sumber: https://indonesiamengajar.org/ |
Pendidikan saat ini, belum mampu merangkul dua hal yang berseberangan: tuntunan dan tuntutan. Tuntunan adalah petunjuk Ilahi serta petuah-petuah lama para leluhur tentang pentingnya mencari ilmu untuk memakmurkan bumi dan melestarikannya. Sedangkan tuntutan adalah suatu keadaan yang ‘harus’ dipenuhi. Tuntutan tersebut berupa globalisasi, westernisasi dan modernisasi.
Ketiga hal itu telah menyentuh seluruh lapisan masyarakat memberikan target
tersendiri bagi setiap institusi pendidikan untuk mengarahkan visi misinya pada
pencapaian produk yang dapat memenuhi tutuntan pasar. Target ini
diaktualisasikan dalam bentuk kegiatan pembelajaran yang melangit dari akar sosio-kultural
masyarakat setempat.
Sepanjang sejarah hidup manusia, diakui bahwa
pendidikan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi peradaban dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi ini menjadi parang yang secara pelan-pelan semakin
menelanjangi spiritualitas dan moralitas kemanusiaan.[1] Pendidikan yang terperangkap dalam sekat-sekat formalitas
belaka tanpa melibatkan unsur lokal dalam proses pembelajarannya
menjadi indikator yang memungkinkan akan
menghasilkan produk asing bagi komunitas masyarakatnya sendiri.
Sekolah sebagai suatu organisasi memuat berbagai komponen yang integral dalam
mencapai suatu tujuan. Salah satu komponen penting dalam pendidikan
ialah kurikulum. Perubahan kurikulum dari masa ke masa hingga sampai pada
kurikulum 2013 yang pada umumnya diterapkan di lembaga pendidikan saat ini,
memberikan implikasi tersendiri bagi proses pendidikan serta output yang
dihasilkan.
Kurikulum 2013 yang lebih dikenal dengan sebutan K-13 menawarkan suatu
konsep pembelajaran yang menarik jika dikaji secara kritis, yaitu pembelajaran
saintifik. Artikel sederhana ini akan menyajikan pembelajaran saintifik sebagai
konsep pembelajaran yang ideal dalam menyatukan dua ruang yang terpisah: lokal
dan global.
Scientific Learning: Analisis Sebuah Konsep
Pembelajaran saintifik (scientific learning) merupakan produk K-13 yang menyentuh tiga
ranah berikut: pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan
(psikomotor).[2] Pembelajaran secara definitif merupakan suatu
proses, yakni serangian kegiatan yang dilakukan oleh pendidik
dalam rangka meniciptkan situasi/kondisi belajar. Proses ini meliputi: persiapan, pelaksanaan kegiatan pembelajaran dan mengevaluasi pembelajaran.
Sedangkan saintifik berasal dari bahasa
Inggris yaitu scientific yang berarti ilmiah. Maka, secara sederhana Yunus Abidin mendefinisikan,
pembelajaran saintifik adalah pembelajaran yang dikembangkan dengan berdasar
pada pendekatan ilmiah (scientific approach).[3] Hal ini dimaksudkan agar proses
pembelajaran tidak hanya berupa konsep yang bersifat rasional, tetapi ada
keterpaduan antara konsep rasional dengan emperis, antara koherensi dengan
korespondensi.
Pendekatan ilmiah didistribusikan dalam kegiatan pembelajaran melalui
beberapa langkah praktis-sistematis yaitu: mengamati, menanya, menalar,
mencoba, menyimpulkan dan mengomunikasikan.[4] Enam langkah tersebut merupakan prosedur pembelajaran saintifik yang memiliki intensitas cukup besar dalam membentuk peserta didik dengan pola
pikir yang kritis serta akrab dengan lingkungan sekitar. Karena mencermati fenomena
sosial yang terjadi, rata-rata pendidikan membawa peserta didiknya jauh dari
akar sosio-kulturalnya.
Era globalisasi menuntut seluruh sektor kehidupan termasuk pendidikan untuk
ikut andil dalam menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang semikin pesat. Di
sinilah pendidikan hanya melihat satu sisi (global) sebagai implikasi dari
dinamika kehidupan yang tak dapat dielakkan tanpa menjadikan lingkungan sosial (lokal)
sebagai pijakan yang harus dilestarikan.
Penerapan pembelajaran saintifik berdasarkan enam langkah di atas memerlukan
tingkat kompetensi dan konsistensi yang tinggi dari para pendidik agar output
memiliki kemampuan yang mumpuni, baik dalam bidang ilmu maupun amal.
Karena, mengamati merupakan suatu cara dalam pembelajaran yang mengandung makna
(meaningfull learning). Suatu pembelajaran akan menjadi bermakna apabila
ada keterkaitan antara teori yang diajarkan dengan realita yang terjadi di
sekitar.
