة” merupakan aktivitas saling bertukar pikiran dalam masalah tertentu, sebagaimna tersirat dalam ta’rif berikut:
المشاورة استخراج الرأي بمراجعة البعض الى بعض، من قولهم شرت العسل اذا اتخذته من موضعه[16]
Akar kata itulah yang kemudian berkembang lebih lanjut pada ranah kehidupan yang lebih luas sebagai sebuah pendapat yang dikeluarkan oleh orang-orang yang sedang membahas suatu persoalan. Kata "madu’ dari arti di atas merupakan simbol kebaikan suatu pendapat yang diberikan dengan cara saling mengoreksi hingga akhirnya menjadi suatu pendapat yang disepakati. Anjuran bermusyawarah bagi para santri, secara eksplesit ditulis oleh al-Zarnujy sebagai berikut:
.....وطلب العلم من أعلى الامور وأصعبها، فكان المشاورة فيه أهم وأوجب[17]
Inti kegiatan musyawarah ialah mencapai kemufakatan bersama. Ditinjau dari segi prakteknya, musyawarah dilakukan oleh sekelompok orang tanpa meletakkan adanya pihak-pihak yang dianggap lebih unggul dari yang lain.

Semua pihak yang terlibat dalam musyarwarah sama-sama menduduki posisi sebagai narasumber yang memiliki wewenang mengeluarkan pendapat dan sebagai audiens yang bertugas mengoreksi pendapat yang dikeluarkan oleh narasumber. Hal itu dilakukan secara bergantian untuk menemukan pendapat yang paling baik dan disepakati bersama.

Sistem musyawarah memiliki kesesuaian dengan budaya pesantren dalam proses pembelajaran para santri. Membudayakan musyawarah untuk memecahkan suatu masalah sangat tepat dalam membangun jiwa kemandirian para santri. Zamroni mengatakan bahwa kultur atau budaya yang dibagun dalam lembaga pendidikan memiliki dampak yang sangat kuat terhadap prestasi belajar.[18] Paolo Freire menambahkan bahwa pendekatan kultural dalam proses pendidikan akan memunculkan kekuatan moral yang akan mengubah corak hidup masyarakat itu sendiri.[19]

Kesesuaian antara sistem musyawarah dengan budaya pembelajaran di pesantren ialah: Pertama, santri tidak diperbolehkan bertanya kepada kiyainya.[20] Tradisi tersebut mengandung pesan yaitu untuk mengurangi ketergantungan para santri kepada sang kiyai dalam hal belajar.

Sehingga, langkah yang dipilih oleh para santri dalam menyikapi ketidaktahuannya ialah dengan bertanya kepada sesama teman tentang materi yang tidak dipahami. Kegiatan yang dilakukan secara rutin akan membentuk kebiasaan yaitu kebiasaan berdiskusi dan menelaah suatu tema dari berbagai sudut pandang.

Kedua, metode sorogan dalam belajar. Metode ini mengajak para santri untuk mempersiapkan terlebih dahulu materi yang akan dipelajari kepada kiyainya. Persiapan yang dilakukan oleh para santri biasanya dikemas dalam bentuk halaqah belajar tentang kitab yang akan dipelajari lebih lanjut kepada sang kiyai.

Sistem halaqah belajar merupakan salah satu bentuk kegiatan musyawarah, karena di dalamnya terjalin pertukaran pendapat antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga, metode ini diakui paling intensif dan menuntut adanya kesabaran dalam menjalaninya.[21]
   
Kedua; Memilih Guru dan Teman
Guru dan teman adalah dua komponen penting yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap keberhasilan belajar para santri. Hal itu merupakan keniscayaan. Sebab, dalam proses belajar guru dan teman ikut serta membentuk cara berpikir serta karakter seseorang. Sehingga, kehati-hatian dalam memilih guru dan teman sangat penting untuk diperthatikan. Di antara kriteria guru (guru utama) yang baik dalam pandangan Al-Zarnujy ialah sebagai berikut:
    أما الاختيار الاستاذ فينبغي أن يختار الأعلم والأورع والأسن كما أختار أبو حنيفة حماد بن أبي سليمان، بعد التأمل والتفكر......[22]
1)  ألأعلم
Lebih berilmu (ألأعلم) adalah syarat muthlak yang harus dimiliki oleh setiap guru, dengan merujuk pada beberapa indikator berikut:

