sumber: yayasanalanwar.blogspot.com |
Beberapa hari ini, hidupku
seperti di neraka. Kesejukan yang selalu aku rasakan saat pulang sekolah dan
seusai shalat Maghrib bersama ayah dan ibu, kini telah hilang. Aku seperti
pengembara yang tak punya tujuan hidup jelas. Perselisihan yang amat sangat
mengamuk batinku seolah dipaksakan untuk menjadi hiburan di masa kecilku.
Tidak, aku tidak suka itu. Kekejaman yang sering dipertontonkan di depan
mataku, membuatku ingin keluar dari lubang neraka ini. Tapi, ke mana aku akan hinggapkan
diri untuk sekedar mencari ketenangan, yang sudah berantakan?
Dari depan rumah, aku mendengar
bunyi piring pecah, seperti ada kemarahan di antara ayah dan ibu. Kenapa sering
bertengkar? Apa yang membuat mereka tidak bisa memaafkan satu sama lain? Aku
berjalan mendekati suara piring pecah itu, rupanya dari arah dapur. Ketika
sampai di ambang pintu, aku melihat ibu menangis sesenggukan, sedang ayah
memarahi ibu habis-habisan.
“Kamu selingkuh!” Tiba-tiba ayah
mengeluarkan kata-kata yang belum aku pahami maksudnya. Kata ‘selingkuh’ ayah
ucapkan kepada ibu yang masih menagis tersungkur di depannya sambil
menggelengkan kepala. Apa ‘selingkuh?’ Kenapa itu membuat ayah sangat marah
pada ibu? Apakah itu sejenis kejahatan yang ibu lakukan? Tidak, ibu tidak
jahat. Ibu orangnya baik. Tidak, tidak…
Akupun menitikkan air mata, tak
kuasa menyaksikan peristiwa itu dan tak kuasa pula menghentikannya. Akhirnya,
aku lari ke kamar, entah sampai kapan kemarahan itu akan berakhir. Tak ada yang
bisa menebak. Ini adalah teka teki kehidupan.
*****
Kali ini malam terasa sunyi
sekali, gelap gulita, tak ada cahaya di langit yang dapat kulihat, semuanya
hitam. Layaknya batinku yang terus berkecamuk dalam kesendirian. Aku hanya
menepiskannya dalam do`a: semoga ada tangan suci yang menjemputku untuk pergi
dari rumah ini. Malam kian larut, aku belum sepenuhnya bisa memejamkan mata.
Kata-kata ayah selalu menghantui telingaku: selingkuh. Kenapa ‘selingkuh’ itu
begitu kejam? Seolah ‘selingkuh’ adalah sesuatu paling keji di muka bumi ini.
Aku ingin sekali berteriak pada
dunia sekedar untuk berkata kalau akau tidak punya keluarga. Mereka telah
tenggelam dalam kemarahan, dan membuatku tiada. Aku benci mereka. Apa salahku,
bu? Apa pula hinaku, yah? Kenapa kalian enggan menemaniku sebelum tidur, mengantarkanku
ke sekolah dan menghiburku dengan senyuman indah yang mendamaikan hati? Tak ada
hari-hari yang kulalui dengan ketenangan selain diam dan penuh rasa benci.
Keterpurukan hidup ini, memaksaku
untuk tetap pergi ke sekolah. Di sanalah tempatku menghibur diri. Aku belajar,
meski dengan hati yang kacau. Entahlah! Akan jadi apa aku kelak. Jika aku
belajar hanya karena ingin keluar dari gubuk neraka ini. Suasana semakin panas,
jam menunjukkan pukul 11.00, sudah waktunya aku kembali. Terik mentari begitu
menyengat kulit sepanjang perjalanan. Aku haus, namun tak ada uang untuk
mengobati kehausaan ini. Aku tak punya uang saku. Karena tadi waktu aku mau
berangkat ke sekolah perselisihan yang entah keberapa kalinya kembali
bertandang di depan mataku. Aku berlalu begitu saja.