Kebermaknaan ini secara lambat laun akan memperakrab peserta didik dengan
kehidupan masyarakatnya. Banyaknya data yang diperoleh dari aktivitas
observasi, menimbulkan banyak pertanyaan yang diajukan untuk memperoleh
pengetahuan yang utuh tentang suatu objek yang dipelajari.
Hasil belajar yang nyata dan otentik hanya dapat diperoleh dengan melakukan
percobaan. Aktivitas mencoba merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi sesuai tema yang dipelajari. Dari hasil percobaan ini, pada umumnya pendidik membantu peserta didik
dalam menganalisis data yang telah diperoleh untuk mendapatkan kesimpulan atau
intisari dari seluruh proses kegiatan yang dilakukan. Selain itu, peran
pendidik dalam mengembangkan kemampuan peserta didiknya secara holistik ialah
dengan mengomunikasikan hasil kegiatannya baik melalui lisan maupun tulisan.
Pembelajaran saintifik pada dasarnya lebih menekankan pada keaktifan
peserta didik dalam belajar (student central approach). Hal demikian dianggap lebih efektif dalam mewujudkan hasil belajar yang mencakup
tiga dimensi utama: kognitif, afektik dan psikomotorik. Ridwan
Abdullah Sani menambahkan satu dimensi penting yang juga harus diaktualisasikan
dalam proses pembelajaran dengan pendekatan saintifik ialah dimensi spiritual
(beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Beberapa dimensi tersebut
dirumuskan dalam kompetensi inti menjadi KI1, KI2, KI3 dan KI4.[5]
Implementasi pembelajaran saintifik, setiap pendidik memberikan ruang yang
cukup luas bagi peserta didik dalam mengaktualisasikan diri menjadi generasi
yang memiliki jiwa antusias dalam melestarikan budaya masyarakat serta menjaga keutuhan
mata pencahariannya. Selain memiliki kepekaan terhadap persoalan lokal, peserta
didik juga dibekali dengan excellent capability
yang berguna dalam
menyikapi tantangan zaman yang semakin kompleks.
Berbasis Lokal
Berdaya Saing Global
Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang
sangat kompleks dalam menyiapkan kualitas sumber daya manusia yang mempu
bersaing di era global. Upaya yang tepat untuk meyiapkan sumber daya manuisa
yang berkualitas ialah pendidikan. Meskipun telah dilakukan perbaikan oleh
pemerintah, akan tetapi kenyataan di lapangan belum menunjukkan hasil yang
sesuai dengan harapam masyarakat secara umum. Salah satu bentuk perbaikan yang dilakukan
ialah merekomendasikan strategi dalam menyukseskan pendidikan, yaitu: learning
to learn, learning to do, learning to be dan learning to be together.[6]
Pendidikan diakui menjadi jalan utama bagi semua manusia untuk meneguhkan
nilai-nilai kemanusiaannya. Akan tetapi, seiring
perkembangan zaman, pendidikan telah kehilangan substansinya. Haidar Putra
Daulay berargumentasi bahwa dewasa ini masyarakat tengah berada dalam krisis
multi-dimensional.[7]
Krisis ini menyangkut berbagai dimensi kehidupan masyarakat yang cukup pelik
untuk dijabarkan secara detail. Salah satu contohnya ialah bertani dan nelayan
sebagai mata pencaharian dari suatu komunitas masyarakat pesisir, yang sudah dirasakan
mengalami krisis generasi. Problem lokalitas inilah yang memerlukan penanganan
secara serius agar mampu bersanding mesra dengan globalisasi yang semakin jauh
menyelami kehidupan manusia.
Solusi konstruktif dalam menyikapi sekelumit persoalan di atas ialah pendidikan.
Hal itu telah disepakati oleh beberapa pakar bahwa pendidikan memiliki peran
penting dalam mengembalikan dan mempertahankan kearifan-kearifan lokal
masyarakat sebagai ciri khas yang harus dijaga dan dilestarikan. Tujuan tersebut hendaknya include dalam kegiatan pembelajaran sebagai
bagian penting dari proses pendidikan yang dijalankan. Maka kurikulum 2013
dengan perangkat pembelajaran yang ditawarkan sebagai alternatif dalam
menyikapi kemelut sosial, memberikan ruang bagi pendidik untuk mengajak peserta
didik mengenali fenomena sosial dan menggali potensi alam sekitar. Aktivitas
tersebut hanya dapat dilakukan melalui pembelajaran dengan pendekatan
saintifik.
Isu-isu kontemporer perihal pendidikan mulai dari komersialisasi pendidikan,
profesionalisme guru (baca: pendidik) sampai pada dikotomi ilmu (umum dan agama)
merupakan implikasi dari perkembangan zaman yang semakin melaju pesat dari
waktu ke waktu. Terjadinya perubahan yang pesat dalam ilmu pengetahuan,
teknologi, modernisasi dan industralisasi akan mendorong terjadinya pergeseran
sistem, arah dan tata kelola pendidikan.