Pertama, menguasai materi. Guru harus memiliki kompetensi keilmuan yang luas terutama tentang materi yang diajarkan. Memahami materi meliputi isi materi, cara menyampaikan materi serta evaluasi yang dilakukan guru dalam memberikan penilaian terhadap santrinya.

Kedua, memahami karakteristik dan kepribadian santri. Setiap santri yang belajar di peanstren memiliki karakteristik dan kepribadian yang berbeda. Pemahaman guru terhadap hal itu akan memudahkannya dalam menyampaikan materi yang akan diajarkan.

Ketiga, memahami konteks ruang dan waktu yang terus berkembang. Pemahaman ini akan menciptakan suatu proses pembelajaran yang sinkron dengan kemajuan zaman. Guru harus bersikap inklusif terhadap perubahan, sebab kehidupan manusia tidak akan selalu berkutat dengan masa lalu, tetapi juga sekarang dan yang akan datang.

Ketiga indikator tersebut merupakan hal utama yang harus dimiliki oleh figur seorang guru. Karena, dalam dunia pesantren para santri biasanya memasrahkan urusan keilmuannya kepada guru. Hal itu menandakan bahwa seorang guru harus menjadi ألأعلم sebagaimana penjelasan di atas.

2)  ألأورع
ألأورع artinya sangat hati-hati dalam memelihara diri dari segala perbuatan buruk. Guru adalah sosok yang digugu dan ditiru. Sehingga implikasi dari sifat ألأورع ini ialah adanya keteladanan guru yang bisa diamati oleh para santri secara kasat mata. Guru (baca: kiai) adalah sosok yang dijadikan panutan oleh para santrinya.

Karena, pembelajaran yang baik ialah tidak hanya berupa teori yang sifatnya abstrak, tetapi dibutuhkan contoh konkrit yang bisa ditengarai secara gamblang. Misalnya, di sebuah pesantren diajarkan nilai-nilai kesederhanaan dan keikhlasan, sebagai guru harus mampu mencerminkan nilai-nilai kesederhanaan dan keikhlasan dalam kehdidupannya, bukan sebaliknya pesantren memasukkan unsur-unsur kapitalisme yang justru bertentang dengan nilai-nilai kulturalnya.

Posisi guru dalam proses pembelajaran ialah sebagai mursyid (petunjuk) berdasarkan ilmu dan pengalamannya sebagai orang yang lebih dewasa.[23] Tugas seorang guru ialah memberikan petunjuk kepada santri berdasarkan bakat dan potensi yang dimilikinya. Kata menunjukkan berbeda dengan kata menentukan. Menunjukkan berarti mengarahkan para santri pada proses penyempurnaan diri. Sedangkan menentukan artinya memaksa santri menjadi sesuai keinginan guru.

3) ألأسن
ألأسن merupakan kriteria yang juga harus diperhatikan dalam mencari seorang guru. Kata ألأسن (lebih tua) dilihat dari dua konsepsi, yaitu fisik dan psikis. Kematangan keduanya akan menjadikan seseorang lebih bijaksana dalam bertindak serta lebih kaya akan pengalaman. Sehingga, bijaksana dan banyaknya pengalaman itu menjadikan sang guru sabar dalam mengajar serta menjadi teladan yang baik bagi para santrinya. Sebab, experience is the best teacher (pengalaman adalah guru terbaik).