Dari jarak jauh, aku dikagetkan
dengan keramaian dan kerumunan orang di depan rumahku. Apa yang terjadi? Aku
cepat-cepat mengambil langkah untuk mengetahui ada apa sebenarnya. Sesampai di
sana, aku melihat ayah dibawa oleh beberapa polisi, dengan mata berkaca-kaca
aku memanggil: Ayah! Dia tidak menghiraukanku. Lalu aku masuk ke dalam rumah
dan ku lihat ibu sudah dikepungi orang-orang sambil melantunkan ayat-ayat suci.
Ibu pergi? Pergi dan tidak akan kembali lagi. Tidak! Ibu…! Tiba-tiba gelap.
*****
Pelan-pelan kubuka mata dengan
kepala yang masih berat. Ku tatap orang-orang di kelilingku. Semuanya asing,
siapa mereka? Kenapa aku bisa ada di sini? Ketika kutatap satu persatu, mereka
memberikan senyuman indah yang sudah lama tidak aku jumpai dalam hidup. Ayah,
Ibu! Air mataku mengalir. Seorang perempuan setengah baya mendekatiku lalu
merangkulku dengan penuh iba dan kasih sayang: “Sabar, Nak! Semuanya pasti ada
hikmahnya”.
Beberapa hari aku menyandang
hidup di sini, di Panti Asuhan yang dibentuk dalam sistem pesantren. Aku mulai
menyadari betapa indahnya lantunan ayat suci al-Quran, berhadapan dengan wajah-wajah
sumringah dan keajaiban saling menasehati satu sama lain. Inikah hikmah di
balik semua itu? Namun, ada kata yang belum aku pahami. Kata itu adalah
‘selingkuh’. Itulah yang membuat semuanya menjadi sirna, hilang dan mengerikan.
“Bunda, saya mau bertanya?”, aku
memberanikan diri mendatangi Bunda Syarifah, katanya beliau adalah ketua
pengurus di Panti Asuhan ini.
“Mau bertanya apa, Nak?”
“Eee, selingkuh itu apa ya?”, aku
sedikit gugup mengeluarkan kata itu, entahlah, ingatanku kembali ke masa lalu
saat aku berada diantara kemarahan ayah dan ibu.
“Lho, kamu kok tiba-tiba nanya
itu, Nak, ada apa?” Bunda tampak terheran dengan pertanyaanku, membuatku
semakin penasaran untuk mengetahuinya. Akupun menceritakan yang semestinya. Wajah
sejuk Bunda Syarifat terlihat jelas dengan hijab putih yang menutupi separuh
badannya.
“Bunda tidak bisa menjelaskannya
sekarang, Nak, kelak kalau kamu sudah dewasa, kamu akan mengerti dengan
sendirinya, tapi yang jelas itu salah satu pekerjaan yang dibenci Tuhan”, Bunda
memegang pundakku, aku merasakan kelembutan hatinya. Aku mengerti mungkin
memang belum saatnya aku mengetahui hal itu di usiaku yang baru memasuki
sepuluh tahun.
*****
Waktu terus berlalu, tak ada yang
dapat menghentikannya. Semuanya berubah mengikuti aliran masa. Semestapun semakin
tua, ada masanya ia akan menemui kebinasaan. Begitu juga manusia, dengan usia
yang terus berjalan, semakin mendekatkannya pada kematian. Perjalanan waktu
inilah yang membuatku mulai mengenali arti kehidupan. Di usiaku yang sudah
dewasa, aku mengerti semua problematika keluargaku. Itu adalah pelajaran yang
tidak harus terjadi padaku dan pada anak-anakku kelak. Seandainya semuanya
masih utuh, aku ingin menjelaskannya kalau itu hanya kesalahpahaman. Ibu,
maafkan ayah, rasa cinta yang tak terkontrol telah mengacaukan akal sehatnya.
Aku ingin hijrah dari hati yang
selalu berprasangka buruk pada keadaan yang remang-remang. Aku ingin kembali
fitrah seperti sedia kala, saat aku dilahirkan. Nama itu adalah do`a, begitu dulu
cara almarhumah Ibu mendidikku. Sehingga diapun memberikan nama yang indah
untukku: Fitri artinya ‘suci’. Aku ingin bergerak menuju nama itu, kelak aku akan
berkata pada ibuku kalau aku bisa menjadi anak yang sesuai dengan nama yang ia
sematkan pada jiwa dan ragaku. Sungguh jalan hijrah ini adalah misteri dalam
hidupku.
0 Komentar