Dengan demikian, lembaga pendidikan tidak cukup hanya membekali peserta
didik dengan selembar ijazah, karena sumber kekuatan akan terkonsentrasi pada
informasi dan data riil, bukan data baku yang tertuang dalam statistik yang tidak
jelas. Dedi Mulyasana mengakui bahwa tuntutan perubahan telah memaksa paradigma
pendidikan secara perlahan bergeser ke arah yang lebih terbuka, profesional dan
demokratis, yang implikasinya ditengarai akan terjadi pergeseran dalam
paradigma pendidikan, salah satunya kekuatan simbol (ijazah) akan bergeser pada
kekuatan kemampuan performa.[8]
Pembelajaran yang berbasis pada fenomena sosial secara lambat laun akan
menumbuhkan jiwa tanggung jawab dalam diri peserta didik untuk melestarikan
budaya masyarakat tanpa rasa gengsi di balik hegemoni modernisme. Pembelajaran memang
harus disesuaikan dengan perkembangan zaman yang serba canggih dengan alat
teknologi, agar mampu bersaing di tengah arus globalisasi. Persaingan secara
global tidak lantas melupakan eksistensi dirinya sebagai masyarakat lokal
dengan karakteristik tertentu yang harus selalu dijaga. Karena, pembelajaran
saintifik mengajarkan peserta didik untuk terbiasa berpikir kritis dalam
melihat suatu persoalan, mulai dari persoalan mendasar sampai pada persoalan
paling pelik yang dihadapi negeri ini. Dengan demikian, melalui pembelajaran
saintifik peserta didik dapat mencapai keunggulan tidak hanya pada satu ruang,
tetapi mencakup dua ruang sekaligus: lokal dan global.
Totale, 11 Februari 2017
Daftar Pustaka
Abidin,Yunus.
2014. Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung:
PT Refika Aditama.
Al-Tabany, Trianto
Ibnu Badar. 2014. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan
Kontekstual: Konsep Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum 2013 (Kurikulum
Tematik Integratif/KTI). Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Daulay,Haidar
Putra. 2014. Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat. Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group.
Mulyasana,Dedi.
2012. Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Muthahhari,Murtadha.
2005. Potret Insan Kamil: Meneropong Karakteristik Manusia Sempurna. Yogyakarta:
Bina Media.
Sani,Ridwan
Abdullah. 2014. Pembelajaran Saintifik untuk Implementasi Kurikulum 2013.
Jakarta: Bumi Aksara.
Shoimin, Aris.
2014. 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013. Bandung:
ar-Ruzz Media.
[1]Kepribadian
manusia bergantung pada kualitas moral dan spiritual, yang tanpa itu mereka
semua akan menjadi binatang. Lihat Murtadha Muthahhari, Potret Insan Kamil:
Meneropong Karakteristik Manusia Sempurna (Yogyakarta: Bina Media, 2005),
9. Al-Qur’an juga berbicara tentang mereka (yang mengalami krisis moral dan
spiritual), bahwa mereka berada dalam kesalahan yang makin parah, dan mereka sederajat
dengan binatang bahkan lebih sesat lagi. Lihat QS. al-A’rāf: 179.
[2]Ranah
pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta
didik “tahu apa”, sedangkan pada ranah sikap mengarahkan peserta didik agar
“tahu mengapa”, sementara pada ranah keterampilan mengantarkan peserta didik
agar “tahu bagaimana”. Sehingga, hasil akhirnya berupa peningkatan dan
keseimbangan antara kemampuan menjadi manusia yang baik (soft skills)
dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard
skills) yang memiliputi aspek kompetensi pengetahuan, sikap dan
keterampilan. Lihat Aris Shoimin, 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam
Kurikulum 2013 (Bandung: ar-Ruzz Media, 2014), 165.
[3]Yunus Abidin, Desain Sistem
Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013 (Bandung: PT Refika Aditama,
2014), 132.
[4]Ibid.,
133.
[5]Ridwan
Abdullah Sani, Pembelajaran Saintifik untuk Implementasi Kurikulum 2013
(Jakarta: Bumi Aksara, 2014), 49.
[6]Learning
to learn yaitu memuat bagaimana peserta didik mampu menggali
informasi yang ada di sekitarnya, learning to do yaitu berupa tindakan
atau aksi untuk memunculkan ide yang berkaitan dengan saintek, learning to
be yaitu peserta didik mengenali dirinya sendiri serta mampu beradaptasi
dengan lingkungannya dan learning to be together yaitu memuat bagaimana
peserta didik hidup dalam masyarakat yang saling bergantung satu sama lain dan
mampu bersaing secara sehat. Lihat Trianto Ibnu Badar al-Tabany, Mendesain
Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual: Konsep Landasan, dan
Implementasinya pada Kurikulum 2013 (Kurikulum Tematik Integratif/KTI) (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2014), 6.
[7]Haidar
Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2014), 144.
[8]Dedi
Mulyasana, Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2012), 23.
0 Komentar