Bijaksana serta pengalaman yang luas tentang keilmuan adalah indikator utama dari ألأسن. Sehingga, perlu menjadikan kriteria ini  sebagai salah satu alasan logis dalam memilih guru agar proses dalam mencari ilmu dapat terarah dengan baik.

Selain beberapa kriteria yang harus ada pada diri guru, memilih teman juga didasarkan pada beberapa kriteria yang harus diperhatikan untuk membantu proses pembelajaran. Di antara kriteria-kriteria itu ialah:
وأما اختيار الشريك فينبغي أن يختار المجد والورع وصاحب الطبع المستقيم المتفهم، ويفر من الكسلان والمكثار والمفسد والفتان[24]
1) Serius menekuni keilmuan
Teman adalah orang yang paling sering berkumpul bersama. Sehingga tidak salah apabila keberadaan teman memberikan pengaruh pada kepribadian seseorang. Hal ini juga terjadi di dunia pesantren yang setiap hari para santri berkolaborasi sesama santri yang lain. Akan tetapi, tidak semua teman memiliki kualitas keilmuan yang baik serta tingkat semangat yang tinggi dalam mempelajari ilmu. Di sinilah pentingnya memilah dan memilih teman yang benar-benar serius dalam menekuni keilmuan. Karena teman yang seperti itu akan mengajak pada kebaikan.
   
2) Wara’
Kepandaian seorang teman tidak cukup jika tidak disertai dengan sifat wara’. Karena wara’ merupakan efek dari pengamalan sebuah ilmu. Sifat ini sudah menjadi ciri khas pendidikan di pesantren yang tidak hanya berupa teori-teori ilmiah, tetapi dikuatkan dengan pengamalan-pengamalan atas ilmu yang dipelajari.
   
3) Watak yang baik
Watak baik adalah ciri khas manusia, karena tidak ada manusia yang berwatak buruk, hanya saja nilai kemanusiaannya belum teraktualisasi dengan sempurna. Sehingga Ahmad Tafsir mengatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia.[25] Berteman dengan orang yang berwatak baik memberikan banyak keuntungan yaitu menimbulkan ketenangan dan dapat meneladani karakter-karakter baik yang ada pada teman tersebut.
   
4) Mutafahim
Mutafahim artinya orang yang mencari pemahaman. Sebenarnya, santri sudah terbiasa dengan kegiatan tersebut, meskipun tidak semua santri dalam satu pesantren berwatak demikian. Karena ini merupakan satu paket dengan kriteria yang pertama yaitu keseriusan dalam menekuni keilmuan. Karakteristik mutafahim memiliki kemiripan makna dengan musyawarah. Sehingga, kemantapan niat serta kemampuan dalam berperilaku sabar merupakan jalan terjal menjadi pribadi yang unggul dan hareapan bangsa dan negara.

Arah Pendidikan Transformatif ala Pesantren
Terlepas dari problematika pendidikan yang tak kunjung usai, pada dasarnya pendidikan merupakan proses humanisasi dalam rangka mengaktualisasikan potensi dasar (fitrah) yang ada dalam diri setiap manusia. Oleh karena itu, pendidikan secara menyeluruh merupakan basis pembelajaran yang bergerak menuju transformasi yang mampu diraihnya.[26] Pendidikan yang dikemas dalam dunia pesantren memiliki keunikan tersendiri ditinjau dari berbagai aspeknya serta peran penting dalam mewujudkan generasi yang berkualitas baik dari segi ilmu maupun amalnya.

