Skripsi Kehidupan yang Tak Kunjung Usai

sumber: brilio.net
Hari Jum’at tanggal 20 Maret 2015 tepat pukul 10.30 WIB, saya selesai sidang skripsi di salah satu perguruan tinggi Pamekasan Madura. Seketika beberapa teman menghampiri di depan ruang sidang gedung multi center lantai II dan saya langsung disodorkan pertanyaan, “Gimana Mbak, lulus?”. “Alhamdulillah” jawab saya singkat. “Selamat Mbak! duh, sudah sarjana!” sambung teman yang satunya. “Selamat menjadi S.Pd.I” imbuh yang lain. Begitu pula saat saya sampai di asrama, beberapa teman mengucapkan kata-kata yang sama seperti ucapan teman-teman saya tadi.

Jujur, saya masih bingung dengan kata-kata teman-teman itu: menjadi sarjana/berpangkat S.Pd.I dengan kata ‘selamat’. Karena yang saya pahami selama ini, keberhasilan seseorang bukan diukur dari seberapa tinggi pangkatnya, tetapi seberapa banyak ia berbuat untuk sesama. Terlepas ia berpangkat atau tidak. Apa mungkin mereka punya maksud yang berbeda, kata ‘selamat’ yang diucapkan sengaja ingin mengingatkan saya bahwa menjadi sarjana memiliki tanggung jawab besar terhadap kehidupan sosial negeri ini agar tidak menjadi sampah bagi negara. Karena lulus ujian skripsi dan menjadi sarjana adalah suatu bentuk kesiapan kita untuk melangkah pada ranah kehidupan yang lebih luas.

Namun, berbeda dengan teman yang satu ini, dengan kebiasaan guyonnya, tiba-tiba keluar kata-kata bijak: “Katanya sich ujian skripsi itu sulit, tapi bagiku itu tidak seberapa dibandingkan dengan ujian skripsi kita nanti di akhirat!”. Kata-kata yang sama sekali tidak pernah saya pikir sebelumnya. Subhanallah, Tuhan memiliki banyak cara dalam mengingatkan hambaNya. Dari itu saya memahami bahwa kita sedang menulis skripsi sepanjang hidup ini!.

Skripsi Sepanjang Hidup
Dunia ini ibarat lapangan yang harus kita jelajahi untuk sampai pada tujuan hidup yang hakiki. Kita harus menapaki beberapa maqam (tingkatan) dengan segenap jiwa dan hati untuk menggapai tujuan tersebut. Di antara maqam-maqam itu adalah syari’at, thariqat, ma’rifat dan hakikat. Syari’at adalah sikap dhahiriyah dalam mengerjakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, seperti melaksanakan shalat, puasa, dzikir serta menjauhi berbagai macam ma’siat. Thariqat adalah perjalanan batin seorang hamba menuju Tuhannya. Sedangkan ma’rifat ialah pengenalan hamba terhadap Sang Pencipta, sehingga pada tingkatan ini maqam hakikat dapat juga kita capai.

Setiap maqam memiliki nilai-nilai dan tatacara tersendiri sebagai jalan menuju maqam selanjutnya. Karena kita tidak bisa melangkah pada maqam thariqat kalau di syari’at kita belum sempurna. Begitu juga seterusnya. Jadi, ini adalah sebuah perjalanan sistematik. Kita memulai dari bawah hingga akhirnya sampai pada puncak tertinggi. Ada pedoman khusus yang harus dijadikan acuan atau petunjuk jalan agar tidak tersesat. Pedoman itu adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.

Itulah kehidupan. Tak jauh beda dengan sebuah skripsi yang ditulis oleh mahasiswa-mahasiswa sebagai salah satu tugas akhir kuliah. Jika kehidupan di dunia memiliki tingkatan-tingkatan yang harus dilalui secara sistematis, skripsi juga terdiri dari bab-bab yang harus ditulis dengan teratur. Keteraturan itu akan tercapai jika mengacu pada pedoman penulisan skripsi yang benar.