Disinilah ruang gerak pendidikan transformatif sebagai ajang perubahan pada diri santri. Perubahan tersebut dapat dilihat dari dua tujuan pokok yaitu ditinjau dari sisi individu (terwujudnya akhlak yang baik) dan dari sisi sosial (bermanfaat bagi sesama). Dua tujuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Terwujudnya Akhlak yang Baik
Akhlak merupakan komponen penting yang harus diperjuangkan sebagai tujuan akhir dari pendidikan transformatif. Hal itu dapat dipahami bahwa akhlak adalah buah dari ilmu. Seseorang dikatakana belajar apabila ia memiliki sikap yang dinilai lebih baik dari pada sebelumnya. Karena inti dari pendidikan yang dijalankan adalah proses dinamisasi baik dilihat dari kematangan berpikirnya dan cara ia menyikapi persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Santri yang dimaksud dalam poin ini ialah santri yang bukan hanya bisa membedakan benar-salah serta baik-buruk dari segala sesuatu, tetapi mampu mengamalkan pengetahuan tersebut memalui tindakan nyata. Karena pentingnya pengamalan ilmu (akhlak), Rasulullah saw. bersabda:
خيرالناس أحسنهم خلقا
Sebaik-baiknya manusia ialah yang paling baik budi pekertinya (akhlaknya)

Berakhlak yang baik merupakan tanggung jawab individu para santri dalam belajar di pesantren. Karena tercapainya akhlak yang baik berarti ia telah mampu menghilangkan mentranformasikan diri menuju hidup yang lebih baik, dan kemudian akan berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakatnya. Inilah salah satu tujuan akhir pendidikan transformatif ditinjau dari tanggung jawab internal.

2. Bermanfaat bagi Sesama
Manusia selain sebagai makhluk individu juga tercipta sebagai makhluk sosial. Posisi manusia sebagai makhluk sosial memiliki tanggung jawab untuk ikut andil dalam penyelesaian berbagai permasalahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Kesadaran sosial yang tercipta dalam diri para santri akan mencerminkan sikap kepedulian serta kepekaan terhadap segala fenomena yang ada. Berangkat dari kenyataan bahwa pesantren didirikan atas dukungan dan partisipasi dari masyarakat, maka sudah menjadi kewajiban pesantren untuk memberi perhatian terhadap peran sosial kemasyarakatan.[27]

Kultur yang dibangun dalam pesantren sangat membantu terwujudnya dengan baik pendidikan transformatif, salah satunya tanggung jawab sosial santri yang diaktualisasikan dengan seberapa banyak ia bermanfaat bagi sesama. Manusia yang mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan sosial adalah tanda bahwa ia tergolong manusia yang terbaik di sisi Allah dan RasulNya, sebagaimana sabda Nabi saw:
خيرالناس أنفعهم للناس
Sebaik-baiknya manusia ialah yang bermanfaat bagi sesamanya

Penutup
Pendidikan di Indonesia belum bisa menjawab berbagai tantangan zaman yang saat ini semakin komplek. Banyaknya lembaga pendidikan mulai dari formal, informal dan nonformal bukan jaminan tuntasnya problematika sosial yang melanda negeri ini.

Ada beberapa ketimpangan yang terjadi dala dunia pendidikan yaitu ketimpangan antra output dengan tenaga kerja yang dibutuhkan serta ketimpangan antara ilmu dan amal. Sehingga, lulusan yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga pendidikan belum bisa mengintekgrasikan ilmu dan amalnya dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu mengakibatkan tanggung jawab sosial yang seharusnya merupakan kewajiban orang-orang yang berilmu menjadi terabaikan.

Syeikh Burhanuddin al-Zarnujy dalam kitabnya Ta’līm al-Muta’alim Tharīq al-Ta’alum mengingatkan bahwa dalam menuntut ilmu harus memperhatikan beberapa tradisi yang memiliki pengaruh besar pada keberhasilan suatu proses pendidikan yang dijalani. Di antara tradisi belajar yang ditawarkan oleh  Syeikh Burhanuddin al-Zarnujy ialah:
1. Niat
2. Sabar
3. Musyawarah
4  Memilih guru dan teman

Keempat etika belajar tersebut mengarah pada konsep pendidikan transformatif yang penekanannya pada adanya perubahan perilaku santri  ke arah yang positif. Sehingga puncak akhir dari pendidikan transformatif ialah menjadi pribadi yang berakhlak yang baik serta bermanfaat bagi sesama manusia. Sehingga, konsep pendidikan yang semacam itu akan melahirkan para generasi yang memberikan kebanggaan tersendiri bagi bangsa dan negara.

Daftar Pustaka

Al-Ashfahany, Ar-Raghib. Mu’jamu Mufrodati Alfadhi al-Quran, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2013.
Al-Zarnujy, Syeikh Burhanuddin. Ta’līm al-Muta’alim Tharīq al-Ta’allum, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2012.
Bahruddin, Ahmad. Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah, Yogyakarta: LKiS, 2009.
Djauhari, Muhammad Tidjani. Masa Depan Pesantren: Agenda yang Belum Terselesaikan, Jakarta: TAJ Publishing, 2008.
Fakih, Mansour et.al. Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis, Yogyakarta: ReaD Books, 2001.
Freire, Paulo. Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, Jakarta: PT Gramedia, 1984.
Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011.
Nufrianto, Sulung. The Golden Teacher, Bandung: Lingkar Pena, 2008.
Prasetyo, Eko. Orang Miskin Dilarang Sekolah, Yogyakarta: Resist Book, 2009.
Saleh, Muwafik. Belajar dengan Hati Nurani, Jakarta: Erlangga, 2011.
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.
Syair, Syarwini. Sekolah Asal-asalan: Mengurai Problematika Sekolah Kita, dalam Buletin Peara ‘Jhatmika’, edisi perdana: Muharram 1431 H.
Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2010.
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2000.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008.



[1] Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2000), hlm. 1.
[2] Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sekolah (Yogyakarta: Resist Book, 2009), hlm. 180.
[3] Ibid, hlm. 164.
[4] Syarwini Syair, Sekolah Asal-asalan: Mengurai Problematika Sekolah Kita, dalam Buletin Peara ‘Jhatmika’, edisi perdana: Muharram 1431 H, hlm. 3.
[5] Mansour Fakih et.al, Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis (Yogyakarta: ReaD Books, 2001), hlm. xi.
[6] Muhammad Tidjani Djauhari, Masa Depan Pesantren: Agenda yang Belum Terselesaikan (Jakarta: TAJ Publishing, 2008), hlm. 86.
[7] Syeikh Burhanuddin al-Zarnujy, Ta’līm al-Muta’alim Tharīq al-Ta’allum (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2012), hlm. 3.
[8] Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 20.
[9] Sulung Nufrianto, The Golden Teacher (Bandung: Lingkar Pena, 2008), hlm. 12.
[10] Muwafik Saleh, Belajar dengan Hati Nurani (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm.167.
[11] Al-Zarnujy, Ta’līm al-Muta’alīm, hlm. 27.
[12] Djauhari, Masa Depan Pesantren, hlm. 95.
[13] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 7.
[14] Ar-Raghib Al-Ashfahani, Mu’jamu Mufradati Alfadhi al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2013), hlm. 306
[15] Djauhari, Masa Depan Pesantren, hlm. 86.
[16] Ar-Raghib Al-Ashfahani, Mu’jamu Mufradati Alfadhi al-Quran,hlm. 303
[17] Al-Zarnujy, Ta’līm al-Muta’alīm, hlm. 38
[18] Zamroni, Paradigma Pendidikan, hlm. 150.
[19] Paulo Freire, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan (Jakarta: PT Gramedia, 1984), hlm. 86.
[20] Al-Zarnujy, Ta’līm al-Muta’alīm, hlm. 38.
[21] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 287.
[22] Al-Zarnujy, Ta’līm al-Muta’alīm, hlm. 35-36
[23] Syarwini Syair, Sekolah Asal-asalan, hlm. 6.
[24] Al-Zarnujy, Ta’līm al-Muta’alīm, hlm.41
[25] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), hlm. 35.
[26] Ahmad Bahruddin, Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah (Yogyakarta: LKiS, 2009), hlm. 8.
[27] Djauhari, Masa Depan Pesantren, hlm. 96.

Posting Komentar

0 Komentar