Ada beberapa rumusan masalah atau fokus penelitian dalam sebuah skripsi yang harus dicari jawabannya pada proses penelitian yang dilakukan. Sama halnya dengan kehidupan, banyak hal yang harus kita ketahui, salah satunya: siapa diri kita?. Tentu ini memerlukan proses panjang, dan tidak semua manusia dapat menemukan jawabannya. Di sinilah pentingnya ada pembimbing yang senantiasa mengarahkan kita pada jalan yang benar. Maka, kesungguhan hati serta menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman hidup menjadi modal awal supaya hidup kita berada di jalan yang benar. Bukankah dalam penulisan skripsi pembimbing akan marah kalau peneliti tidak mematuhi tatacara penulisan skripsi yang benar menurut buku pedoman?

Pembimbing tugasnya mengarahkan atau dalam bahasa arabnya dikenal dengan ‘mursyid’ (pemberi petunjuk). Karena dari segi pengetahuan, ia memiliki pemahaman yang luas serta sudah banyak mengetahui lika-liku kehidupan. Maka dari itu, pembimbing mempunyai kedudukan yang tinggi di hadapan Tuhan karena ia telah menjadi lentera bagi kita dalam pekatnya hidup ini. Tetapi, pada proses akhir pembimbing juga diminta pertanggung jawaban akan bimbingan yang diberikan kepada kita kelak di akhirat. Bukankah prosedur dalam ujian skripsi juga demikian? Pembimbing senantiasa mendampingi mahasiswa, dan membelanya dari berbagai sanggahan para penguji?.

Sampai saat ini, sejauh mana kita telah mengenal diri kita sendiri? Pertanyaan sederhana, tapi memiliki keluasan makna. Karena jika kita sudah tahu diri kita yang sebenarnya, maka di situ juga kita akan mengenal Tuhan: man `arafa nafsahu faqad `arafa rabbahu. Langkah pertama, kita harus banyak melakukan riyadhah dengan cara membuang sedikit demi sedikit kesenangan yang bersifat duniawi untuk bisa melihat sesuatu yang lebih nyata. Selain itu, kita harus banyak merenungi alam dan seluruh isinya sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Maka, kesabaran serta keistiqamahan sangat diperlukan, karena semakin tinggi pohon itu, semakin besar pula angin yang akan menerpanya.

Semuanya butuh proses, termasuk juga proses menuju keabadian. Kita tidak bisa hanya berkutat pada maqam syari’at saja, karena di maqam itu kita tidak akan menemukan jawaban yang kita cari. Berada di tingkatan syari’ah berarti kita baru menyelesaikan bab satu dan dua dalam penulisan skripsi. Lalu, kapan kita akan melangkah pada bab-bab selanjutnya?. Kalau dianalogikan, bab satu dan dua adalah tingkatan syari’ah karena di sini membahas masalah pengetahuan (sebatas tahu) tentang objek yang diteliti. Sedangkan bab tiga adalah thariqat yang membahas tentang cara/metode dalam menemukan jawaban. Sementara tingkatan ma’rifat dan hakikat adalah bab empat yang berisi tentang jawaban-jawaban dari pertanyaan yang memang dibutuhkan.

Detik-detik Akhir Skripsi
Kita hidup dalam ruang dan waktu. Ada masanya kita akan kembali pada asal kita yang sebenarnya. Di situlah titik penentuan persinggahan kita yang abadi. Sejatinya, Tuhan sayang pada kita semua, salah satunya diwujudkan dengan memberikan bocoran pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan kelak di akhirat. Hanya ada enam pertanyaan: siapa Tuhanmu?, siapa Nabimu?, siapa imammu?, apa kiblatmu?, siapa saudaramu? dan apa agamamu?. Kita perlu mempersiapkannya, bukan dari menghafal tapi kemantapan hati untuk selalu berada di jalanNya.

Skripsi ini berjalan dalam waktu yang misterius. Tak ada satupun yang mampu memprediksi kapan skripsi hidup ini akan berakhir. Tugas kita hanya menulis dalam arti mengisi dengan perilaku-perilaku terpuji seperti membaca ilmu Tuhan: kitabiyah atau kauniyah. Karena itu akan membuka tabir kita dengan Sang Khaliq.

Sebenarnya, kehidupan dan kematian itu sangat dekat. Jarak itu adalah ketidak sanggupan kita untuk mengjangkaunya. Di detik-detik terakhir, sudah sampai dimanakah perjalanan kita? Atau, kita belum memulai sama sekali?.



(Tulisan ini dimuat di Tabloid Mata Sumenep pada edisi 12 / 16 Juni 2015)

Posting Komentar

0 Komentar